Oleh Jeffrie Geovanie*
Penegasan antikorupsi bagi seorang pemimpin sangat penting, karena dengan cara itulah ia bisa dihormati.
Seorang pemimpin harus memiliki komitmen jelas untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara. Jika yang dipimpin negara dengan keragaman budaya, suku, ras, dan agama, maka pemimpin harus memiliki komitmen untuk menjaga keragaman itu.
Dalam perspektif Indonesia, komitmen menjaga keragaman merupakan perintah konstitusi (UUD 1945). Mengorbankan keragaman, untuk kepentingan apa pun, sama artinya dengan mengabaikan konstitusi.
Konstitusi menjadi alat perekat yang bisa mempertemukan berbagai kepentingan, kelompok, dan aspirasi. Konstitusi menjadi salah satu tiang utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat begitu penting keberadaan dan fungsi konstitusi, patutlah kepala negara dimakzulkan jika terbukti mengabaikan konstitusi.
Siapa pun yang menjadi pemimpin di Indonesia, pada level mana pun, ia harus taat dan patuh pada konstitusi. Ketaatan dan kepatuhan pada konstitusi bukan wilayah yang bisa ditawar-tawar. Penegasan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bahwa ia rela mati demi membela konstitusi adalah komitmen yang memang sudah seharusnya dimiliki seorang pemimpin.
Penegasan komitmen itu penting mengingat di atas panggung republik ini sudah terlalu banyak pemimpin yang ternyata hanya peduli pada kelompoknya, entah itu kelompok agama, suku, atau yang lebih sempit lagi, keluarganya. Ketika kepentingan kelompok lebih dikedepankan, jangan berharap keadilan bisa ditegakkan.
Pengutamaan kelompok akan membuat seorang pemimpin kehilangan perspektif keindonesiaan yang utuh. Akibatnya akan memicu konflik. Kelompok yang diabaikan akan tersisih atau disisihkan, terkadang dengan cara kekerasan. Fenomena ini telah banyak kita jumpai, misalnya dalam kasus penolakan pendirian tempat ibadah.
Pendirian tempat ibadah adalah bagian dari ekspresi kebebasan beragama yang dijamin konstitusi. Tempat ibadah diharapkan bisa menjadi naungan bagi mereka yang dilanda kegersangan jiwa; menjadi tempat kembali bagi mereka yang tersesat jauh dari jalan Allah. Jika tempat ibadah dilarang berdiri, maka ke mana mereka yang kehausan spiritual itu akan pergi?
Selain itu, segregasi kelompok juga bisa membuat banyak pengikut sekte atau mazhab yang telantar di rumah sendiri, atau bahkan dinistakan dan diusir dari tanah kelahiran.
Padahal, mereka adalah warga negara yang juga memiliki hak-hak —seperti warga negara lainnya— yang dijamin konstitusi. Lihatlah pengikut Syiah dan Ahmadiyah. Berapa banyak di antara mereka yang rumahnya dibakar, tempat ibadahnya diluluhlantakkan, hanya karena mereka dianggap kafir dan sesat. Fatwa ulama —yang mengafirkan dan menyesatkan— bukan mendamaikan, malah mengakibatkan kesengsaraan.
Selain penegakan konstitusi, antikorupsi adalah komitmen yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dan, lagi-lagi, Gubernur DKI Jakarta yang populer dipanggil Ahok juga pernah menegaskan rela mati untuk melawan korupsi. Akar dari semua persoalan bangsa ini, menurut Ahok, adalah korupsi yang menyengsarakan rakyat dan mengabaikan pembangunan.
Ada pepatah, seekor ikan membusuk dari kepalanya. Pemimpin harus menjadi contoh bagi segenap rakyatnya. Gubernur harus menjadi contoh semua aparat di bawahnya, terutama dalam hal komitmen memberantas korupsi. Sebaliknya, jika pemimpin sudah terbiasa korupsi, atau bahkan sudah membusuk, tunggulah saatnya pembusukan negara secara umum.
Penegasan antikorupsi bagi seorang pemimpin sangat penting, karena dengan cara itulah ia bisa dihormati. Dengan cara itulah ia bisa menjadi contoh dan disegani. Banyak pemimpin gagal, titah-titahnya tak diindahkan, hanya karena ia dianggap tak patut dicontoh.
Kita harus berkaca pada para pemimpin, terutama para founding father negeri ini. Komitmen mereka dalam menjaga kebinekaan, dan dalam menjaga diri dari tindakan-tindakan yang merugikan negara, tak perlu diragukan. Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, Kasimo, dan lain-lain adalah di antara pemimpin yang patut dicontoh.
Membaca riwayat perjuangan mereka senantiasa memberi inspirasi, membangkitkan energi positif untuk mengabdi. Bagi para pemimpin ini, jangankan korupsi, mereka rela mengorbankan harta pribadinya untuk kepentingan negara. Komitmen membangun negara sudah menjadi bagian dari nafas kehidupan. Menjaga kebersamaan dalam keragaman telah menjadi bagian integral dari watak perjuangan.
* Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat 2014-2019