
Aktivis Hak Asasi Manusia Sandyawan mengatakan tim rekonsiliasi yang diprakarsai oleh Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sulit diterima jika tidak melibatkan para korban pelanggaran HAM.
“Mustahil bisa menyembuhkan luka bangsa karena jelas sekali bahwa masyarakat korban tidak diikutsertakan dalam rekonsiliasi,” kata Sandyawan di Jakarta, Jumat (10/7). “Kalau berkiblat pada sistem rekonsiliasi di Afrika Selatan, perlu diingat inisiatif itu datang dari pemimpin Nelson Mandela. Dan dia representasi dari korban serta pemimpin berkuasa.”
Sedangkan di Indonesia, kata dia, korban jauh dari kekuasaan dan tersingkir. Mulai dari orde baru hingga reformasi tidak ada perubahan terhadap korban, mereka menunggu keadilan dari pemerintah terhadap para pelaku.
“Lamanya proses penyelesaian pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah itu sangat berbahaya. Sebab menjadi objek negosiasi dan korban dagang sapi karena ada tarik menarik politik dalam internal kekuasaan.”
Masalah pelanggaran HAM masa lalu, kata Sandyawan, diajukan sebagai rekonsiliasi yang hanya pura-pura saja. Langkah ini justru menjauhkan dari subtansi pencarian kebenaran dan keadilan.
Hal serupa diungkapkan aktivis HAM lainnya Amiruddin Al Rahab mengatakan, kalau Jaksa Agung menyebutkan perlu langkah cepat menyelesaikan masalah pelanggran HAM maka korban juga mau langkah cepat.
“Tapi bukan langkah cepat yang membuat kita sesat, itu yang terpenting,” katanya “Jika Presiden Jokowi ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, maka langkah yang diambil adalah langkah yang tepat.”
Langkah itu adalah presiden menggunakan otoritasnya sebagai kepala negara dengan mengajak berbagai pihak, khususnya kelompok korban berbicara terlebih dahulu sehingga langkah itu dapat dipahami sebagai upaya untuk memberi keadilan kepada korban, kata Amiruddin.[*]