Rabu, Desember 31, 2025

Relasi di Atas Regulasi: Siasat Pedagang Pasar Senen

Alfi Lizan Hassan
Alfi Lizan Hassan
Alfi Lizan Hassan adalah mahasiswa Sosiologi yang aktif menulis isu-isu sosial dan budaya, khususnya yang berkaitan dengan anak muda, media, dan ekspresi identitas. Saat ini ia bergiat di komunitas kepenulisan dan media anak muda, serta pernah bekerja sebagai jurnalis di Youtz Media. Ia juga terlibat dalam berbagai proyek jurnalistik dan kegiatan edukatif.
- Advertisement -

Di lorong-lorong sempit Pasar Senen, Jakarta. Aroma pakaian lawas bercampur dengan keringat dan semangat tawar-menawar yang tak pernah surut. Di sini, kita menyaksikan sebuah paradoks besar ekonomi Indonesia sedang bekerja. Di atas kertas, negara mengatakan aktivitas ini ilegal. Namun, di lapangan, ribuan manusia menggantungkan hidup dan gaya mereka pada tumpukan bal pakaian bekas.

Dalam beberapa tahun terakhir, saya mengamati pergeseran makna yang drastis pada praktik thrifting. Jika dulu membeli pakaian bekas adalah strategi “kepepet” kaum berkantong tipis, kini ia telah bermetamorfosis menjadi lencana kehormatan bagi Generasi Milenial dan Gen Z. Pakaian bekas bukan lagi simbol kemiskinan, melainkan medium ekspresi identitas dan kesadaran ekologis. Perubahan ini tidak terjadi di ruang hampa; Ghilmansyah dkk. (2021) mencatat bahwa bagi anak muda, thrifting adalah penegasan afiliasi tren fesyen. Senada dengan itu, Kartika dkk. (2024) menemukan bahwa gaya hidup dan peran komunitas thrift yang meluas telah mengubah barang bekas menjadi komoditas simbolik yang prestisius.

Namun, romantisme budaya ini menabrak tembok beton regulasi. Pemerintah melalui Permendag No. 40 Tahun 2022 secara tegas melarang impor pakaian bekas demi melindungi industri tekstil lokal dan kesehatan konsumen. Secara normatif, pintu masuk seharusnya tertutup rapat. Namun, realitasnya justru menampar wajah birokrasi. Pasar ini tidak mati, ia justru membesar menjadi industri informal raksasa.

Mengapa regulasi negara mandul di hadapan pedagang Senen? Jawabannya terletak pada apa yang disebut sebagai anomali hukum. Data BPS (2011–2021) yang masih mencatat kode impor HS 6309 membuktikan bahwa larangan formal tak mampu membendung permintaan domestik yang “haus” akan barang branded dengan harga miring, yakni sebuah kombinasi nilai yang menurut Ibrahim et al. (2024) sulit ditandingi produk lokal.

Pasar Senen adalah bukti hidup bahwa ekonomi rakyat memiliki logikanya sendiri yang seringkali luput dari kacamata pembuat kebijakan. Pasar ini bukan sekadar tempat transaksi uang dan barang, namun ialah sebuah arena sosial di mana solidaritas dan kepercayaan (trust) menjadi mata uang utama.

Di tengah ancaman razia dan stigma ilegalitas, pedagang Senen bertahan karena adanya kekuatan jaringan sosial. Transaksi di sini tertanam (embedded) dalam relasi emosional. Hubungan antara pedagang dan pemasok (“bos”) di pelabuhan tidak diikat kontrak hitam di atas putih, tetapi oleh sejarah interaksi dan reputasi. Dalam kondisi sulit, pemasok bahkan rela melepas barang hanya untuk balik modal demi menjaga hubungan baik dengan pedagang. Fleksibilitas manusiawi semacam inilah yang tidak dimiliki oleh pasar formal yang kaku.

Struktur jaringan ini juga menarik untuk dibedah. Ada hierarki akses yang ditentukan oleh kedekatan. Pedagang dengan ikatan kuat (kekerabatan atau persahabatan lama) mendapatkan prioritas “bal segel” kualitas terbaik. Sementara itu, ikatan lemah dimanfaatkan untuk ekspansi pasar ke luar kota melalui reseller. Sistem ini menciptakan ketahanan ekonomi yang luar biasa; likuiditas terjaga lewat perputaran barang yang cepat dalam jaringan sosial, tanpa sedikitpun campur tangan negara.

Lebih mendalami lagi, fenomena ini adalah studi kasus sempurna tentang teori sampah (Rubbish Theory). Meminjam pemikiran Thompson (1979), pedagang Senen melakukan aksi “sulap” budaya. Barang yang oleh negara dikategorikan sebagai limbah berbahaya, di tangan mereka dikurasi dan dimaknai ulang menjadi “harta karun”. Proses komodifikasi ini sukses besar. Konsumen muda, meski sadar akan isu ilegalitas, tetap memilih thrifting karena nilai simbolik dan keunikan yang ditawarkan jauh melampaui pertimbangan normatif (Tambunan et al., 2025; Fatah et al., 2023).

Pada akhirnya, keberlangsungan Pasar Senen mengajarkan kita satu hal penting yakni, kebijakan yang dibangun tanpa memahami keterlekatan sosial (social embeddedness) hanya akan melahirkan resistensi kreatif. Negara boleh saja memproduksi wacana pelarangan, tetapi selama solidaritas pedagang terjaga dan hasrat budaya konsumen terus diproduksi, thrifting akan selalu menemukan celah untuk bernapas.

Pasar Senen bukan sekadar pasar gelap yang harus diberantas, ini adalah cermin kegagalan negara membaca denyut nadi warganya. Alih-alih kepatuhan, regulasi yang represif justru memperpanjang usia ekonomi informal yang disokong oleh modal sosial yang kokoh.

- Advertisement -

Tentang Penulis: Alfi Lizan Hassan & Adinda Choirunnisah adalah mahasiswa Program Studi Sosiologi, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2025). Tulisan ini disarikan dari penelitian mereka berjudul “Strategi Jaringan dan Modal Sosial Pedagang Thrifting di Pasar Senen”.

Alfi Lizan Hassan
Alfi Lizan Hassan
Alfi Lizan Hassan adalah mahasiswa Sosiologi yang aktif menulis isu-isu sosial dan budaya, khususnya yang berkaitan dengan anak muda, media, dan ekspresi identitas. Saat ini ia bergiat di komunitas kepenulisan dan media anak muda, serta pernah bekerja sebagai jurnalis di Youtz Media. Ia juga terlibat dalam berbagai proyek jurnalistik dan kegiatan edukatif.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.