Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Saleh Partaonan Daulay meminta pemerintah agar tidak memberikan pernyataan yang berbeda-beda tentang insiden Tolikara, Papua supaya tidak terjadi kesimpangsiuran informasi.
“Pernyataan yang simpang-siur bisa menyebabkan kebingungan di masyarakat dan ketidakpastian informasi. Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan Wakil Presiden dan Menteri Agama terkait penggunaan pengeras suara,” kata Saleh melalui pesan singkat diterima di Jakarta, Senin (20/7)
Politisi Partai Amanat Nasional itu mengatakan, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan pernyataan yang berbeda tentang adanya peraturan daerah yang melarang penggunaan pengeras suara bagi rumah ibadah Islam di Tolikara.
“Awalnya, wapres menduga kerusuhan terjadi karena pengeras suara. Setelah banyak kecaman, wapres meluruskan pernyataannya dengan mengatakan bahwa di Tolikara memang ada perda yang melarang pemakaian pengeras suara,” katanya.
Namun, dalam pemberitaan lain, Menteri Agama Lukman Hakim membantah pernyataan Wakil Presiden. Menurut Lukman, tidak benar ada peraturan daerah larangan penggunaan pengeras suara di Tolikara.
“Menag mengakui ada wacana pembuatan perda tersebut. Namun, hingga saat ini perda seperti itu belum ada,” kata Saleh seperti dikutip Antara. Dia menilai perbedaan pernyataan antara Wakil Presiden dan Menteri Agama menunjukkan tidak ada informasi valid yang diterima pemerintah pusat.
Saleh khawatir informasi tidak valid yang diterima pemerintah pusat akan berpengaruh dalam proses penanganan dan pengusutan kasus tersebut. Selain itu, perbedaan informasi itu bisa membuat masyarakat kesulitan untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di Tolikara.
“Sebagai pembantu Presiden dan Wapres, menag semestinya secara proaktif memberikan informasi yang benar kepada atasannya. Jangan sampai, informasi pihak lain yang tidak punya kewenangan dijadikan rujukan,” kata Saleh.[*]