Ini lagi-lagi kisah kelas menengah ngehe di Jakarta dan sekitarnya. Mereka yang teramat politis karena perasaan “mabuk cinta” terhadap seorang gubernur pujaan membuatnya merasa harus membela dan menghalalkan semua kebijakannya.
Padahal, dalam politik kewargaan yang etis dan rasional, kekuasaan seberapa pun bagusnya lebih membutuhkan diawasi daripada dijadikan idola karena kecenderungannya untuk berwatak leviathan (memangsa).
Beberapa hari ini kelompok masyarakat sipil pengkritik penggusuran, yang sebenarnya lebih peduli terhadap kota yang adil dan ramah terhadap warga miskin daripada soal siapa gubernurnya, cukup intens mengirim contoh-contoh di media sosial bagaimana kebijakan permukiman di bantaran kali yang bersifat menata (melibatkan warga) daripada menggusur.
Ada contoh bagus penataan permukiman di bantaran kali dari Brazil, lalu dari Kyoto di Jepang. Penataan yang berasal dari dialog dan melibatkan usulan-usulan warga. Persis seperti usulan kampung susun dan deret dari Bukti Duri dan Kampung Pulo yang diabaikan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Lalu, ada juga contoh bagus keberhasilan menata kampung kumuh di Thailand bernama Baan Mangkong. Pemerintah Thailand memilih untuk menata kampung kumuh itu daripada menggusurnya. Infrastruktur hidup diperbaiki, warga diberi subsidi untuk memperbaiki rumah mereka.
Tak kurang dari itu, teman-teman pengkritik penggusuran mengirim hasil karya Romo Mangunwijaya yang menata permukiman warga Kali Code di Yogyakarta. Pesan dari Kali Code sarat makna. Memerintah itu butuh imajinasi dan kreativitas daripada sekadar menggusur. Tak hanya itu, ada contoh lain permukiman Jodipan di Malang dan Stren Kali di Surabaya.
Bahwa pembangunan kota bukan hanya soal kemenangan nalar legal administratif, ketertiban, atau kehendak soal indah dan menor yang didefinisikan oleh kelas menengah dan pengembang. Yang tak kalah penting adalah pembangunan kota sebagai ruang hidup yang inklusif, memperhatikan mobilitas sosial-ekonomi manusia, dan cara bekerja alam dengan logika ekologisnya.
Tawaran pelajaran itu berupaya untuk mengingatkan sang gubernur untuk memanusiakan realitas legal soal lahan yang kaku di satu sisi dan realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis di sisi yang lain.
Bahwa pendekatan teknokratis saja tanpa kesediaan untuk memahami manusianya (antropologis) akan selalu membuat orang miskin menjadi korban dalam pembangunan.
Alam dan kondisi sosial tak bisa direduksi sebagai ruang statis dan seolah tak bernyawa. Titik-titik administratif/legal permukiman kampung pada peta tidak dapat berbicara tentang mobilitas maupun orientasi ruang masyarakat setempat. Batas-batas administratif tak dapat menangkap batas-batas sosial-ekonomi dan budaya. Sesuatu yang sulit dipahami oleh kaum kelas menengah fasis.
Tawaran-tawaran pelajaran penataan kota tanpa menggusur sebenarnya cukup banyak asal kita punya kerendahan hati untuk mendengar dan belajar. Meski saya juga tahu betapa sulitnya belajar dan mendengar jika titipan kapital dalam arus politik transaksional sudah menentukan posisi sejak awal dalam pembangunan kota.
Agaknya kita selalu perlu memeriksa arogansi di kepala kita yang bersemayam di balik kenyamanan kelas sosial. Dahulu para pengkritik kebijakan penggusuran di Jakarta dituntut untuk jangan hanya bisa ngomong mengkritik penggusuran, mana solusi dan contohnya.
Setelah dikasih contoh oleh para pengkritik, mereka lari ke arah lain lagi, katanya contoh-contohnya tidak sesuai karakter masyarakat kita. “Beda, dong, Jakarta dengan di sana! Di Jakarta keras karakter manusianya. Perlu lebih tegas.”
Lalu mereka melanjutkan dengan bertanya begitu menghakimi. Kalau memang maunya ditata, apa yakin mereka tidak lagi membuang sampah di kali?
Rupanya dalam hidup ini kita selalu punya alasan untuk berkilah yang sebenarnya datang dari arogansi kelas menengah tentang ketertiban dan keindahan kota. Seperti sudah menjadi keyakinan kelas menengah di Jakarta, bahwa selain sebagai biang kekumuhan, banjir di Jakarta juga datang dari sampah-sampah warga bantaran kali.
Pendapat yang penuh prejudice sekaligus kurang berwawasan tentang penyebab banjir dan pengetahuan hidup warga bantaran kali. Lebih penting lagi, mengapa kita harus mencibir laku hidup warga bantaran kali soal banjir dan sampah, padahal kita juga tahu rusaknya daya dukung lingkungan di hulu dan hilir daerah aliran sungai yang masuk Jakarta karena motif bisnis dan kerakusan gaya hidup kelas menengah atas pula.
Seorang warga di Bukit Duri menjawab soal tuduhan bahwa mereka menjadi penyebab banjir karena sampah dengan bilang, “Kami sudah lama sadar soal sampah, yang belum sadar sampahnya, datang lagi dan lagi.” Jawaban itu menggambarkan bahwa akar masalah banjir dan tata kelola sungai tak bisa disederhanakan dengan penghakiman kepada warga bantaran kali dan bedil aparat.
Para pendukung penggusuran dan bedebah pembangunan melihat kota sebagai ruang administratif/legal hanya ketika mereka tahu sedang berhadapan dengan kelas sosial apa.
Sebuah kota hanya akan manusiawi jika warga memilih pemimpin yang membangun solidaritas, bukan sentimen kelas dengan dalih pembangunan.
Terkait
Ahok, Fasisme, dan Sampah Kota