Seorang Ibu tentu akan selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi tumbuh kembang buah hatinya, terutama saat masih bayi dan balita yang sedang mengalami pertumbuhan pesat. Ketika bayi berusia enam bulan, makanan pendamping ASI (MPASI) menjadi tahap yang krusial karena sang Ibu harus cermat dalam memilih makanan yang tepat.
Berdasarkan survei Teman Bumil dan Populix pada tahun 2021 terhadap 369 Ibu yang sedang menjalani masa MPASI, sekitar 59% memilih memberikan MPASI buatan sendiri yang diselingi dengan produk makanan bayi instan, 38% hanya memberikan MPASI buatan sendiri, dan 4% lainnya sepenuhnya mengandalkan produk instan.
Mayoritas ibu memilih kombinasi MPASI buatan sendiri dan produk instan karena alasan kepraktisan serta klaim kandungan gizi yang lebih lengkap pada produk makanan bayi. Namun, bagaimana jika di balik kesan praktis dan menyehatkan yang melekat pada produk makanan bayi instan, terdapat dinamika yang tersembunyi?
Produk makanan bayi mengandung gula
Hasil investigasi yang dilakukan oleh Public Eye dan International Baby Food Action (IBFAN) pada tahun 2024 mengungkapkan adanya kandungan gula tambahan pada produk makanan bayi merek terkemuka milik Nestle, yaitu Cerelac dan Dancow, yang dipasarkan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, termasuk Indonesia.
Pada seluruh produk Cerelac yang dipasarkan di Indonesia, ditemukan kandungan gula tambahan sekitar 3,8 gram. Sementara itu, pada produk Dancow untuk anak usia satu tahun ke atas, terdapat lebih dari 0,7 gram tambahan gula dalam setiap porsi sajian. Kadar tambahan gula tertinggi pada produk Cerelac tercatat berada di negara tetangga, yaitu Filipina, yang mencapai 7,3 gram.
Secara keseluruhan, di negara-negara berpendapatan rendah, dari 114 produk Cerelac yang dijual di pasar utama Nestlé di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, sebanyak 106 produk atau sekitar 93% mengandung gula tambahan. Adapun pada produk Dancow, dari 29 produk yang dijual, sebanyak 21 produk atau sekitar 72% juga diketahui mengandung gula tambahan.
Pemberian gula tambahan pada produk yang dikonsumsi bayi dapat berdampak buruk terhadap proses pertumbuhan. Berdasarkan penelitian dari European Society for Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN), penambahan gula dalam asupan bayi dan balita di bawah usia dua tahun berpotensi membentuk kebiasaan preferensi terhadap makanan manis di kemudian hari. Ketergantungan terhadap rasa manis tersebut dapat merusak pola makan anak dan meningkatkan risiko obesitas serta penyakit kronis, seperti diabetes tipe 2 dan gangguan kardiovaskular.
Cara promosi menarik perhatian Ibu
Klaim mengenai gizi, nutrisi, dan manfaat kesehatan merupakan hal yang sudah biasa ditemui dalam iklan produk makanan anak. Berbagai slogan dipadukan dengan daftar kandungan zat gizi yang sekilas terdengar familiar dan menjanjikan, namun kerap tidak diketahui kebenarannya. Pernyataan-pertanyaan yang dikemas secara persuasif ini menjadi bagian dari strategi promosi yang umum digunakan dalam membangun citra sebagai produk “terbaik”.
Para Ibu yang memiliki balita mungkin akrab dengan slogan seperti “tumbuh cerdas” atau “gizi lengkap untuk perutnya yang kecil”, diikuti dengan informasi tambahan seperti “tinggi zat besi” atau kandungan vitamin A, B, C, dan D, yang kerap ditampilkan melalui berbagai media, mulai dari televisi, baliho, hingga media sosial. Bentuk komunikasi pemasaran seperti inilah yang digunakan Nestle untuk mempromosikan Cerelac dan Dancow kepada para Ibu.
Tidak hanya itu, untuk memperkuat kepercayaan para Ibu, ahli gizi atau tenaga kesehatan juga kerap dilibatkan dalam berbagai bentuk kampanye promosi, seperti video edukasi di media sosial hingga kegiatan edukasi secara langsung. Walaupun penyampaian materi oleh para ahli tersebut tidak secara eksplisit mempromosikan produk, kehadiran mereka tetap memberikan kesan bahwa produk tersebut dapat dipercaya karena ada dukungan ahli.
Eksploitasi demi keuntungan
Salah satu temuan penting lainnya dari laporan Public Eye dan IBFAN adalah adanya indikasi “perbedaan perlakuan” dalam formulasi produk Nestle antara negara-negara Eropa dengan negara berpendapatan rendah. Di Swiss, Jerman, Prancis, dan Inggris, produk makanan bayi dilaporkan tidak mengandung gula tambahan.
Secara regulasi, penambahan gula di negara-negara Eropa mengacu pada Codex Alimentarius yang mewajibkan pencantuman informasi gizi secara jelas serta membatasi penambahan gula maksimal 20 persen dari total karbohidrat dalam makanan bayi. Di Indonesia, ketentuan serupa juga tercantum dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 24 Tahun 2020. Lalu, mengapa terdapat standar ganda?
Dalam perspektif teori kritik pada ekonomi politik global, tatanan internasional dipandang sebagai struktur yang timpang dan penuh konflik. Hubungan ekonomi tidak dilihat sebagai kerja sama yang setara, melainkan sebagai arena pertarungan antara kelompok dominan dan kelompok yang terpinggirkan. Sistem internasional, dalam sudut pandang ini, menyerupai sistem eksploitasi di mana kelompok berkuasa, termasuk perusahaan multinasional, memperoleh keuntungan dengan mengorbankan pihak yang lebih lemah dalam struktur global.
Indonesia, sebagai negara berpendapatan rendah dan menengah dengan pasar yang masih berkembang, dapat ditempatkan dalam kelompok yang terpinggirkan tersebut. Kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, disertai dengan tingkat pendidikan dan kesadaran konsumen yang relatif rendah, menjadikan pasar Indonesia rentan dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional yang merupakan kelompok dominan. Mereka menjalankan strategi standar ganda demi keuntungan yang lebih besar tanpa memperhatikan secara serius dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Penambahan gula dalam produk makanan bayi menjadi salah satu strategi karena gula merupakan bahan yang murah dan mudah diolah. Selain itu, rasa manis yang dihasilkan gula membuat anak terbiasa sejak dini, yang pada akhirnya dapat membentuk loyalitas terhadap produk tersebut, sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomi jangka panjang bagi perusahaan.
Strategi ini juga diperkuat melalui berbagai bentuk promosi yang memengaruhi keputusan pembelian. Banyak Ibu di Indonesia dan negara berpendapatan rendah lainnya tidak memiliki cukup akses atau kapabilitas untuk memahami informasi ilmiah yang disampaikan dalam iklan terkait kandungan produk, sehingga promosi tersebut dengan mudah memengaruhi pilihan mereka.
Pendekatan ini terbukti berhasil secara komersial. Pada tahun 2022, penjualan produk Dancow di Indonesia mencapai sekitar 400 juta dolar AS, menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar di dunia. Sejalan dengan tingginya angka penjualan tersebut, data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan adanya peningkatan kasus obesitas pada balita, dari 3,5% pada tahun sebelumnya menjadi 4,4%.
