Kementerian Perdagangan sedang menyiapkan peraturan presiden mengenai pakaian bekas impor yang akan dimasukkan ke dalam daftar barang yang tidak boleh dijual di dalam negeri. “Kita sedang mempersiapkan aturan dalam tiga hal yaitu mengenai terkait pelarangan impor, pembatasan dan juga pengawasan terhadap pakaian yang sudah beredar,” kata Direktur Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Thamrin Latuconsina dalam jumpa pers, Senin (13/7).
Saat ini pelarangan impor pakaian bekas sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/2015. Dalam aturan tersebut pakaian bekas dilarang untuk masuk ke dalam Indonesia. Selain itu, pakaian bekas yang telah masuk akan dimusnahkan. Sanksi administratif juga akan diberikan kepada importir yang melakukan pelanggaran.
Peraturan Menteri Perdagangan tersebut dianggap tidak mampu meredam penjualan pakaian bekas impor. Sebagai contoh di Surabaya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kalah dalam praperadilan di Pengadilan Negeri Surabaya mengenai temuan 23 kontainer pakaian impor bekas. Hasilnya pengadilan memerintahkan untuk mengembalikan barang tersebut ke pemiliknya.
Pelarangan penjualan pakaian bekas impor ini didasari oleh berbagai alasan seperti faktor kesehatan. Kementerian Perdagangan telah melakukan uji 25 sampel pakaian bekas impor. Hasilnya pakian tersebut mengandung bakteri yang dapat mengakibatkan jamur pada kulit. Selain itu ditemukan pula bakteri E coli yang menimbulkan masalah pencernaan.
Fenomena penjualan pakaian bekas ini tidak hanya terjadi di kota besar seperti Jakarta. Di berbagai kota, penjualan pakaian bekas ini diminati warga karena harganya yang murah. Penghasilan para penjual pakaian bekas pun meningkat menjelang hari Lebaran. Di Medan misalnya omzet pedagang pakaian bekas impor meningkat 300%. Hal serupa juga terjadi di Bengkulu yang mengalami peningkatan hingga 100%.
Regulasi pembatasan pakaian besar impor juga penting untuk melindungi produksi tekstil dalam negeri. Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia mencatat pertumbuhan industri kecil menengah melambat. Pada 2014, pakaian lokal hanya bertumbuh sekitar 8%. Padahal, pemerintah menargetkan pertumbuhan sebesar 20%.[*]