Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mengeluarkan Peraturan Presiden ihwal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Perpres ini diperlukan agar kasus pelanggaran HAM yang selama ini tidak ditangani secara serius bisa segera diproses. Dengan begitu, tidak ada lagi pelimpahan perkara kasus dari lembaga ke lembaga lainnya yang cenderung memakan waktu lama.
“Makanya kami meminta agar Perpres segera dikeluarkan, bukan undang-undang. Itu agar lebih cepat dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata Koordinator KontraS, Haris Azhar Aziz ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (2/3).
Melalui Perpres itu, Haris menjelaskan, penyelesaian pelanggaran HAM bisa lebih implementatif. Itu karena garis komando untuk menginstruksikan para penegak hukum terkait berada langsung di tangan Presiden. Artinya, proses penyelesaian HAM nantinya bakal lebih cepat. Sementara jika harus dibuat suatu undang-undang, dapat dipastikan prosesnya akan berbelit-belit dan memakan waktu lama. Lebih-lebih harus melalui pembahasan di DPR.
“Kalau melalui DPR, sudah pasti bakal dijegal oleh mereka yang tidak ingin kasus pelanggaran HAM ini diselesaikan secara hukum. Terutama oleh tiga partai yang jelas sangat terkait dengan kasus pelanggaran HAM. Tiga partai itu antara lain Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai Golkar,” tuturnya.
Karena itu, dia menyebut, yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah mengeluarkan perpres. Perpres itu nanti akan mengakomodasi pembentukan sebuah tim kecil yang cukup beranggotakan lima orang saja yang berada di kantor kepresidenan. Mereka bekerja berdasarkan mandat dari Presiden secara langsung untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Ada beberapa orang yang sangat kompeten untuk mengisi posisi dalam tim kecil ini. Itu seperti Marzuki Darusman, yang nyata bekas wakil ketua Komnas HAM dan Jaksa Agung. Tentu dia sangat paham dengan kasus pelanggaran HAM. Kemudian Hendardi, seorang aktivis HAM, Hassan Wirajuda, dan Kartika Candra Kirana,” ujarnya.
Adapun upaya rekonsiliasi dari Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, Haris menegaskan, tidak serta merta itu bisa segera diwujudkan. Pasalnya, negara perlu mencari fakta-fakta terkait yang hingga kini masih belum terungkap. Jika sudah terungkap, baru kemudian mengadili para pelaku pelanggar HAM tersebut.
“Rekonsiliasi bukan pilihan. Ini sangat irasional dan ngawur kalau tidak ada proses hukum. Rekonsiliasi bisa terwujud kalau melalui proses hukum terlebih dahulu. Sebab, ini kejahatan yang sangat serius,” tutup Haris.