Minggu, November 24, 2024

Kontras: Kinerja & Akuntabilitas Polri Masih Lambat

- Advertisement -
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti (kiri) berjabat tangan dengan anggota Komisi III DPR Sarifuddin Suding saat rapat kerja di Komples Parlemen, Jakarta, Kamis (2/7). Rapat tersebut membahas persiapan pengamanan pilkada, pelaksanaan 11 program prioritas Polri dan penanganan kasus-kasus teraktual yang ditangani Polri. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti (kiri) berjabat tangan dengan anggota Komisi III DPR Sarifuddin Suding saat rapat kerja di Komples Parlemen, Jakarta, Kamis (2/7). Rapat tersebut membahas persiapan pengamanan pilkada, pelaksanaan 11 program prioritas Polri dan penanganan kasus-kasus teraktual yang ditangani Polri. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menyatakan upaya mendorong pembenahan kinerja dan akuntabilitas Polri masih lambat dan suram. Catatan Kontras, terjadi 554 rangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam satu tahun terakhir.

“Pembenahan kinerja masih lambat, padahal modalitas yang telah diberikan untuk membawa perubahan akuntabilitas ke dalam institusi kepolisian guna mengubah watak, kultur dan pola pendekatan penegakan hukum kepada masyarakat juga belum berhasil meredam beberapa tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparat kepolisian,” kata Koordianor Kontras Haris Azhar di Jakarta, Kamis (2/7).

Adapun tindakan yang dominan dilakukan oleh aparat adalah penembakan sewenang-wenang (272 peristiwa) dengan 299 korban jiwa. Selain itu, pola tindakan pelanggaran HAM yang mendapat sorotan serius adalah tindakan penyiksaan, sepanjang Juni 2014 hingga Juni 2015 terdapat 84 kasus penyiksaan yang telah dilakukan polisi.

Kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang harus mendapatkan perhatian serius adalah Yusman Telaumbanua. Haris mengatakan, Yusman divonis mati ketika umurnya masih 16 tahun yang tentu saja melanggar hukum dan hak asasi manusia. Rekayasa kasus telah terjadi kepada dirinya dimulai dari pemalsuan umur Yusman ketika vonis mati jatuh pada dirinya ketika berumur 16 tahun dan diubah menjadi 19 tahun. Dalam proses hukumnya, Yusman telah mengalami beberapa tindak penyiksaan yang terlihat dari bekas luka pada tubuhnya.

“Pola-pola yang digunakan oleh anggota polisi membuktikan bahwa penangkapan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian masih bersifat acak dan tanpa disertai bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan terhadap korban,” kata Haris

Tuduhan difokuskan hanya berdasarkan pengakuan tersangka yang berada di bawah tekanan, termasuk kepada anak di bawah umur, tanpa didukung bukti lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa polisi masih memprioritaskan metode kekerasan dalam proses hukum. Lebih parahnya lagi kebanyakan dari kasus kekerasan yang dilakukan oleh polisi dalam proses peradilan tidak mendapatkan peradilan yang adil.

“Sebagian besar pelaku kekerasan hanya mendapatkan sanksi administratif sehingga dapat memperpanjang rantai impunitas di Indonesia. Melalui beberapa fakta yang ada menunjukkan bahwa Polisi masih menunjukkan akuntabilitas yang lemah dalam menjalankan mandatnya untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat, terlebih dalam menjalankan mandatnya untuk mengikutsertakan nilai-nilai HAM pada proses hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Perkap HAM.”[*]

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.