Jumat, April 19, 2024

Pemerintah Tak Konsisten Benahi Tata Kelola Hutan

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Sejumlah warga melintasi truk pengangkut kayu akasia di Kabupaten Pelalawan, Riau, Selasa (13/10). Pemerintahan Presiden Joko Widodo mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid dua yang memangkas izin untuk keperluan investasi dan produktif sektor kehutanan akan berlangsung lebih cepat dari 14 izin menjadi enam izin. ANTARA FOTO/FB Anggoro
Sejumlah truk pengangkut kayu akasia di Kabupaten Pelalawan, Riau, Selasa (13/10). ANTARA FOTO/FB Anggoro

Indonesia sudah sepakat ambil bagian dalam Voluntary Partnership Agreement (VPA). Sebuah kesepakatan internasional yang mengharuskan industri kehutanan untuk melaksanakan penuh Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Namun kenyataannya, walau sudah diratifikasi, pemerintah Indonesia cenderung tidak konsisten.

Alih-alih berbenah menyempurnakan peraturan untuk mengikuti aturan VPA, yang timbul malah terjadinya penyalahgunaan. Hal itu terlihat dalam peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang semakin memudahkan pengusaha untuk mengeksploitasi hasil hutan demi kepentingan bisnis.

Ketua Badan Eksekutif Forest Watch Indonesia, Christian Purba menjelaskan, awalnya pemerintah sempat serius berbenah untuk mengikuti standar aturan dalam VPA. Berbagai upaya persiapan pelaksanaan SVLK dikebut jauh-jauh hari. Termasuk di dalamnya merevisi peraturan untuk mempermudah pemilik hutan rakyat dan industri kecil dan menengah mendapat sertifikat SVLK. Tak hanya itu, pemerintah juga mulai memberlakukan penggunaan lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade atau Penegakan Hukum Kehutanan, Tata Kelola, dan Perdagangan.

Namun mendekati pemberlakuan SVLK, pemerintah melunak. Sekelompok pebisnis yang tergabung dalam Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) mengajukan keberatan. Mereka melakukan lobi tingkat tinggi secara masif dan agresif. Kepada pemerintah, mereka meminta agar dikeluarkan beberapa kelompok produk furnitur dari skema SVLK. Alasannya, SVLK dianggap memberatkan bagi usaha mereka.

Merespon keberatan pengusaha, pemerintah melalui tiga kementerian yang terdiri atas Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan bersepakat melahirkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 97 Tahun 2014. Aturan ini mewajibkan bagi industri untuk memberlakukan Deklarasi Ekspor. Lahirnya aturan ini merupakan sebagai aturan transisi untuk menyiapkan sekaligus menguatkan aturan baru, yang akhirnya muncul yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No 89 Tahun 2015.

“Dalam peraturan ini, pemerintah mengeluarkan 15 jenis produk kayu dari kelompok mebel dan perabotan pada aturan yang mengharuskan mengikuti sertifikasi wajib SVLK. Padahal, aturan wajib SVLK diperlukan untuk mengetahui lebih jelas dalam memverifikasi legalitas bahan baku dan kegiatan operasional usaha industri tersebut,” kata Christian di Jakarta, Kamis (10/3).

Peraturan ini, kata Christian, juga menghilangkan kewajiban perusahaan untuk terdaftar sebagai Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) yang sebelumnya merupakan syarat untuk menjadi eksportir. Bahkan lebih celaka lagi, Permendag No. 89/2015 ini membolehkan perusahaan untuk bebas mengekspor produk mebel dan perabotan tanpa harus menggunakan dokumen Deklarasi Ekspor, sebagaimana yang tercantum pada peraturan sebelumnya.

“Aturan ini secara signifikan melemahkan peran SVLK dalam memastikan legalitas produk kayu yang diperjualbelikan,” katanya.

Sementara Muhamad Kosar dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, mengatakan akibat munculnya peraturan baru ini menunjukkan tata kelola hutan oleh pemerintah mengalami kemunduran. Padahal, peran SVLK merupakan produk bersama. Itu mulai dari pemerintah, pengusaha sampai kalangan organisasi masyarakat sipil.

Jika melihat data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah ekspor produk kayu ketika menggunakan sertifikasi SVLK justru mengalami peningkatan. Pada September 2015 nilainya mencapai US$ 8,03 miliar. Angka ini naik dibandingkan pada 2014 yang hanya sebesar 6,60 miliar dan 2013 US$ 6,07 miliar.

Adanya Permendag 89 Tahun 2015, kata Kosar, dampaknya justru semakin merugikan Indonesia. Sebab, nantinya akan semakin masif penebangan-penebangan liar yang dilakukan oleh banyak pengusaha. Dengan peraturan itu, mereka berdalih seolah hal yang dilakukannya menjadi pembenaran. Namun akibatnya kerusakan hutan di Indonesia tentu akan menjadi lebih parah.

“Padahal, SVLK diperlukan untuk perbaikan dalam pengelolaan hutan. Tujuannya untuk mencegah kerusakan hutan yang semakin parah,” kata Kosar. [*]

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.