Rachmi Hertanti, Koordinator Indonesia Focal Point mengatakan, resolusi Perserikatan Bangsa- Bangsa Nomor 26/9 tentang Instrumen Hukum yang Mengikat dan Mengontrol Korporasi Tansnasional sudah sangat tepat. Sebab, kita butuh instrumen hukum yang mengikat untuk memastikan negara menjalankan kewajibannya dalam menegakkan perlindungan HAM di Indonesia.
“Selama ini negara malah turut serta memperlemah perlindungan HAM di Indonesia melalui penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih banyak melindungi kepentingan investor dibandingkan masyarakat,” kata Rachmi di Jenewa, Rabu [8/7].
Menurut dia, pemerintah saat ini sangat masif melakukan penandatanganan free trade agreement dan bilateral investment treaty. Hak itu menyebabkan peran negara untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang melindungi HAM menjadi hilang.
Rachmi menambahkan, bahwa agenda pembangunan ekonomi Indonesia hari ini tidak pernah mempertimbangkan kepentingan masyarakat, bahkan tidak memperdulikan perlindungan HAM.
Contoh konkritnya, soal pembangunan Food Estate di Merauke pada zaman Susilo Bambang Yudhoyono dan kembali dikukuhkan oleh Presiden Jokowi. Merauke Integrated Food and Energy Estate akan menjadi cermin bagi pembangunan Food Estate lainnya di Kalimantan, kata Rachmi.
Irhash Ahmady, aktivis WALHI mengatakan, pembahasan resolusi ini harus mendorong negara menjadi garda untuk mendesak pertanggungjawaban perusahaan transnasional yang selama ini telah memberikan dampak buruk yang sistematis dan menurunkan kualitas hidup rakyat, mencemari lingkungan, serta mengarah kepada kejahatan produk politik.
“Perumusan treaty binding on business and human rights ini harus mampu mendorong dan memperkuat regulasi yang sudah ada di mana negara harus bertanggung jawab dan terus melindungi HAM, utamanya dari bisnis industri ekstraktif yang semakin mendorong rendahnya kualitas hidup manusia Indonesia dan ketiadaan keberlanjutan lingkungan,” kata Irhash.[*]