Taman Nasional di Kuningan itu masih asri.
Mencapai puncak Gunung Ciremai di ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut mungkin terasa sempurna. Namun, jika tak punya banyak waktu ataupun peralatan pendakian yang memadai, tak usah berkecil hati. Keindahan gunung di Kuningan, Jawa Barat, ini bisa tetap dinikmati tanpa harus menaklukkan puncaknya.
Kawasan sekitar gunung seluas 15.500 hektare yang masuk dalam area taman nasional ini menyimpan harta karun. Keindahannya menjadi salah satu tujuan wisata favorit, selain puncak gunungnya.
Ditemani staf Balai Taman Nasional Gunung Ciremai serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saya mendapatkan kesempatan menjelajah keindahan lain kawasan itu. Wilayah taman nasional ini masuk wilayah administratif Kabupaten Majalengka dan Kuningan, Jawa Barat.
Saya memilih jalur Kuningan mempertimbangkan kemudahan aksesnya. Mudah dicapai melalui Cirebon dengan kereta api ataupun menggunakan kendaraan melewati Tol Cipali, tol terpanjang di Indonesia yang baru saja diresmikan.
Dari Cirebon, saya melanjutkan melalui jalur darat menggunakan mobil menuju Kuningan yang memakan waktu sekitar 1 jam.
Harta karun yang ingin saya temui di Taman Nasional Gunung Ciremai adalah kodok merah (Leptophryne Cruentata) dan ikan dewa. Kodok merah juga ada di kawasan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Namun, ikan dewa adalah hewan endemik Kuningan.
Perjalanan pertama saya menuju ke Ipukan, Dusun Palutungan di Kecamatan Cigugur Kabu. Dari pusat kota Kuningan, desa itu dapat ditempuh dalam waktu 30 menit melalui jalan yang meliuk-liuk dan menanjak ke perbukitan.
Setelah sampai di pos pendakian Resort Cigugur Taman Nasional Gunung Ciremai, jalan beraspal berganti medan off road berupa tanah merah penuh bebatuan. Dari pos itu Ipukan hanya berjarak sekitar 800 meter.
Di area lapang di kampung dengan ketinggian sekitar 1.200 mdpl ini kini ada bumi perkemahan. Menurut staf taman nasional, objek wisata Ipukan belum lagi berusia 1 tahun dan pengelolaannya dilakukan masyarakat sekitar.
Belum banyak informasi tentang lokasi dan potensi alam tempat ini. Kebanyakan yang datang adalah wisatawan spontan. Tak heran ketika datang di tempat ini saya adalah tamu satu-satunya.
Ipukan terletak di tepi lembah. Panorama hutan menyambut ketika menginjakkan kaki di sini. Lokasinya di lembah memudahkan melakukan pengamatan satwa. Jika beruntung bisa melihat elang atau lutung.
Untuk menjumpai kodok merah, saya harus turun lagi menyusuri jalur tracking menuju Curug Cisurian. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya berjalan sekitar 5 menit kita disuguhi keindahan eksotik air terjun dari ketinggian sekitar 40 meter.
Di curug itu, mata harus jeli pada bebatuan yang berserakan. Meski disebut kodok merah, permukaan kulitnya hitam dengan totol-totol kuning kehijauan. Warna ini menjadi kamuflase untuk menyamarkan keberadaannya pada bebatuan berlumut di sekitar air terjun.
Lalu, di mana merahnya? Warna merah terdapat pada bagian bawah kodok ini. Kodok merah hanya hidup di hutan tropis daratan tinggi Jawa Barat dan dalam status dilindungi karena terancam punah.
“Kodok merah menjadi indikator kejernihan air. Banyaknya kodok di sini menandakan air terjun di sini masih jernih,” kata Indri Hapsari, staf Taman Nasional Gunung Ciremai.
Karena kekayaan fauna di Ipukan, ke depan objek wisata ini direncanakan dijadikan tempat riset. Wisata Pendidikan Konservasi Alam Ipukan ini kelak difungsikan sebagai kawasan pengamatan satwa endemik dan tanaman obat-obatan.
Puas menjumpai kodok merah, tujuan selanjutnya menemui ikan dewa yang menjadi ciri khas dan dikeramatkan masyarakat Kuningan. Ada dua lokasi wisata habitat ikan dewa, yaitu Cibulan yang terletak di jantung kota Kuningan dan di pemandian alam Cigugur.
Dari Ipukan, Cigugur lebih mudah dijangkau. Hanya sekitar 20 menit perjalanan menggunakan mobil. Lokasi wisata ini terletak di tepi jalan raya yang menghubungkan Kuningan dengan Majalengka. Meski termasuk dalam objek wisata Taman Nasional Gunung Ciremai, pemandian Cigugur tidak termasuk dalam kawasan Gunung Ciremai.
Di pemandian ini terdapat tempat terapi ikan. Lumayan untuk merelaksasi kaki setelah lelah menelusuri jalanan seharian.
Tarif masuk emandian ini Rp 10 ribu. Kolam tempat para ikan dewa berkumpul terletak di bagian tengah yang dikelilingi rindang pepohonan tinggi menjulang yang berumur puluhan tahun.
Di dalam kolam itu hidup ratusan ikan dewa yang memiliki nama lokal Kancra Bodas. Ikan air tawar ini merupakan endemik dan hanya hidup di Kuningan.
Segera saya mencari tempat duduk. Baru saja kaki saya taruh ke dalam air, puluhan ikan dewa berukuran kecil menghampiri dan mengerubuti. Mereka memakan sel kulit mati kaki saya.
Rasa geli terasa bagi saya yang tak terbiasa, namun lama-kelamaan terasa nyaman, serasa dipijit-pijit. Awalnya saya agak khawatir karena ikan dewa dewasa cukup besar, sepanjang lengan manusia. Jangan-jangan bukan sel kulit mati yang dimakan, melainkan jempol kaki saya.
Pengunjung yang duduk di sebelah saya mengatakan, hanya ikan kecil yang memakan sel kulit mati. “Kalau yang sudah besar, tidak tau kenapa, tak mau mendekat,” kata Anam yang mengaku sering datang ke Cigugur.
Cigugur selama ini juga menjadi tempat upacara Seren Taun. Setiap tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda, upacara dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas rezeki, berkah, dan harapan melalui panen yang melimpah.
Menikmati pijatan ikan dewa di kedamaian alam dengan udara bersih membuat penat seharian segera sirna. Kodok merah dan ikan dewa menyempurnakan asyiknya liburan di Ciremai.[*]