Harga minyak sedang terombang-ambing. Kali ini, berdasarkan data Kementerian ESDM, dalam periode Juni 2015, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) menyentuh 59,4 dolar per barel. Bila dibandingkan dengan periode Mei 2015, ini merupakan penurunan 2,46 dolar AS per barel dari 61,86 dolar per barel.
Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha, penurunan harga minyak telah membuat kontraktor migas menurunkan kegiatannya seperti pengembangan sumur baru. Selain itu, nilai keekonomian proyek-proyek hulu migas yang dikembangkan oleh perusahaan nasional maupun asing juga akan merasakan dampaknya. Karena, nilai keekonomian bisnis migas didasarkan pada bagi hasil yang telah dipatok pada harga minyak tertentu. Jika harga minyak terus turun, dikhawatirkan banyak proyek eksplorasi yang tertunda hingga berpengaruh pada upaya pemerintah menambah cadangan minyak dan menaikkan produksi minyak di dalam negeri.
Ekonom dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Edy Suandi Hamid, harga minyak mentah Indonesia saat ini berada di bawah asumsi dasar yaitu 60 dolar AS per barel. Akibatnya, akan berpengaruh pada makro ekonomi secara keseluruhan.
“Hal ini bisa berpengaruh pada target atau sasaran kesempatan kerja, pengangguran, kemiskinan, distribusi pendapatan, dan variabel makro ekonomi lain,” katanya.
Menurut dia, diperlukan penataan kebijakan ekonomi, termasuk isu perombakan kabinet ekonomi sepanjang dilakukan untuk mengoreksi kebijakan yang dalam semester pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terkesan masih jalan sendiri-sendiri, dengan arah yang belum sepenuhnya jelas.
Sementara itu, menurut Kementerian ESDM, penurunan ICP disebabkan karena pasokan minyak mentah Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) yang meningkat. Faktor lainnya adalah peningkatan ekspor minyak mentah Iran pada Juni 2015 mencapai 3,2 juta barel per hari. Lalu, penurunan harga minyak mentah juga dipengaruhi penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok.
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri turut buka suara. Ia menilai pada era sekarang harga BBM bersubsidi diserahkan pada mekanisme pasar yang berdampak gonjang-ganjing terhadap perekonomian dan komoditas lainnya. Saat harga energi diserahkan pada mekanisme pasar, maka pemerintah sendiri yang menciptakan pemicu ketidakpastian. Sedangkan Faisal menilai, pemerintah yang bertanggung jawab tidak akan melemparkan harga BBM mengikuti ketidaktetapan.
Namun perlu diketahui, saat harga bahan bakar minyak mengalami ketidakpastian, seketika itu pula harga barang-barang pokok dan komoditas naik. Hal itu juga yang kemudian menimbulkan inflasi tertinggi se-Asia sehingga BI Rate masih bertahan pada 7,5%. Rakyat saat ini merasakan langsung dampak kenaikan harga-harga barang pokok, terutama pangan dan transportasi. Meskipun harga minyak sempat turun, kenyataan yang ditemukan di lapangan, tak banyak harga yang turun.