Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai pemerintahan hasil Pilkada Serentak 2015 akan menghadapi fragmentasi politik yang tinggi di parlemen. Sebab, tanpa dukungan koalisi yang kuat, rancangan kebijakan antara eksekutif dan legislatif akan menemui kebuntuan.
“Pemerintahan hasil Pilkada Serentak 2015 tidak mampu membangun koalisi pemerintahan yang kongruen secara horisontal (eksekutif-legislatif) dan vertikal (pusat-daerah). Kondisi ini akan membuka peluang perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan didasarkan pada transaksi,” kata peneliti Perludem Heroik M. Pratama di Jakarta, Senin (29/2).
Dia menilai, sebagian besar kepala daerah yang terpilih didukung oleh minoritas kursi DPRD. Bahkan dukungan tersebut tidak melebihi 50% kursi di parlemen. Padahal, koalisi solid dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan presidensial yang mengharuskan eksekutif dan legislatif menghasilkan kebijakan publik secara bersama-sama.
Di sisi lain, sebagian besar koalisi partai politik pengusung kepala daerah di tingkat provinsi tidak selaras dengan koalisi partai politik di tingkat pemerintahan pusat hasil Pemilu Presiden 2014. Begitu pula koalisi partai politik pengusung kepala daerah di level kabupaten/kota tidak selaras dengan koalisi partai politik di level provinsi.
Kondisi ini, lanjut Heroik, sedikit banyak berpengaruh pada efektivitas hubungan pemerintahan pusat dengan daerah kelak. Secara teori, terdapat dua akibat yang berpotensi muncul jika dukungan kepala daerah minim dan tingginya indeks effective number party in parliament.
“Pertama, konflik antara eksekutif yang berkepanjangan yang berujung pada deadlock pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Kedua, terjadinya korupsi politik yang melibatkan eksekutif dan legislatif dalam wujud sistem kepartaian yang terkartelisasi.”
Dalam konteks Indonesia, kata Heroik, deadlock dalam perumusan kebijakan publik antara gubernur dengan DPRD provinsi hampir jarang terjadi. Akan tetapi kebijakan berbasis transaksional bisa saja terjadi antara kepala daerah dan anggota DPRD.
“Basis transaksi ini menjadi pelumas sekaligus alasan di balik mengapa kebijakan publik yang diusulkan oleh pemerintah daerah tetap dapat disetujui oleh DPRD di tengah dukungan minoritas koalisi partai politik pengusung kepala daerah di parlemen,” ujar Heroik dalam keterangan resmi.
Dengan kata lain, suap kebijakan dilakukan untuk mempermudah pembahasan kebijakan publik di tengah kondisi DPRD yang tidak sepaham. Suap ini dapat dijadikan instrumen dasar bagi kepala daerah terpilih untuk memuluskan perda ataupun APBD yang diusulkan oleh pemerintah daerah.
Sementara adanya pemerintahan yang tidak kongruen secara vertikal, antara pemerintah pusat dengan daerah dapat berpengaruh di setiap pengambilan keputusan. Kondisi itu sedikit banyak akan berpengaruh pada realisasi anggaran penyelenggaran pemda, terutama dana transfer pusat terhadap daerah, baik dalam wujud dana alokasi umum ataupun dana alokasi khusus
Ke depan, pilkada serentak mesti didesain untuk menciptakan eksekutif-legislatif yang kondusif menuju pemerintahan efektif. Implementasi pemilu serentak daerah yang memilih kepala daerah dan anggota legislatif daerah di hari yang sama bisa menjadi solusi.