Oleh Alinda Rimaya, Luthfi Ramadhan, Nuran Wibisono, Reza Ramadhan
Buah Indonesia berpotensi besar. Sayang, masih banyak kendala. Perlu perbaikan di sana-sini.
Setiap 1 Juli, dunia memperingati Hari Buah. Tahun ini Hari Buah Sedunia mengusung slogan “Our World, Our Fruit, Our Future” dan menjadikan blueberry sebagai “Fruit of The Year”. Perayaan yang bermula di Berlin, Jerman, pada 2007 ini selalu ditanggapi dengan meriah. Tapi tidak dengan di Indonesia. Tidak banyak yang membahas perayaan ini. Wajar saja, menurut Badan Pangan Dunia (FAO), tingkat konsumsi buah di Indonesia masih di bawah ideal.
Badan Pangan Dunia menetapkan tingkat ideal konsumsi buah dan sayur 65,75 kilogram per kapita per tahun. Pada 2014 orang Indonesia baru mengonsumsi 40 kilogram buah dan sayur per kapita per tahun atau 91 gram per hari. Sedangkan di Thailand dan Filipina tingkat konsumsi sayur dan buah 200 gram per hari. Bahkan di Singapura, tingkat konsumsi sayur dan buah telah mencapai 518 gram per hari.
Ini sedikit mengenaskan. Karena Indonesia dikenal sebagai penghasil buah. Tak hanya
itu, potensi buah-buahan di negara kita pun masih sangat besar. Belum lagi soal kesuburan dan iklim tropis Indonesia yang menumbuhkan buah-buahan endemik yang tak bisa dibudidayakan di kawasan lain.
Selain permasalahan tingkat konsumsi buah yang rendah, buah lokal harus menghadapi situasi genting. Dari buruknya penanganan selepas panen, pola pikir masyarakat terhadap buah lokal, hingga serbuan buah impor.
Secara umum, pola konsumsi buah dapat dibagi menjadi lima. Yang pertama adalah konsumsi
untuk rumah tangga. Persentasenya paling besar, mencapai 40 persen. Beberapa jenis buah yang dikonsumsi di kalangan rumah tangga adalah pisang, jeruk, apel, pepaya, salak, juga pir. Tiga di antaranya, yakni jeruk, apel, dan pir, kebanyakan diimpor. Ini artinya, meski konsumsi di kalangan rumah tangga meningkat, impor juga meningkat.
Pengonsumsi buah kedua adalah sektor industri. Buah dipakai untuk membuat jus hingga
minuman ringan. Persentase sektor ini mencapai 30 persen. Selanjutnya, industri hotel, restoran, dan unit usaha food and beverage adalah pengonsumsi buah dengan persentase
permintaan sekitar 20 persen.
Kemudian kurang dari 10 persen adalah buah yang dikonsumsi hanya di musim tertentu.
Seperti durian, mangga, atau buah naga. Sisa beberapa persen adalah buah untuk pasar
ekspor. Kemudian, bagaimana posisi buah lokal untuk kebutuhan dalam negeri?
“Pangsa buah lokal terhadap total buah yang dikonsumsi masih besar. Lebih dari 80 persen,”
kata Bayu Krisnamurthi, mantan Wakil Menteri Perdagangan, kepada The Geo Times. “Hanya saja, pertumbuhan buah impor sudah lebih besar dibanding pertumbuhan produksi
lokal. Ini yang perlu menjadi perhatian.”
Permintaan atas buah impor memang relatif meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik, dari tahun 2007 hingga 2011 rata-rata pertumbuhan impor mencapai 14 persen.
Pada 2007 volume buah impor masih berkisar 503.125 ton. Pada 2011 melonjak
tajam menjadi 832.080 ton. Namun kemudian menurun pada 2012 menjadi 759.005 ton.
Nilai impor tahun 2012 mencapai US$ 814,9 juta atau sekitar Rp 8,1 triliun.
Sebenarnya nilai impor setinggi itu cukup wajar jika yang diimpor adalah buah dari negara subtropis yang tak bisa atau susah ditanam di Indonesia. Misalnya buah
kiwi, persik, atau cherry. Ternyata buah yang paling banyak diimpor justru jeruk
Shantang dari Tiongkok.
“Padahal, jeruk asli Indonesia seperti jeruk Medan atau jeruk Sambas itu baik, enak, dan tidak kalah dari buah impor,” ujar Said Didu, aktivis buah lokal.
Nilai impor buah Indonesia berbanding terbalik dengan performa ekspornya. Pada 2013 ekspor buah hanya senilai US$ 418,08 juta atau sekitar Rp 4,59 triliun. Namun,yang perlu
dicatat adalah angka ini naik sekitar 4 persen dari tahun sebelumnya.
Sebenarnya, produk buah di Indonesia setiap tahun meningkat. Dari data BPS, sejak
2001 hingga 2009 produksi buah selalu naik. Dari 9,5 juta ton pada 2001, naik menjadi 18 juta ton pada 2009. Sayang, setelah itu produksi buah konstan, malah stagnan. Pada 2013 produksi buah Indonesia hanya 15,794 juta ton.
Ada beberapa penyebab produksi buah lokal masih stagnan. Antara lain karena luasan
lahan yang semakin berkurang akibat alih fungsi lahan.
Meningkatnya permintaan buah impor juga didorong oleh pandangan konsumen tentang kualitas buah. Para konsumen beranggapan buah yang baik adalah yang berwarna cerah dan bersih.
“Kini konsumen memang lebih mengutamakan tampilan fisik buah dibandingkan rasa.
Sementara buah kita, meski rasanya oke, tampilannya kurang bagus,” kata Awang
Maharijaya dari Pusat Kajian Hortikultura Tropika, Institut Pertanian Bogor.
Padahal, menurut Awang, ada banyak pertimbangan dalam menilai kualitas buah. Rasa dan fisik adalah pertimbangan utama. Tapi kenyataannya, sering kali masyarakat tidak peduli rasa, asal tampilan fisik buah bagus. Hal ini turut berperan meningkatkan impor buah. Selama pola pikir ini tidak diubah, kecil kemungkinan buah lokal bisa berjaya.
Selain perihal tampilan fisik, ada banyak permasalahan penting yang harus diurus jika
ingin buah lokal berjaya di negeri sendiri. Antara lain jalur distribusi dan jalur tata niaga.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus Semarang, Nur Hayati dan Hikmah, pernah melakukan penelitian mengenai distribusi buah lokal dan impor. Studi kasusnya adalah pedagang buah di kota Semarang.
Menurut kedua peneliti ini, masalah pokok pengembangan hortikultura, termasuk buah-buahan, adalah belum adanya ragam kualitas yang diminta pasar. Penyebabnya banyak, dari kurangnya penguasaan teknologi oleh para petani hingga kurangnya koordinasi di antara pelaku bisnis hortikultura.
Kelemahan lain buah lokal adalah sistem distribusi. Ada banyak kasus buah busuk dalam perjalanan karena jalan rusak atau tidak ada kendaraan pengangkut. Padahal, buah adalah komoditas yang cepat busuk dan rusak. Ini jelas berpengaruh terhadap pendapatan para petani ataupun distributor.
Sebagai ilustrasi betapa panjang rantai niaga buah lokal, bayangkan hasil panen dari petani harus melalui tengkulak, tidak langsung ke pasar. Dari tengkulak, buah disetor ke distributor. Dari sana, distributor akan memisahkan buah berdasarkan kualitas. Kualitas A, yang terbaik, langsung diekspor. Kualitas B dijual di supermarket dan ritel belanja modern lokal. Sedangkan grade C, kualitas paling rendah, dijual untuk pasar tradisional. Konsumen pasar tradisional hanya mendapat buah kualitas paling rendah, tapi dengan harga cukup tinggi.
“Di luar negeri, buah yang panen langsung diangkut ke bandara. Kemudian didistribusikan
ke negara-negara pengimpor,” kata Rio Sudarpo dari Yayasan Amiri Bogor yang bergerak di bidang agrobisnis. “Kalau di sini kan distribusi melalui darat. Harus bayar ini, bayar itu. Harga jadi berlipat ganda begitu sampai ke konsumen.”
Dengan harga yang menjadi mahal, tak heran jika kebanyakan konsumen lebih memilih buah impor yang harganya lebih murah ketimbang buah lokal. Penampilan fisik yang lebih menarik juga membuat buah impor lebih mudah masuk supermarket.
Dengan segala kekurangan itu, angan-angan menjadi negara pengekspor buah terbesar tentu masih sangat panjang.
“Petani kita belum punya wawasan dan keinginan untuk ekspor,” kata Rio. “Para petani belum dibina dengan baik, sehingga tak berwawasan ekspor. Yang berpandangan ekspor hanya para eksportir, bukan petani.”
Namun, sebenarnya masa depan buah lokal masih cukup cerah. Ada beberapa tolok ukur yang bisa dijadikan patokan. Saat ini PT Perusahaan Negara VIII di Subang, Jawa Barat, punya lahan khusus untuk pengembangan buah lokal. Sejak dirintis pada 2012, luas lahan ini telah mencapai 4.017 hektare. Ada banyak buah lokal yang ditanam di sini. Di antaranya manggis, pisang, pepaya, durian, alpukat, dan beberapa jenis buah lokal lain.
Indonesia kini mulai menjadi pengekspor manggis. Pada 2013 ekspor manggis senilai US$ 5,73 juta atau sekitar Rp 63 miliar. Negara tujuan ekspor manggis Indonesia adalah Tiongkok, Malaysia, Korea, Hong Kong, dan Vietnam.
Buah lain yang menjadi andalan ekspor Indonesia adalah pisang dan nanas. Negara tujuan adalah Singapura dan Jepang.
“Tahun ini Indonesia dapat memanfaatkan kuota pisang seribu ton per tahun,” kata Yusron Ihza Mahendra, Duta Besar Indonesia untuk Jepang, pekan lalu.
Menurut Yusron, ekspor pisang untuk Jepang adalah kemajuan. Sebab, Jepang mematok standar tinggi soal kualitas. Ini membuktikan pisang Indonesia sudah diakui kualitasnya.
Konsumsi buah di Jepang cukup tinggi. Saat ini total konsumsi mencapai 5,4 juta ton per tahun, dan 1,8 juta ton di antaranya buah impor. Pasar impor itu didominasi pisang yang mencapai 1 juta ton dan nanas sebanyak 200 ribu ton.
Sebelumnya Jepang mengimpor 100 persen nanas Filipina. Namun tahun ini pasokan mulai berkurang karena Filipina sedang dilanda bencana alam seperti angin topan dan banjir. Karena itu, Jepang membuka keran impor nanas dari Indonesia. Kuota awalnya 20 persen.
Nilai ekspor pisang dan nanas dari Indonesia pada 2015 diperkirakan mencapai US$ 15 juta. Nantinya buah dari Indonesia ini dijual oleh supermarket besar seperti AEON, Seiyu, UNY, Daiei, hingga Ito Yakado.
Selaku mantan Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi punya pendapat soal ekspor buah lokal. Menurut dia, untuk menghasilkan produk buah lokal yang diakui dunia, mutlak diperlukan sertifikasi. Tak sekadar sertifikasi ekspor, tapi juga sertifikasi kualitas, keaslian, hingga sertifikat organik.
“Selain itu, kunci keberhasilan ekspor adalah kontinuitas kualitas, kemasan, dan layanan ekspor yang memadai. Termasuk angkutan, penyimpanan, dan pembiayaan,” kata Bayu.
Tolok ukur lain, semakin banyak toko yang khusus menjual buah, juga bertumbuhnya kelas menengah atas di Indonesia. Selama ini, kelas menengah atas adalah konsumen setia buah impor.
“Di Jakarta saja ada sekitar 20 juta warga kelas menengah atas. Kalau buah kita bisa murah dengan mengubah proses produksi, lalu mutunya baik, maka bisa diterima masyarakat kelas atas,” kata Awang. “Konsumen kelas menengah ini potensi besar untuk buah lokal.”
Pendapat menarik dilontarkan Rio, yang selama ini menjual bibit hingga buah melalui internet. Menurut Rio, perkembangan internet di Indonesia bisa dimanfaatkan untuk perniagaan buah dan memutus rantai tengah, alias tengkulak.
Sudah saatnya petani melek penggunaan internet. Dengan internet, petani bisa mengontrol harga pasar, juga melihat perkembangan harga buah. Dari internet juga bisa belajar banyak hal. Seperti teknik budi daya yang dibutuhkan pasar hingga standar kualitas yang diminta pasar. “Dan, tentu internet bisa mengurai jalinan birokrasi yang rumit dan panjang,” kata Rio.
Bagaimana peran pemerintah? Tentu ada banyak hal yang seharusnya dikerjakan pemerintah. Antara lain subsidi pupuk, penyuluhan tentang standar buah, kemudahan penerbitan sertifikat kualitas, hingga perbaikan infrastruktur distribusi buah.
Menurut Rio, pemerintah Indonesia kurang melindungi petani. Di luar negeri, petani diberi aneka subsidi dan perlindungan. Diberi aturan untuk pengolahan tanah dan diberi jatah untuk menanam. Selain itu, mereka juga disubsidi dan diberi kemudahan dalam hal distribusi.
Jika satu per satu masalah buah lokal ini bisa diselesaikan, bukan tak mungkin buah Indonesia menjadi komoditas bernilai ekonomi sangat tinggi. Akhir 2015 akan diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ini artinya buah lokal harus semakin siap bersaing dengan banjirnya buah impor. Agar siap, tentu pembenahan harus segera dilakukan.
“Saya yakin agrobisnis buah Indonesia siap menghadapi MEA. Namun tentu harus meningkatkan kemampuan manajemen pasokan, lebih terjaga pasokannya, dengan kemasan yang lebih baik, dan kualitas yang lebih terjaga,” kata Bayu.
Baca selengkapnya di vol 02 No 17 The Geo Times Magazine (klik di sini)