Pendidikan sering disebut sebagai fondasi kemajuan bangsa. Namun dalam praktiknya, arah pendidikan Indonesia tampak menjauh dari cita-cita konstitusional: mencerdaskan kehidupan bangsa secara utuh, bukan sekadar mencetak tenaga kerja terampil. Di tengah reformasi kebijakan dan kurikulum yang silih berganti, substansi pendidikan kehilangan orientasi humanistik. Sekolah menjadi mesin administratif yang sibuk memenuhi standar teknis, sementara dimensi kemanusiaan yang mestinya menjadi roh pendidikan perlahan memudar. Kelas berubah menjadi ruang produksi nilai ujian, bukan ruang dialog dan refleksi.
Dari kacamata sosiologi pendidikan, sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu, tetapi arena sosial tempat nilai dan relasi kekuasaan terbentuk. Fungsi sosial ini terkikis oleh logika ekonomi dan birokrasi yang berlebihan. Sekolah diukur dari peringkat dan prestasi akademik, bukan dari kemampuannya menumbuhkan solidaritas dan kesadaran kritis. Keberhasilan diartikan sempit: nilai tinggi, ranking tinggi dan akreditasi sempurna. Padahal, pendidikan sejati seharusnya menumbuhkan kepekaan sosial dan karakter, bukan hanya keterampilan teknis yang bisa diukur angka.
Guru, yang seharusnya menjadi penggerak dialog kemanusiaan, terjebak dalam rutinitas laporan dan pelatihan administratif. Mereka kehilangan waktu untuk memahami siswa sebagai manusia, bukan angka. Hubungan guru dan murid menjadi formal dan kaku, kehilangan makna personal. Padahal, interaksi sosial di ruang kelas adalah jantung pendidikan. Melalui relasi itu, nilai empati dan tanggung jawab ditanamkan secara hidup, bukan sekadar diajarkan lewat teori moral di papan tulis.
Emile Durkheim menegaskan pendidikan seharusnya membentuk solidaritas sosial, rasa keterikatan yang melahirkan masyarakat kohesif. Namun sistem pendidikan kita menumbuhkan kompetisi ekstrem sejak dini. Anak-anak dipacu menjadi juara kelas, bukan sebagai manusia yang peka. Mereka belajar untuk mengalahkan, bukan memahami. Nilai tertinggi menjadi tujuan akhir, bukan proses belajar yang bermakna. Kompetisi semacam ini melahirkan generasi cerdas secara intelektual tetapi kering secara sosial dan emosional.
Kondisi itu menunjukkan ketimpangan orientasi: dimensi kognitif diagungkan, sementara aspek sosial terpinggirkan. Sekolah kehilangan jiwanya sebagai ruang pembentukan karakter moral. Dalam kerangka teori kritis, Paulo Freire menolak banking education pendidikan yang memperlakukan murid sebagai wadah kosong untuk diisi pengetahuan. Model ini masih mendominasi sekolah di Indonesia. Murid diajarkan untuk mendengarkan, bukan bertanya; untuk menghafal, bukan berpikir; untuk patuh, bukan berdialog. Akibatnya lahir generasi yang pandai menjawab ujian tetapi gagap menghadapi kenyataan sosial yang kompleks.
Padahal inti pendidikan bukan hanya pengetahuan, melainkan kesadaran. Tanpa kesadaran sosial, ilmu menjadi alat kepentingan diri. Pengetahuan kehilangan fungsi pembebas ketika dipisahkan dari tanggung jawab sosial. Dari sisi sosiologi, sekolah juga menjadi lembaga reproduksi sosial. Pierre Bourdieu menyebutnya arena yang memperkuat ketimpangan. Anak dari keluarga berpendidikan tinggi memiliki peluang lebih besar untuk berhasil dibandingkan anak dari keluarga miskin. Ketimpangan ini bukan sekadar soal fasilitas, tetapi juga modal kultural cara berpikir dan berinteraksi yang dihargai oleh sistem sekolah.
Jika pola ini berlanjut, pendidikan memperdalam jurang sosial. Ia kehilangan fungsi mobilitas vertikal dan berubah menjadi mekanisme pelanggeng status sosial. Sekolah bukan lagi sarana penyatu bangsa, melainkan ruang yang mempertegas perbedaan kelas. Pendidikan, yang seharusnya menjadi jalan keadilan sosial, malah menjadi cermin ketimpangan. Karena itu, pendidikan perlu dilihat bukan sebagai ruang netral, melainkan arena perjuangan sosial. Pendekatan sosiologi pendidikan membantu memahami bagaimana kekuasaan dan kelas memengaruhi proses belajar serta menentukan siapa yang diuntungkan atau tersisih.
Guru dan lembaga pendidikan tidak hanya mengajar, tetapi juga membentuk cara pandang hidup. Setiap interaksi di kelas merefleksikan struktur sosial yang lebih luas: siapa yang boleh berbicara, siapa yang didengarkan, dan nilai apa yang dianggap benar. Sekolah yang menekankan kepatuhan tanpa dialog akan melahirkan generasi yang takut berbeda pendapat. Sebaliknya, sekolah yang menumbuhkan sikap kritis dan empati akan menghasilkan warga yang sadar dan bertanggung jawab terhadap keadilan sosial.
Pendidikan sejati tidak menakuti perbedaan, melainkan merayakannya. Di situlah kreativitas dan kesadaran sosial tumbuh. Kurikulum perlu diarahkan untuk menghubungkan ilmu dengan realitas kehidupan. Setiap pelajaran seharusnya membantu siswa memahami persoalan nyata: kemiskinan, kesetaraan, lingkungan, dan kemanusiaan. Ilmu tanpa konteks sosial hanya melahirkan kecerdasan kosong. Anak mungkin hafal teori demokrasi, tetapi tak memahami maknanya jika tidak pernah mengalami praktik demokratis di kelas.
Pemerintah perlu meninjau ulang tolok ukur keberhasilan pendidikan yang terlalu berbasis angka. Indeks kompetensi kognitif tidak berarti tanpa peningkatan kesadaran sosial dan moral. Sekolah yang baik bukan yang menghasilkan lulusan terbanyak ke universitas, tetapi yang melahirkan manusia berempati dan mampu hidup bersama dalam keberagaman. Di tengah arus digitalisasi, pendidikan juga harus menjaga nilai sosial dan budaya lokal.
Sosiologi pendidikan mengajarkan bahwa perubahan sosial dimulai dari ruang kelas. Di sanalah generasi masa depan belajar memaknai dunia dan perannya. Jika sekolah ingin tetap relevan, ia harus kembali pada panggilan dasarnya: menumbuhkan manusia sosial, bukan sekadar individu yang pintar. Keberhasilan pendidikan tidak diukur dari gelar atau nilai ujian, melainkan dari sejauh mana ia memanusiakan manusia menjadikan ilmu sebagai jalan menuju kesadaran, keadilan, dan solidaritas sosial.
