Ganggauan kesehatan, keragaman hayati dan perekonomian ramai diberitakan media massa akibat kabut asap kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera. Namun, tidak satupun yang membahas dampak kabut asap dan kebakaran hutan terhadap ekosistem laut.
Menurut jurnal ilmiah Global Change Biology yang dilansir World Wide Foundation beberapa waktu lalu mengatakan kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan mengancam ekosistem biota laut seperti terumbu karang, mangrove dan padang bulan.
“Kabut asap menutupi permukaan laut dan menghambat proses fotosintesis,” kata Zeehan Jaafar.
Sementara itu, pengikisan tanah bagian atas akibat kebakaran dapat menyebabkan masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah Fosfat (Eutrofikasi). Ketika nutrisi seperti nitrogen masuk ke dalam air mengakibatkan ledakan tiba-tiba dari fitoplankton, akhirnya mati dan menyedot semua oksigen keluar dari air.
Eutrofikasi atau zona mati, menyebabkan sedimen dalam ekosistem laut yang dapat menyebabkan pemutihan karang.
Tingkat kerusakan dari pembakaran biomassa di Indonesia semakin meningkat sejak 1970. Pada Juni 2013, populasi udara regional di Semenanjung Malaya mencapai rekor tertinggi dan kabut menyebar di tiga negara. Seperti Indonesi, Malaysia, Singapura menyebabkan negara-negara tersebut berada dalam kondisi siaga.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika mencatat musim kemarau akan mencapai puncak pada September mendatang. Sehingga sejumlah wilayah akan dilanda kekeringan bahkan kebakaran hutan dan lahan. Satelit Modis memantau 207 titik api di Sumatera.
Kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan gambut Sumatera setiap tahun menghanguskan habitat berbagai satwa liar yang dilindungi, yang tidak hanya berdampak pada kesehatan manusia, terumbu karang juga terancam rusak. Menurut penelitian WWF, kawasan Segitiga Terumbu Karang ini merupakan rumah bagi 600 spesies karang dan 2.000 spesies ikan karang.
Peneliti mengingatkan bahwa kabut asap yang terjadi di daratan setiap tahun bisa mengurangi masuknya cahaya matahari yang memberi kehidupan bagi berbagai spesies bawah laut, salah satunya adalah menekan aktivitas fotosintesis di terumbu karang, dan juga mangrove serta padang lamun.
Menurut data WWF, 85% terumbu karang di Singapura, Indonesia dan Malaysia terancam. Hal serupa juga terjadi dengan hutan mangrove di Asia Tenggara yang 80% sudah hilang dalam 60 tahun terakhir akibat penggerusan daratan, polusi, penggunaan pukat harimau menjadi ancaman bagi ekosistem perairan.
Para ahli juga mengatakan negara harus siap untuk merespon dengan mengambil tindakan lain selama krisis kabut asap ini, seperti menutup sementara perikanan, menutup aktivitas taman laut, dan melakukan program untuk meningkatkan keanekaragaman hayati dan pemulihan ekologi.
Jaafar menyimpulkan kabut asap penyebab utama kerusakan ekosistem laut selain penangkapan ikan yang berlebihan, pembangunan pesisir, perubahan iklim, dan meningkatnya keasaman air laut.[*]