Jumat, April 19, 2024

Penataan Kota di Indonesia Belum Berbasis Rawan Bencana

Sejumlah warga melihat Gunung Sinabung menyemburkan material vulkanis disertai awan panas, di Desa Namanteran, Karo, Sumatera Utara, Selasa (16/6). Gunung Sinabung berstatus Awas (Level IV) kembali erupsi, mengakibatkan sedikitnya 2.805 warga mengungsi. ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi
Ilustrasi sejumlah warga melihat Gunung Sinabung menyemburkan material vulkanis disertai awan panas, di Desa Namanteran, Karo, Sumatera Utara, Selasa (16/6). Gunung Sinabung berstatus Awas (Level IV) kembali erupsi, mengakibatkan sedikitnya 2.805 warga mengungsi/ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

Berdasarkan laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), penataan kota di Indonesia belum berbasis peta rawan bencana. Hal itu terlihat dari pembangunan yang masih belum memperhatikan unsur risiko bencana yang ada di wilayah tersebut.

Wilayah Indonesia sendiri merupakan wilayah rawan bencana. Menurut data BNPB, ratusan jiwa terpapar bahaya bencana tingkat sedang dan tinggi. Sebanyak 148,4 juta terpapar akibat gempa bumi, 4,2 juta jiwa akibat tsunami dan sebanyak 3,9 juta jiwa terpapar akibat kasus gunung api.

Persiapan-persiapan penting seperti pembangunan jalur evakuasi, penempatan alat pendeteksi gempa atau tsunami, distribusi alat pemantau gempa (seismograf) di 163 lokasi hingga kini belum terbagi merata, terutama di wilayah Indonesia timur. Perhatian daerah terhadap manajemen bencana masih sangat lemah dan seharusnya semua dilakukan pemerintah daerah.

Pembangunan pemukiman di wilayah rawan bencana masih dilakukan meskipun, masyarakat dan pemerintah mengetahui daerah tersebut rawan bencana. Di Aceh pembangunan kota setelah tsunami 2014 tidak dikuti perubahan tata ruang. Padahal wilayah rawan bencana tetap bisa dibangun pemerintah, meskipun harus memperhatikan aturan pencegahan bencana.

Rencana pengosongan kawasan pesisir terdampak tsunami seperti diusulkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, relatif gagal. Masyarakat Aceh kembali tinggal di pesisir, tempat bencana yang sama tanpa perhitungan dan sensitivitas terhadap risiko bencana.

Indonesia semestinya belajar dari Jepang. Setelah tsunami Sanriku pada November 2011, Jepang mengeluarkan undang-undang baru, yaitu Act on the Development of Tsunami Resilient Communities atau Act No 123/2011. Peraturan itu mengamanatkan pemerintah daerah menata ulang kota dengan memperhitungkan ancaman tsunami. Salah satu konsekuensinya pengosongan permukiman di kawasan terlanda tsunami

Jepang mengubah banyak tata kotanya agar sensitif terhadap bencana. Zona pesisir yang rentan dikosongkan sekian meter dari hunian, diganti dengan kegiatan ekonomi baru. Hutan mangrove di pesisir dibangun di atas tanah yang ditinggikan dengan harapan akar tanaman lebih kuat dan menjadi benteng alami. Jalan lingkar di pesisir ditinggikan dan dijadikan tanggul pengaman tambahan.[*]

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.