Keputusan pemerintah melindungi buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri dinilai masih setengah hati. Melalui berbagai upaya, pemerintah pusat telah mengeluarkan sejumlah kebijakan terkait hal tersebut. Antara lain membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan negara tujuan atau penerima tenaga kerja Indonesia dan mengeluarkan Undang-Undang No. 39/2004 tentang Penempatan dan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri.
“Namun, dari hasil kajian dan analisa menyangkut kebijakan pemerintah terkait buruh migran, kami temukan belum adanya unsur muatan standar yang sesuai. Terutama mengenai hak asasi manusia,” kata Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, dalam paparannya di Jakarta, Senin (7/3).
Adapun sejauh ini, pemerintah Indonesia telah menyepakati 9 MoU dengan sejumlah negara tujuan buruh migran Indoneisa di Asia. Di antaranya dengan Malaysia pada 2003 dan 2006, Jepang, Arab Saudi, Taiwan, Qatar, Korea Selatan, Lebanon, Syria, dan Uni Emirat Arab.
Anis menjelaskan, ihwal hak asasi manusia yang ada pada instrumen MoU tersebut belum mencapai prinsip-prinsip fundamental, sebagaimana terkandung dalam Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.
Dalam MoU pemerintah Indonesia dengan Malaysia, misalnya, buruh migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di sana, tidak dimuat klausul adanya aturan tentang jam kerja, batas usia minum, penjelasan tentang hak-hak yang wajib dilindungi, dan tidak diperbolehkannya para buruh berserikat.
“Hampir seluruh MoU tidak memuat hak-hak buruh migran dan kesepahaman yang dibangun atas landasan saling menguntungkan kedua belah pihak,” ujarnya. “Bahkan kajian yang telah kami lakukan menemukan, salah satu MoU hanyalah bersifat turunan dari perjanjian ekonomi dan perdagangan.”
MoU itu, kata Anis, adalah perjanjian Indonesia dengan Jepang dalam skema IJEPA (Indonesia Japan Economic Partnership). Dalam skema itu, tentu sudah dapat dipastikan isinya hanya menyangkut soal prinsip-prinsip ekonomi, namun mengabaikan persoalan mengenai hak asasi manusia.
Sementara itu, kebijakan pemerintah dalam Undang-undang No 39/2004 dan turunannya, tidak ditegaskan kewajiban negara dalam memberikan perlindungan HAM pada para pekerja migran dan keluarganya. Yang ada justru melanggengkan diskriminasi pelayanan dan masih adanya nuansa yang orientasinya bersifat bisnis. Itu terlihat dari mayoritas pasal yang ada dalam UU tersebut, yang memberikan mandat kepada swasta untuk memberikan layanan dan perlindungan buruh migran.
“HAM dan keadilan gender menjadi asas dalam perlindungan undang-undang ini. Tetapi, asas tersebut tidak tercermin dalam aturan pada pasal-pasal di UU itu,” kata Anis.
Demikian juga, lanjut dia, dengan aturan turunannya, yakni Keputusan Menteri No. 17/2015. Penghentian permanen pengiriman TKI ke Timur Tengah tentu melanggar hak buruh migran untuk bekerja sebagaimana dijamin dalam konvensi buruh migran. Dalam hal ini pemerintah seolah lepas tangan untuk bertanggungjawab melindungi pekerja migran yang kerap menghadapi kerentanan dan terisolasi di kawasan tersebut.