Rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Puranama alias Ahok menghapus bahan bakar minyak jenis premium di wilayah DKI Jakarta didukung Forum Warga Kota Jakarta (Fakta). Pasalnya, kualitas emisi gas buang yang dihasilkan premium (RON 88) tersebut sangat buruk.
Ketua Fakta Azas Tigor Nainggolan mengatakan, kesetujuannya menghilangkan premium di Ibu Kota karena kualitasnya yang buruk. Akan tetapi penghapusan itu harus diiringi dengan subsidi angkutan umum dari pemerintah DKI Jakarta.
“Saya setuju dihilangkan, tapi diganti dengan makanisme subsidi angkutan umum,” kata Tigor ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (2/9). Selain itu, dia mempertanyakan permintaan Ahok kepada pengelola angkutan umum dan mikrolet untuk beralih ke bahan bakar gas (BBG).
Dia menjelaskan jika Ahok berdalih polusi udara karena penggunaan premium, bukan berarti angkutan kota harus menggunakan BBG. Pasalnya, emisi gas buangnya juga lebih buruk dibandingkan dengan BBM berstandar Euro 4.
“Penggunaan BBG bukan segalanya dan bukan standar mengurangi polusi udara. Tapi emisi gas buang yang menjadi standar pemerintah dalam pengurangan polusi,” ujar Tigor.
Selain itu, Fakta mempertanyakan mahalnya harga premium di Indonesia. Di Malaysia, harga pertamax plus (RON 95) per Januari 2016 adalah Rp 5.973 per liter, sedangkan di Indonesia harga premium Rp 7.150 per liter.
Hal berbeda diungkapkan Ketua DPD Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan. Dia mengatakan, rencana Ahok tidak tepat untuk saat ini karena transportasi di Jakarta belum memadai dan belum terintegrasi dengan moda transportasi lainnya.
Shafruhan menjelaskan jika mikrolet dan taksi mengkonsumsi BBM jenis pertalite, maka beda harganya Rp 850 per liter. Dengan begitu, beban biaya operasional yang akan ditanggung oleh sopir jadi lebih besar. Pihaknya menghitung mikrolet dan taksi mengkonsumsi premium 30 liter per hari.
Kalau mikrolet dan taksi mengkonsumsi pertalite, maka ada penambahan ongkos yang harus dikeluarkan sopir sebesar Rp 25.500 per hari. Nantinya, kata dia, biaya tambahan tersebut akan dibebankan kepada penumpang melalui kenaikan tarif. “Kalau diterapkan, yang tersiksa juga masyarakat kecil,” ujar Shafruhan.
Saat ditanya solusi alternatif seperti memberikan subsidi pertamax, dia menjelaskan bahwa harga premium saja tidak disubsidi, apalagi pertalite. Manurutnya, harga premium itu sudah ekonomis, tapi bukan itu persoalannya.
“Persoalannya adalah moda transportasi kita belum memadai. Mass rapid transit, light rail transit belum selesai. Kalau sudah selesai dan terintegrasi, mau menerapkan (BBM) Rp 10 ribu atau Rp 20 ribu tidak masalah, karena angkutan publik sudah terjangkau dan murah,” kata Shafruhan.
Sebelumnya, Ahok mengungkapkan keinginan pemerintah DKI Jakarta agar premium tidak lagi dijual di Ibu Kota. Dia beralasan agar masyarakat pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum. Namun, Shafruhan menegaskan masyarakat belum tentu beralih ke angkutan umum jika kondisi transportasi publik belum memadai.