Minggu, Oktober 13, 2024

Gerakan Rahasia Korporasi Amerika

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Joseph E. Stiglitz
Joseph E. Stiglitz

Oleh Joseph E. Stiglitz*

 

Perjanjian dagang ini sarat dengan konflik kepentingan.

Amerika Serikat dan dunia terlibat dalam perdebatan besar tentang perjanjian dagang baru. Pakta yang biasa disebut “free-trade agreements” ini, pada kenyataannya adalah perjanjian dagang yang “diatur”, yang disesuaikan demi kepentingan korporasi di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Saat ini perjanjian tersebut lebih sering disebut sebagai “kemitraan”, sebagaimana dimaksud dalam Trans Pacific-Partnership. Tetapi yang disebut di sini bukanlah kemitraan setara: karena Amerika yang secara efektif menentukan syarat-syaratnya. Untungnya, para “mitra” Amerika belakangan mulai melawan.

Tak sulit menganalisis hal ini. Perjanjian dagang ini sudah melampaui batas perdagangan. Bahkan, sampai mengatur investasi dan kekayaan intelektual, dengan memaksakan perubahan fundamental terhadap kerangka hukum, peradilan, dan peraturan negara. Semua itu dilakukan tanpa masukan atau akuntabilitas melalui lembaga-lembaga demokratis.

Mungkin yang paling menyakitkan hati — dan paling tidak jujur — adalah bagian dari perjanjian dagang tersebut yang menyangkut perlindungan investor. Tentu saja, investor harus dilindungi dari risiko pemerintah nakal yang akan merampas milik mereka. Tetapi, tujuan dan maksud dari ketentuan ini bukanlah yang seperti itu. Dalam beberapa dekade terakhir, memang pernah ada beberapa aksi pengambilalihan, dan investor yang ingin melindungi kepentingan mereka dapat membeli asuransi dari Multilateral Investment Guarantee Agency, afiliasi Bank Dunia (Amerika dan pemerintah lain menyediakan asuransi yang sama). Namun, Amerika justru menuntut ketentuan serupa diberlakukan dalam TPP, meskipun kenyataannya banyak “mitra” Amerika sudah memiliki perlindungan properti dan sistem peradilan yang sama baiknya.

Agenda sesungguhnya dari ketentuan sepihak ini adalah untuk menghambat peraturan menyangkut kesehatan, lingkungan, keselamatan, bahkan peraturan keuangan yang sejatinya dimaksudkan untuk melindungi ekonomi dan warga Amerika sendiri. Berkat ketentuan tersebut, korporasi dapat menuntut kompensasi penuh dari pemerintah untuk tiap berkurangnya profit akibat terjadinya perubahan peraturan.

Ini bukan hanya kemungkinan teoretis. Faktanya, korporasi besar seperti Philip Morris menggugat Uruguay dan Australia yang mensyaratkan label peringatan pada bungkus rokok. Jujur saja, kedua negara tersebut justru selangkah lebih maju dari Amerika, terutama dalam mewajibkan pencantuman gambar yang menunjukkan bahaya merokok.

Pelabelan ini berhasil mengajak masyarakat untuk tidak merokok. Saat ini, Philip Morris menuntut agar diberikan kompensasi dari profit yang hilang.

Kelak, jika kita menemukan beberapa produk yang menyebabkan masalah kesehatan (seperti asbestos), daripada menghadapi tuntutan hukum, produsen bisa menuntut pemerintah karena menghambat mereka untuk “membunuh” lebih banyak orang. Hal yang sama bisa terjadi jika pemerintah memberlakukan peraturan lebih ketat untuk melindungi kita dari dampak emisi gas rumah kaca.

Ketika saya memimpin Dewan Penasihat Ekonomi pada era Presiden Bill Clinton, kelompok korporasi anti-lingkungan mencoba memberlakukan ketentuan serupa, yang disebut “regulatory takings“. Mereka mengetahui jika sekali ketentuan itu diberlakukan, maka regulasi tidak akan berfungsi karena pemerintah tidak bakal sanggup membayar kompensasinya. Untungnya, kami berhasil mematahkan inisiatif tersebut, baik di pengadilan maupun di Kongres Amerika.

Tapi sekarang kelompok yang sama sedang berusaha mengakhiri proses demokrasi dengan memasukkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam rancangan dagang (trade bills). Isinya jelas disembunyikan dari masyarakat (dan tentu saja diketahui oleh perusahaan-perusahaan yang mendorongnya). Kami baru bisa mengetahui apa yang sedang terjadi berkat adanya bocoran, dan juga berkat pembicaraan dengan sejumlah pejabat pemerintah yang masih punya komitmen dengan proses demokrasi.

Hal yang mendasar dari sistem pemerintahan Amerika adalah peradilan umum memihak, dengan standar hukum yang dibangun selama puluhan tahun, berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, preseden, dan kesempatan untuk mengajukan banding atas putusan yang tidak menguntungkan. Sekarang, semua itu justru sedang dikesampingkan, karena perjanjian baru ini lebih mendorong ke arbitrase yang bersifat swasta, tidak trasparan, dan berbiaya sangat mahal. Selain itu, perjanjian dagang ini sarat dengan konflik kepentingan; misalnya, arbiter bisa menjadi “hakim” dalam satu kasus dan bisa berubah menjadi advokat dalam kasus yang masih ada kaitannya.

Dalam kasus hukum yang melibatkan Uruguay melawan korporasi Philip Morris, posesnya sangat mahal, sehingga Uruguay terpaksa berpaling ke Michael Bloomberg dan orang kaya Amerika lain yang masih punya komitmen memperjuangkan kesehatan. Uruguay meminta bantuan mereka untuk melawan Philip Morris. Ada kejanggalan di sini, meskipun korporasi tampak dibolehkan mengajukan tuntutan hukum, ternyata pihak lain tidak bisa melakukan hal yang sama. Jika ada pelanggaran komitmen lain — contohnya terhadap standar perburuhan dan lingkungan– celakanya, warga, serikat pekerja, dan kelompok-kelompok masyarakat sipil justru tidak diberi jalan lain.

Dengan demikian, jika pernah ada mekanisme penyelesaian sengketa sepihak yang melanggar prinsip-prinsip dasar, maka inilah dia. Itu sebabnya saya bergabung dengan para ahli hukum terkemuka Amerika, termasuk dari Universitas Harvard, Yale, dan Berkeley, lalu menulis surat kepada para pemimpin Kongres dan menjelaskan betapa merusak perjanjian dagang tersebut.

Orang-orang Amerika pendukung perjanjian dagang tersebut menunjukkan bahwa sejauh ini Amerika hanya pernah digugat beberapa kali, dan belum pernah kalah di pengadilan. Tetapi perlu dicamkan di sini, korporasi berkepentingan dengan perjanjian dagang yang hanya terbatas demi keuntungan mereka.

Maka, sepertinya para pengacara korporat berbiaya mahal di Amerika, Eropa, dan Jepang kemungkinan besar akan mengalahkan para pengacara pemerintah bergaji rendah yang mencoba membela kepentingan publik. Lebih buruk lagi, korporasi di negara-negara maju dapat bersiasat dengan mendirikan anak-anak perusahaan di negara-negara anggotanya. Nantinya, semua anak perusahaan tersebut akan digunakan lagi untuk berinvestasi di negeri asal. Selanjutnya mereka akan mengajukan tuntutan hukum, yang akan memberi mereka saluran baru untuk menghambat regulasi.

Jika ada kebutuhan untuk perlindungan properti yang lebih baik, dan jika mekanisme penyelesaian sengketa swasta yang mahal ini lebih unggul dari peradilan umum, maka seyogianya hukum juga harus diubah. Jadi, hukum tidak hanya melayani kepentingan perusahaan asing yang makmur, tetapi juga melayani warga negara kita dan usaha kecil. Tapi, ternyata bukan itu pokok masalahnya.

Sejatinya, aturan dan regulasi menentukan jenis ekonomi dan masyarakat di tempat mereka hidup. Semua itu memengaruhi daya tawar (bargaining power) relatif, dengan implikasi penting bagi ketidaksetaraan yang saat ini menjadi masalah yang terus berkembang di seluruh dunia. Pertanyaannya, apakah kita mau membiarkan korporasi-korporasi besar memainkan agenda tersembunyi di balik perjanjian dagang ini, lalu mendiktekan bagaimana kita hidup di abad XXI? Saya berharap warga di Amerika, Eropa, dan Pasifik tegas menjawab tidak.

Penerima Nobel bidang ekonomi dan profesor pada Columbia University, Amerika Serikat.

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.