Oleh Fadli Ramadhanil*
KPU sebaiknya segera merumuskan peraturan terkait pencalonan kepala daerah oleh par-
tai politik, termasuk mereka yang sedang bersengketa.
Muncul rekomendasi mengejutkan dari Komisi II DPR terkait sengketa kepengurusan partai politik (Golkar dan PPP) untuk pencalonan kepala daerah mendatang. Jika rekonsiliasi dari kedua kepengurusan partai ini tidak terwujud, keputusan pengadilan akan dipakai Komisi Pemilihan Umum sebagai rujukan dalam menentukan kepengurusan yang sah.
Jika sampai masa pencalonan kepala daerah ditutup, sementara belum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka putusan pengadilan terakhir yang akan dirujuk.
Mengikuti logika DPR, seandainya nanti proses persidangan untuk Partai Golkar masih baru diputus di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara, dan ada upaya banding dari salah satu pihak, maka yang akan digunakan untuk pendaftaran calon kepala daerah adalah putusan PTUN. Begitu juga dengan proses sengketa Partai Persatuan Pembangunan. Jika nanti proses banding yang sedang berlangsung belum diputus, maka putusan PTUN sebelumnya yang akan dipakai sebagai dasar verifikasi oleh KPU.
Hal ini tentu tidak menghitung potensi putusan berbeda yang akan dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam upaya banding yang dilakukan oleh salah satu pihak. Begitu juga dengan kemungkinan upaya hukum kasasi yang tentu sangat berpotensi dilakukan oleh tiap-tiap pihak yang sedang bersengketa. Padahal, Pasal 115 UU No 5/86 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan, hanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan.
Artinya, jika Komisi II DPR “memaksa” KPU melaksanakan putusan peradilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap sebagai rujukan, itu sama saja menyuruh KPU melanggar Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara. Padahal, posisinya sudah jelas, jika suatu keputusan tata usaha negara disengketakan ke pengadilan, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan keputusan tersebut harus menunggu putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap.
Karena itu, KPU sebaiknya segera merumuskan norma peraturan terkait pencalonan kepala daerah oleh partai politik, termasuk juga bagi mereka yang sedang bersengketa. KPU mesti jelas mengatur bahwa rujukan dalam memverifikasi kepengurusan partai politik dalam pencalonan kepala daerah adalah Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Partai politik yang sedang bersengketa di pengadilan perihal keabsahan kepengurusan partai mereka harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Jika sampai pada batas waktu pendaftaran calon kepala daerah ditutup, sementara rekonsiliasi antarpengurus partai yang bersengketa tak terwujud serta belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka KPU harus bersikap tegas. KPU harus memberikan konsekuensi bagi partai politik ini bahwa mereka tidak dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah. Karena tak ada dasar kepengurusan partai yang sah bisa dirujuk oleh KPU.
Dengan ketentuan demikian, partai politik yang sedang bersengketa bisa berhitung dan bersikap segera. Mengingat proses pencalonan kepala daerah akan dimulai pada pertengahan Juli 2015, tentu sulit memastikan proses peradilan selesai, dan ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam kondisi seperti ini, partai politik yang sedang bersengketa memiliki dua jalan keluar. Pertama, tiap-tiap kubu yang berseteru mesti mencabut gugatan yang sedang berjalan di pengadilan. Merujuk pada Pasal 76 UU No 5/86, maka pencabutan gugatan hanya bisa dilakukan oleh penggugat. Jika tergugat belum memberikan jawaban, maka penggugat dapat langsung mencabut gugatannya tanpa persetujuan dari tergugat.
Namun, untuk sengketa Partai Golkar dan PPP, karena proses persidangannya sudah terlalu jauh, maka pencabutan gugatan membutuhkan persetujuan dari tergugat, dalam hal ini Kementerian Hukum.
Maka dari itu, pilihan untuk mencabut gugatan bisa segera disampaikan oleh para penggugat. Sebagai tergugat, Kementerian Hukum tentu bisa mempertimbangkan untuk menyetujui pencabutan gugatan tersebut, karena sama sekali tak ada kerugian bagi Kementerian Hukum jika gugatan ini dihentikan.
Kedua, setelah gugatan di pengadilan dicabut, kedua partai mesti segera melaksanakan musyawarah nasional luar biasa guna membentuk kepengurusan yang baru, yang dapat mengakomodasi kepentingan dari para faksi di tubuh partai tersebut.
Jika kepengurusan partai yang baru sudah terbentuk, masing-masing partai politik dapat mengajukan pengesahan kepengurusan kepada Kementerian Hukum. Jalan ini tentu lebih elok untuk ditempuh daripada bertahan di tengah ketidakpastian proses hukum di pengadilan.
*Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta