Perluasan Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) antara Filipina dan Amerika Serikat kembali menempatkan Manila di episentrum rivalitas dua kekuatan besar. Pemerintahan Ferdinand Marcos Jr. menyebut langkah ini sebagai respons terhadap semakin agresifnya manuver Tiongkok di Laut Filipina Barat. Namun di balik narasi stabilitas, muncul pertanyaan strategis: apakah EDCA benar-benar memperkuat Filipina atau justru menambah kerentanannya?
Ketergantungan Keamanan yang Mengikis Kekuatan Domestik
Filipina menghadapi dilema klasik negara kecil: terbatasnya kemampuan pertahanan membuat mereka “meminjam” deterrence dari negara besar. Namun security outsourcing seperti ini melahirkan konsekuensi jangka panjang.Modernisasi Armed Forces of the Philippines (AFP) masih tertinggal jauh dari negara tetangga, sementara insiden penabrakan kapal dan penggunaan meriam air oleh Tiongkok terus meningkat.
Keberadaan fasilitas EDCA memang mempercepat interoperabilitas, tetapi tidak membangun fondasi pertahanan domestik. Alih-alih memperkuat AFP, Filipina menjadi semakin terpaut pada strategi integrated deterrence Washington yang secara perlahan mengikis otonomi strategisnya.
Risiko Menjadi “Collateral State” dalam Konflik Taiwan
Empat situs EDCA yang baru, terutama di Luzon utara, berada dekat dengan Selat Taiwan—salah satu titik panas geopolitik dunia. Dalam perhitungan Beijing, infrastruktur tersebut bukan sekadar fasilitas Filipina, tetapi bagian dari jaringan operasi AS di sekitar Taiwan.Peringatan Tiongkok bahwa pangkalan EDCA dapat menjadi target jika digunakan dalam operasi yang mengancam kepentingannya bukan sekadar retorika.
Jika konflik Taiwan meletus, Filipina berpotensi menanggung dampak militer, gangguan logistik, dan krisis kemanusiaan tanpa keterlibatan langsung.
Polarisasi Politik Domestik dan Erosi Otonomi Kebijakan
Perluasan EDCA memicu fragmentasi elite politik. Kelompok pro-AS menilai EDCA sebagai “jangkar stabilitas”, sementara pihak lain melihatnya sebagai katalis eskalasi dan ancaman bagi peluang ekonomi dari Tiongkok. Polarisasi ini mempersempit ruang bagi Filipina untuk mengambil keputusan berdasarkan kebutuhan nasional, bukan tekanan eksternal.
Di tingkat lokal, keberadaan fasilitas EDCA kembali menghidupkan persoalan lama: sengketa lahan, kekhawatiran kriminalitas personel asing, dan potensi kerusakan lingkungan.
Mengapa Pendukung EDCA Tetap Merasa Filipina Membutuhkannya
Pendukung EDCA berpegang pada keyakinan bahwa Filipina tidak memiliki kapabilitas yang memadai untuk menghadapi Tiongkok secara mandiri. Perjanjian Mutual Defense Treaty 1951 dianggap sebagai jaminan bahwa serangan terhadap aset pemerintah Filipina dapat memicu respons AS.
Kerja sama tersebut juga membuka akses pada teknologi militer, peningkatan komando dan kontrol, serta pelatihan yang belum dapat dicapai AFP secara mandiri.
Deterensi Eksternal Tidak Menjamin Keamanan Nyata
Deterensi hanya efektif bila ditopang oleh kemampuan domestik yang kuat. Ketergantungan berlebihan pada AS justru membuat Filipina rentan terhadap dinamika politik Amerika sendiri, termasuk pergantian pemerintahan dan perubahan prioritas luar negeri.
Di sisi lain, kedekatan Filipina–AS memicu balasan Tiongkok, seperti insiden Ayungin Shoal yang semakin intens. Dengan kata lain, EDCA mungkin meningkatkan deterensi jangka pendek, namun belum memberikan jaminan keamanan jangka panjang.
Membangun Kemandirian Strategis Filipina
Jika ingin keluar dari lingkaran kerentanan, Filipina perlu merumuskan strategi pertahanan yang lebih seimbang melalui:
• percepatan modernisasi AFP yang berfokus pada pertahanan maritim• penguatan maritime domain awareness• diversifikasi kerja sama keamanan dengan Jepang, Australia, India, dan Uni Eropa• optimalisasi diplomasi ASEAN untuk meredam eskalasi di Laut Cina Selatan.
Kemandirian strategis tidak berarti menjauh dari AS, melainkan memastikan bahwa aliansi tidak menggantikan kewajiban domestik untuk memperkuat kekuatan nasional.
Stabilitas dan Ilusi Keamanan?
EDCA hadir sebagai jawaban cepat atas tekanan Tiongkok, tetapi kehadiran militer AS tidak serta-merta menghapus kerentanan Filipina. Tanpa fondasi pertahanan nasional yang kuat, Filipina berada dalam posisi paradoks: terlindungi namun tetap rapuh.
Keamanan sejati hanya lahir dari kapasitas domestik, stabilitas internal, dan kebijakan luar negeri yang otonom. Tanpa itu, aliansi hanyalah penopang sementara, bukan solusi permanen.
Referensi
Asian Maritime Transparency Initiative. (n.d.). Updates on the South China Sea. Center for Strategic and International Studies. https://amti.csis.org
Global Times. (2023, April). Chinese officials warn EDCA sites may become targets. https://www.globaltimes.cn/page/202304/1289441.shtml
United States Department of State. (2023). U.S. security cooperation with the Philippines. https://www.state.gov/u-s-security-cooperation-with-the-philippines
ASEAN Studies Centre. (n.d.). Publications on South China Sea and regional diplomacy. https://asc.fsi.stanford.edu
