Lebih dari empat juta warga Suriah telah melarikan diri dari perang sipil yang melanda negara tersebut untuk menjadi pengungsi di wilayah sekitar. Satu juta di antaranya mengungsi sepanjang 10 bulan terakhir, demikian PBB menyatakan pada Kamis.
“Ini adalah populasi pengungsi terbesar dari satu konflik sepanjang generasi terakhir,” kata kepala badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) dalam penyataan tertulis.
“Ini adalah populasi yang membutuhkan dukungan dunia, namun justru hidup dalam kondisi memprihatinkan dan tenggelam lebih jauh dalam kemiskinan,” kata dia.
UNHCR mengatakan bahwa lonjakan kedatangan pengungsi di Turki telah membuat angka total pengungsi Suriah di negara-negara tetangga menjadi 4.012.000 orang.
Pada 10 bulan lalu, tepatnya akhir Agustus 2014, pengungsi Suriah yang terdaftar baru mencapai tiga juga, kata UNHCR, sambil menambahkan bahwa jika warga Suriah terus melarikan diri dari negaranya seperti saat ini, maka jumlah mereka akan menjadi 4,27 juta pada akhir tahun.
Pengungsi Suriah saat ini merupakan yang terbesar yang pernah ditangani oleh UNHCR selama seperempat abad terakhir, sejak organisasi tersebut membantu 4,6 juta warga Afghanistan pada 1992, kata juru bicara UNHCR.
Lebih dari 230.000 nyawa telah tewas di Suriah sejak demonstrasi anti-pemerintah muncul pada Maret 2011, yang kemudian berkembang menjadi perang sipil antara pasukan pro-rezim, gerilyawan, dan sejumlah kelompok garis keras.
Lebih dari itu, 7,6 juta warga Suriah kehilangan rumah tetapi masih bertahan di tengah konflik, “Banyak di antara mereka harus menghadapi situasi sulit dan di lokasi yang sulit dijangkau,” kata UNHCR.
Di sisi lain, pengungsi asal Suriah mencapai sepertiga dari total 137.000 orang yang menyeberangi Laut Tengah ke Eropa sepanjang pertengahan pertama tahun 2015, banyak dengan menggunakan perahu rakitan yang dikendalikan oleh pelaku perdagangan manusia, demikian data UNHCR menunjukkan.
“Memburuknya situasi telah mendorong bertambahnya jumlah pelarian ke Eropa dan wilayah lain,” kata Guterres sambil menekankan bahwa “sebagian besar pengungsi masih bertahan di kawasan (Timur Tengah).”
Pernyataan UNHCR itu disampaikan di tengah munculnya laporan dari Turki yang saat ini telah menampung sekitar 1,8 juta warga Suriah yang tengah menyiapkan fasilitas penampungan baru berkapasitas 55.000 orang demi mengantisipasi perkiraan eksodus besar-besaran akibat eskalasi konflik di daerah perbatasan Aleppo.
Selain ke Turki, sebanyak 1,17 juta warga Suriah juga mencari perlindungan di Lebanon. Jumlah itu setara dengan seperempat total populasi negara penampung.
Sementara itu Yordania menjadi tuan rumah bari 629.000 pengungsi Suriah, di Irak sebanyak 250.000, Mesir sebesar 132.500, dan 24.000 lainnya melarikan diri ke negara Afrika Utara lain, demikian data terbaru UNHCR menunjukkan.
Sebagai perbandingan, sekitar 270.000 warga Suriah saat ini tengah mecari suaka ke Eropa, kata UNHCR.
Organisasi itu membutuhkan US$5,5 juta pada tahun ini untuk membantu para pengungsi Suriah dan sejumlah komunitas penampung di negara-negara sekitar. Sampai sejauh ini, UNHCR baru bisa mengumpulkan kurang dari setengah jumlah tersebut.
“Ini berarti bahwa para pengungsi harus menerima jatah makanan yang lebih sedikit. Mereka juga kesulitan memperoleh layanan kesehatan atau pun mengirim anak-anak ke sekolah,” kata UNHCR UNHCR menambahkan bahwa kehidupan bagi pelarian Suriah semakin sulit.
Sekitar 85 persen di antara mereka yang berada di luar penampungan Yordania hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari US$3,2 dolar per hari. Selain itu, 55 persen pengungsi Suriah di Lebanon tinggal di penampungan yang tidak memenuhi standar.
Mengingat konflik berdarah telah memasuki tahun kelima tanpa tanda-tanda akan berakhir, UNHCR mengatakan bahwa banyak pengungsi telah kehilangan harapan untuk kembali ke negaranya.
Saat mereka semakin putus asa, banyak di antara mereka yang terlibat dalam “sejumlah praktik negatif”, seperti mempekerjakan anak, mengemis, dan menikahkan anak di bawah umur, demikian UNHCR mengingatkan.
Persaingan untuk mendapatkan pekerjaan, tanah, perumahan, air, dan energi juga membuat beban yang besar bagi komunitas penampung.
“Kita tidak boleh membiarkan mereka dan komunitas yang menampung mereka ke dalam jurang keputus-asaan yang lebih dalam,” kata Guterres. (Antara/Reuters)