Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air Mohammad Reza Sahib menyatakan pemerintah masih kurang menaati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembatalan keberlakuan Undang-Undang Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Hal ini terlihat dari rencana pemerintah dalam membuat peraturan pengelolaan sumber daya air.
Putusan MK ini dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (18/2), di Ruang Sidang Pleno MK. PP Muhammadiyah; Perkumpulan Vanaprastha; Al Jami’yatul Washliyah; Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK); dan beberapa orang mengajukan permohonan tersebut.
Dalam permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 8/PUU-III/2005, perihal pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Penyelewengan tersebut berupa privatisasi dan komerialisasi yang merugikan masyarakat.
MK memutuskan Undang-Undang Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memenuhi enam prinsip dasar perbatasan pengelolaan sumber daya air. Berkaitan dengan keputusan tersebut, MK mempertimbangkan sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi yang diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri. Selain itu, dalam putusan tersebut, pihak swasta tidak diperbolehkan menguasai pengelolaan air.
“Swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto seperti dilansir laman resmi Mahkamah Konstitusi.
Namun, penguasaan pengelolaan air oleh pihak swasta masih terjadi. Fakta ini dapat dilihat dari penyerahan layanan air bersih di Jakarta kepada dua operator swasta yaitu PT PALYJA dan PT AETRA. Hal ini kemudian berdampak pada kesulitan mendapatkan air bersih di Jakarta. Masyarakat Jakarta harus mengeluarkan uang untuk membeli air bersih dengan tarif mencapai Rp 7 ribu.
Pemungutan tarif untuk mendapatkan air bersih juga terjadi di kota-kota lain seperti Surabaya, Makassar, dan Medan. Tarif air di kota-kota tersebut berkisar Rp 2.000 hingga Rp 2.600. Menurut UNICEF dan WHO, sebanyak 39 juta populasi di Indonesia tidak memiliki akses ke sumber air minum. [*]