Festival Lampu Colok demi melestarikan tradisi menyambut Idul Fitri.
Lampu-lampu colok atau teplok itu terpasang rapi pada sebuah instalasi kayu. Pada malam yang telah ditentukan, lampu-lampu dari bekas botol minuman itu akan disulut menggunakan obor. Ratusan pijar cahaya kecil muncul perlahan, membentuk sketsa berbentuk masjid, lengkap dengan kubah dan dua menara di sisinya.
Ini adalah Festival Lampu Colok yang rutin diselenggarakan masyarakat Riau tiap malam 27 Ramadan hingga malam takbiran.
Tradisi ini merupakan warisan budaya masyarakat Melayu Pekanbaru dan sekitarnya. Dulu masyarakat Melayu Pekanbaru yang disebut Senapelan memasang lampu colok di sepanjang kampung saat Ramadan memasuki malam ke-27. Hal itu dilakukan sebagai bentuk rasa syukur memasuki malam Lailatul Qadar sekaligus menyambut hari kemenangan Idul Fitri.
Seiring perkembang zaman, tradisi itu berkembang menjadi festival tahunan. Masyarakat Riau menjadikan kegiatan ini sebagai ajang perlombaan kreativitas. Orang-orang membuat rangkaian lampu colok hingga menyerupai bentuk masjid ataupun Asma Allah.
Colok dalam bahasa Melayu berarti alat penerang. Kadang masyarakat Melayu menyebutnya pelite atau pelito. Seperti teplok, lampu colok juga menggunakan sumbu kompor dan minyak tanah sebagai bahan bakar. Saat ini ada beragam lampu colok. Ada yang terbuat dari bambu atau kaleng. Ada pula yang berbahan botol bekas, seng, hingga aluminium.
Festival Lampu Colok biasanya digelar masyarakat Melayu pesisir yang sepanjang pantai timur Riau. Tradisi ini menjadi ritual tahunan masyarakat Pekanbaru, Bengkalis, Siak, Dumai, Meranti, dan Bagan Siapi-api.
Memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, masyarakat bahu-membahu membuat lampu colok, gapura kayu, hingga menggalang dana untuk membeli minyak tanah. Pengerjaan gapura biasanya memakan waktu 3 – 4 hari dan membutuhkan 30 – 40 batang kayu berbagai ukuran. Setelah konstruksi jadi, tahapan selanjutnya membentuk garis desain dengan menggunakan kawat. Kawat ini akan menjadi tempat untuk “menanam” lampu-lampu colok. Pengerjaannya butuh waktu sekitar dua jam.
Saat festival berlangsung, tiap miniatur menghabiskan minyak tanah hingga 25 liter. Minyak tanah itu untuk menghidupkan 2.000-an lampu colok yang menghiasi bangunan setinggi 5 meteran. Pemasangan lampu dilakukan dengan menghindari risiko seminimal mungkin. Misalnya menjauhkan dari sumber listrik.
Festival Lampu Colok menjadi ajang perlombaan antardesa atau kelurahan. Tim penilai dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten atau kota akan mengunjungi tiap kecamatan. Kriteria penilaian berdasarkan kekokohan bangunan, keindahan artistik, jumlah lampu colok, serta ornamen yang ditampilkan.
Konstruksi gapura pun harus mengindahkan aspek keamanan. Jaraknya harus 5 meter dari jalan umum. Ini agar tidak membahayakan dan mengganggu pengguna jalan. Selain itu, kebersihan lokasi sekitar gapura dan kualitas lampu colok juga dinilai.
Festival ini biasanya berlangsung seusai salat tarawih. Warga menyulut lampu colok dengan sebuah obor. Suasana semarak tercipta di pelosok desa hingga wilayah perkotaan. Pemuda-pemudi tumpah ruah di jalanan. Orang tua dan serta anak-anak pun menyaksikan festival berhadiah jutaan rupiah ini.
Keindahan pola yang dihasilkan lampu colok hanya bisa dinikmati dari jarak jauh. Selain panas dan berbahaya, menyaksikan lampu colok dari jarak dekat bisa membuat wajah menghitam akibat asap.
Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Pekanbaru Hermanius mengatakan, Festival Lampu Colok merupakan wahana untuk melestarikan kearifan lokal. “Festival ini digelar sebagai upaya melestarikan budaya tradisional Melayu di Pekanbaru. Keindahannya saat malam hari membuat daya tarik seni yang artistik. Kami terus membudayakan festival ini sebagai tradisi serta promosi wisata.”
Salah satu kendala pelaksanaan Festival Lampu Colok adalah ketersediaan minyak tanah. Minyak tanah yang dibutuhkan untuk 4 malam penyelenggaraan sekitar 2 drum. Padahal, kini tak mudah mendapatkan minyak tanah. Setelah kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji, minyak tanah pun menghilang dari pasaran dan menjadi lebih mahal, bahkan dibandngkan harga bahan bakar minyak jenis Pertamax.
Kelangkaan dan mahalnya minyak tanah itu memunculkan wacana untuk mengganti lampu colok dengan lampu listrik. Bahkan menghapus perayaan lampu colok dari agenda festival.
Bupati Karimun Nurdin Basirun mengatakan, Festival Lampu Colok sebaiknya ditiadakan. Sebab, selain menghamburkan BBM, ajang ini juga memproduksi polusi dari nyala ribuan lampu colok. Namun, tradisi Melayu bernuansa islami ini mesti terus digelar, tapi digelar bukan di wilayah perkotaan, melainkan di daerah hinterland atau pulau-pulau, seperti Buru, Kundur, Moro, dan Durai.
Opsi yang diwacanakan Bupati Karimun tampaknya sulit diterima masyarakat. Namun, mengganti lampu colok dengan lampu listrik cukup masuk akal.
Dulu lampu colok dibuat dari bambu yang dilubangi dan dipasang biji buah kemiri atau damar sebagai bahan bakar. Seiring perjalanan waktu, penggunaan bahan bakar nabati itu diganti dengan minyak tanah.
Kini penggunaan bambu untuk lampu colok pun mulai ditinggalkan karena sulit mendapatkan pohon bambu. Sebagai ganti, masyarakat menggunakan kaleng atau bekas botol minuman sebagai wadah minyak tanah.
Meredupnya semarak perayaan Festival Lampu Colok tak hanya terjadi di Kabupaten Karimun. Di Kabupaten Bengkalis, tradisi itu juga mulai terpinggir seiring masuknya listrik di pedesaan.
Hal itu diungkapkan hasil penelitian Rika Purnama Sari, mahasiswa sosiologi Universitas Riau. Menurut Rika, pelaksanaan Festival Lampu Colok yang kini dikoordinasi pemerintah adalah upaya mempertahankan eksistensi lampu colok di tengah perkembangan zaman. Meski demikian, perayaan lampu colok tak kehilangan fungsi mempererat silaturahmi, menguatkan kerja sama, melestarikan tradisi, serta memeriahkan suasana Ramadan menjelang Idul Fitri.
Menurut Rika, nilai-nilai tradisi lampu colok sudah bergeser ke arah positif. “Perubahan ini adalah pergeseran adat istiadat yang dahulu bersifat tradisional, kini menjadi lebih bersifat rasional.” [*]