Jaringan Advokasi Tambang menyatakan pertambangan merupakan lahan yang subur bagi praktik korupsi sehingga sering terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia, seperti perampasan lahan serta intimidasi dengan menggunakan aparat.
Hendrik Siregar peneliti Jatam mengatakan, pertambangan merupakan kejahatan sempurna karena menimbulkan pencemaran, kehancuran ekosistem, penggundulan hutan dan menyuburkan praktik korupsi.
“Tambang juga merupakan ladang korupsi bagi sejumlah orang, baik korupsi terkait dengan perizinan maupun penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan,” kata Hendrik di Jakarta, Rabu (8/7).
Kajian ICW di tiga provinsi; Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur menemukan praktik pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang melegalkan pembukaan tata ruang hutan melalui peraturan daerah. Adanya perda itu, memberi celah kepada koruptor untuk menjalankan usahanya.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring ICW, Emerson Yuntho mengatakan, proses ini terjadi karena ada upaya-upaya melanggar hukum. Ketika pengusaha perkebunan, tambang dan migas mendapat izin pembukaan hutan dan lahan maka tingkat penebangan hutan juga meningkat. Itu semua tidak bisa dilepaskan dari faktor kebijakan daerah desentralisasi.
Menurut Emerson, lima tahun terakhir ada pengumpulan dana melalui sumber daya alam. Kecenderungan itu terjadi di daerah yang memiliki SDA. Kepala daerah tidak akan mengkorupsi dana APBD, sebab cukup memberikan izin pembukaan pertambangan dan perkebunan untuk mengumpulkan dana politik, kata Emerson.
ICW menemukan pada 2011, ada 20 kasus di sektor SDA yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 9 triliun. Kasus itu terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Artinya SDA menjadi sasaran empuk praktik.
Hal serupa diungkapkan Bambang Widjojanto, Pimpinan non aktif Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan, pertambangan memiliki potensi korupsi yang sangat besar. Karena itu, pengetahuan mengenai tambang dan batubara harus mendalam serta harus dipikirkan secara matang mengenai strategi dan upaya hukumnya.
“Perlu adanya dukungan partisipasi publik yang besar dalam upaya memberantas mafia batubara,” kata Bambang seperti dikutip elsam. Selama ini masyarakat seakan tidak berdaya menghadapi perusahaan tambang batubara walaupun lingkungan dan hak milik masyarakat telah dirusak.[*]