Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak rencana pemerintah mengenai pencabutan subsidi listrik dengan daya 450 hingga 900 VA. Hal tersebut terungkap dalam Rapat Kerja dengan Menteri Keuangan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Gubernur Bank Indonesia, Senin (6/7). “Rencana pemerintah tersebut tidak tepat di tengah pelemahan perekonomian nasional,” ujar Ketua Banggar DPR, Ahmadi Noor Supit.
Silang pendapat terus terjadi mengenai pencabutan subsidi listrik ini. Menurut Badan Anggaran DPR, pencabutan subsidi listrik ini akan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat. Sebab menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga saat ini terdapat 22,7 juta orang yang menggunakan listrik 450 VA dan 21,9 juta orang yang menggunakan listrik 900 VA.
Sementara itu, Perusahaan Listrik Negara (PLN) menganggap pemberian subsidi tersebut tidak tepat sasaran. “Sejumlah pelanggan golongan tersebut keadaan ekonominya sudah layak. Selain itu, banyak modus kecurangan pelanggan agar mendapatkan fasilitas subsidi tersebut,” ujar Direktur Utama PLN, Sofyan Basir dalam keterangan resmi, Selasa (30/6). Menurut catatan PLN, kecurangan terjadi dengan mengganti meteran daya yang semula 1.300 VA menjadi 900 VA.
Kecurangan tersebut tidak semata-mata menjadi alasan bagi pemerintah untuk mencabut subsidi listrik. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) meminta pemerintah untuk tidak menaikkan harga kebutuhan dasar seperti harga listrik. Hal tersebut akan melemahkan daya beli masyarakat. “Harga tersebut harus terus stabil. Sebab, daya beli yang lemah juga ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang lemah,” ujar Ahmad Heri Firdaus, pengamat dari INDEF dalam keterangan resmi.
Selain itu, kenaikan tarif listrik akan mempengaruhi harga kebutuhan pokok. Sebab, kenaikan harga tarif listrik sering dijadikan alasan para produsen untuk menaikkan harga. Sementara ketika harga listrik turun, harga barang tidak ikut turun. Hal ini akan merugikan masyarakat terutama yang memiliki ekonomi menengah ke bawah. Pengeluaran untuk kebutuhan dasar akan terus tinggi.
Harga kebutuhan yang tinggi akan membuat masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar lain seperti rumah tinggal. Kementerian Pekerjaan Umum mencatat banyak masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp 2 juta tidak mampu membeli rumah meski telah bekerja dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun. Hal tersebut disebabkan 70% penghasilan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti makanan, listrik, air serta transportasi.[*]