Ombudsman Republik Indonesia mengeluarkan rekomendasi penundaan larangan alat tangkap cantrang yang semula ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Firman Soebagyo, anggota Komisi Perikanan DPR RI mengatakan setelah diskusi dengan masyarakat nelayan Pantura dan sekitarnya, aturan ini akan diadukan ke Mahkamah Agung. Rekomendasi ini direncanakan untuk menggugat aturan larangan alat tangkap cantrang ke Mahkamah Agung karena merugikan nelayan. “Laporan ini akan dilaporkan awal bulan Juli ini,” katanya.
Menurutnya, larangan cantrang yang tercantum dalam Peraturan Menteri tentang larangan penggunaan alat tangkap ikan pukat hela dan pukat tarik di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Alasan Menteri Susi Pudjiastuti mengatakan alat tangkap cantrang hampir sama daya rusaknya dari pukat harimau.
“Aturan ini harus dibatalkan karena tidak didukung dengan kajian ilmiah yang kuat,” katanya.
Sebelumnya, ada laporan tentang Permen Usaha Perikanan Tangkap Wilayah Pengelolaan Perikan Negaran Republik Indonesia dan Permen Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Selain Permen, yang mewajibkan setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan berdampak pada menurunnya kualitas ikan dan meningkatkan biaya operasional kapal yang dinilai tidak efisien.
“Menurut nelayan peraturan berdampak pada kualitas ikan dan meningkatkan biaya operasional kapal,” katanya.
Kualitas tangkapan menurun karena selama ini sejumlah nelayan beroperasi di laut dalam kurun 2 hingga 3 bulan. Dengan begitu jika mereka harus menjual di pelabuhan pangkalan, maka kualitas ikan menurun dan menyebabkan harga jual murah. Ikan yang tidak memiliki nilai ekonomi juga tidak bisa diolah lagi.
Jika nelayan dipaksakan harus bolak-balik dari laut ke pangkalan, hal tersebut juga membuat ongkos membengkak serta adanya pembatasan distribusi solar subsidi sesuai dengan Peraturan Presiden.
Dengan adanya peraturan baru yang ditetapkan, sejumlah nelayan merasa kehilangan pendapatan. Selain itu, pelapor juga menilai bahwa penerbitan peraturan itu tidak menyerap aspirasi nelayan.
“Menurut pelapor penerbitan peraturan-peraturan baru tersebut tidak didahului dengan sosialisasi dan penyerapan aspirasi para nelayan,” ungkapnya.[*]