Sabtu, Mei 4, 2024

Ini Penyebab Peredaran Makanan Berbahaya Merajalela

Petugas BPOM Denpasar mengambil sampel makanan untuk diuji kandungan zat di dalamnya saat inspeksi makanan minuman di kawasan Kampung Wanasari, Denpasar, Bali, Senin (22/6). Inspeksi tersebut menyasar makanan dan minuman yang marak diperjualbelikan di pasar dadakan selama bulan puasa untuk mengantisipasi penggunaan zat berbahaya/ANTARA FOTO/Wira Suryantal
ilustrasi petugas BPOM Denpasar mengambil sampel makanan untuk diuji kandungan zat di dalamnya saat inspeksi makanan minuman di kawasan Kampung Wanasari, Denpasar, Bali, Senin (22/6). Inspeksi tersebut menyasar makanan dan minuman yang marak diperjualbelikan di pasar dadakan selama bulan puasa untuk mengantisipasi penggunaan zat berbahaya/ANTARA FOTO/Wira Suryantal

Makanan berbahaya yang beredar di masyarakat Indonesia belum sepenuhnya dikendalikan pemerintah jika hanya melalui pemeriksaan secara rutin. Pengawasan yang lemah akan peredaran makanan berbahaya menjadi salah satu faktor meningkatnya masalah ini tiap tahun.

Peningkatan tersebut terlihat dari data hasil pegawasan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang menunjukan peredaran makanan berbahaya pada 2014 meningkat dibanding tahun sebelumnya, dari 7,86% menjadi 16,06%. 

Kepala BPOM Jakarta, Dewi Prawitasari, menjelaskan makanan yang tergolong kategori makanan berbahaya yaitu makanan yang mengandung bahan kimia dan zat warna. Bahan kimia dan zat warna yang banyak ditemukan berupa formalin, boraks, rhodamin B, dan kuning metanil.

Fenomena makanan berbahaya tak hanya terjadi di Jakarta. Kamis(2/7), misalnya Dinas Kesehatan Kota Ternate, Maluku Utara menemukan sejumlah kue yang mengadung zat pewarna tekstil rhodamin B dan dijajakan sebagai makanan berbuka puasa.

“Memang kue tersebut ditemukan dalam pasar di wilayah Ternate Selatan, di antaranya Pasar Inpres Bastiong dan lain sebagainya,” kata Nurbaity Radjabesy, Kadinkes Kota Ternate.

Tentang sanksi peredaran makanan berbahaya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8/1999 Pasal 62 berupa sanksi pidana maksimal 1 tahun bagi produsen yang lalai dan maksimal 5 tahun bagi produsen yang sengaja mengedarkan atau memproduksi bahan makanan berbahaya. Aturan itu kurang tegas karena tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku.

Distribusi dan pengawasan akan penjualan bahan kimia berbahaya juga diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 4/M-DAG-PER/2/2006. Adanya peraturan tersebut, seharusnya masyarakat tidak bisa membeli secara bebas bahan kimia berbahaya. Namun, produsen makanan berbahaya masih bisa mendapatkannya dengan bebas. Hal itu menambah bukti lemahnya pengawasan dari pemerintah.

Dilansir laman resmi  lpknasional.or.id milik Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional, kasus penggunaan formalin, boraks dan sejenisnya pada makanan mencerminkan kelemahan koordinasi dari tiga instansi yang bertanggung jawab menangani peredaran bahan makanan dan minuman. [*]

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.