Selasa, Mei 7, 2024

Pertahankan BI Rate 7,5%, Ekonomi Akan Semakin Sulit

Bank Indonesia, Kenaikan Harga Barang, pertumbuhan ekonomi
Ilustrasi-Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara (kedua kiri), Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo (kiri), Ronald Waas (kedua kanan), Halim Alamsyah (kanan) usai menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (19/5). BI memutuskan mempertahankan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 7,50 persen sejalan dengan kebijakan moneter guna menjaga inflasi. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/mes/15

Bank Indonesia kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau BI Rate di angka 7,5%. Kebijakan moneter yang diambil bank Indonesia itu disebut akan semakin mempersulit perekonomian nasional ditengah kondisinya saat ini yang sedang anjlok.

Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Nurdin Tampubolon, mengatakan kebijakan Bank Indonesia ini bertolak belakang dengan kebijakan fiskal pemerintah. Hal ini justru akan mempersulit perekonomian untuk bisa tumbuh secara berkesinambungan.

“Saat ini daya saing industri dan sektor riil di dalam negeri sangat sulit untuk bersaing di lingkup Asia Tenggara maupun Asia Pasifik. Lemahnya daya saing ini karena terganggu oleh tingkat suku bunga acuan yang sangat tinggi,” kata Nurdin di Jakarta.

Dia mengungkapkan, dibandingkan negara-negara tetangga, Indonesia merupakan negara yang cukup tinggi mematok tingkat suku bunga acuan. Filipina menetapkan tingkat suku bunga acuannya hanya sebesar 4%, Malaysia 3,5%, Thailand 1,5%, dan Singapura 1,01%.

“Itu sebabnya, sejak Januari tahun ini, angka pertumbuhan ekonomi terus melanjutkan tren perlambatan, karena besaran BI Rate tidak mendukung sektor riil dan industri dalam memberikan kontribusinya pada ekonomi kita,” katanya.

Menurut Nurdin, agar bisa bersaing dengan negara-negara tetangga, maka idealnya BI Rate diupayakan berada di kisaran 2,5 hingga 3 persen. Dengan begitu, BI Rate bisa sejalan dengan kebijakan fiskal pemerintah yang berorientasi untuk menumbuhkan dan memperbaiki iklim usaha di sektor riil dan industri.

“Jika sektor riil dan industri kuat, neraca transaksi berjalan bisa surplus, pada akhirnya akan menguatkan nilai tukar rupiah,” tuturnya.

Dia menuturkan, defisit neraca transaksi berjalan saat ini yang mendekati tiga persen dari Produk Domestik Bruto dipengaruhi oleh struktur industri yang lemah dan sektor riil yang tidak berdaya saing. Sementara komponen ekspor maupun impor tidak mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Akibatnya, Indonesia selalu impor untuk memenuhi kebutuhan nasional. Hanya konsumsi masyarakat dan investasi yang dominan.”

Lebih lanjut, dia mengatakan Bank Indonesia tidak perlu khawatir mengenai angka inflasi yang masih cukup tinggi jika menurunkan BI Rate. Sebab, inflasi yang terjadi pada Juni, misalnya, yang masih 7,26 persen secara tahunan tidak ada kaitannya dengan kebijakan jika BI Rate diturunkan.

“Berdasarkan hasil studi banding kami dengan pemerintah dan Bank Sentral Korea Selatan baru-baru ini, besaran suku bunga acuan tidak bergantung pada realisasi dan proyeksi inflasi,” katanya. [*]

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.