Rabu, November 5, 2025

Pesantren, Jihad, dan Air Mata

Riani Ani
Riani Ani
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Saat pertama kali orang tua mengantarkan anaknya ke pondok pesantren, mereka sering kali diliputi dengan sedih, haru, dan kehilangan. Tetapi, itulah yang menjadi gerbang awal perjuangan bagi seorang santri. Pesantren merupakan tempat jihad, namun makna jihad di sini bukanlah mengarah pada kekerasan fisik, melainkan dalam artian luas. Di mana santri harus berjuang melawan musuh, yaitu ego, nafsu, dan rasa malas. Alat jihadnya adalah buku, pena, pikiran, dan akhlak. Lalu, pemimpinnya adalah para guru dan kiai.

Pesantren bukan hanya tempat menuntut ilmu, tetapi juga sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki pengaruh kuat dalam membentuk pemahaman jihad di kalangan santri dan mencetak generasi Islam yang berilmu, berakhlak, taat ibadah, berdaya, tangguh menghadapi tantangan zaman, berpikir kritis, dan bermanfaat bagi masyarakat. Di pesantren, keberagaman bukan alasan untuk berjarak, justru menjadi kekuatan. Dari perbedaan daerah, bahasa, hingga kebiasaan diarahkan pada satu visi dan satu tujuan untuk mencari ilmu dan menggapai rida Allah SWT.

Santri tidak hanya diajarkan membaca kitab dan Al-Qur’an, tetapi juga diajarkan untuk mampu memahami hingga akarnya serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan para santri adalah menjaga keilmuan dan marwah pesantren serta guru-guru.

Namun, akhir-akhir ini dunia pesantren diuji dengan banyak peristiwa, mulai dari penganiayaan santri, pelecehan, perundungan, hingga kekerasan seksual yang dilakukan oleh pimpinan pesantren. Peristiwa-peristiwa tersebut mungkin sudah ada sejak dulu, namun jarang tersorot. Kini, dengan kecanggihan teknologi dan informasi yang cepat diterima, peristiwa-peristiwa yang melibatkan apapun mudah tersorot dan diakses dengan cepat termasuk peristiwa yang melibatkan pondok pesantren.

Bahkan, baru-baru ini para guru, santri, dan alumni digemparkan oleh pemberitaan media yang menyinggung kehidupan pondok pesantren. Tidak sedikit yang geram dan sedih dengan berita tersebut. Walaupun sudah saling memaafkan, tapi tetap saja akan teringat peristiwa tersebut di benak para santri dan alumni. Dengan banyaknya pemberitaan yang mengaitkan dengan pesantren, citra pesantren tidak jarang terlihat buruk di mata orang-orang yang tidak suka. Tentunya penganiayaan, perundungan, dan peristiwa lainnya bisa muncul karena kurangnya pengawasan ataupun oknum segelintir orang yang menyelewengkan kekuasaannya.

Bagi sebagian orang yang menganggap pesantren tempat feodal, mungkin mereka tidak memahami esensi pesantren. Memang benar ada tradisi penghormatan kepada guru dan kiai, misalnya dengan menundukkan kepala dan membungkukkan badan tanda ta’dhim ataupun dengan pengabdian di pesantren, tapi itu bukan bentuk penindasan, melainkan wujud adab dan rasa hormat terhadap ilmu. الْعِلْمُ بِالتَّعَالُمِ وَالْبَارَكَةُ بِالْخِدْمَةِ وَالْمَنْفَعَةُ بِالطَّاعَةِ yang menjadi dasar para santri belajar untuk memperoleh ilmu, memperoleh berkah guru dengan mengabdi, dan mendapatkan manfaat dengan taat.

Di pesantren, hubungan antara guru dan santri tidak sekedar formalitas akademik, melainkan relasi rohani. Santri tidak hanya belajar dari kata-kata atau tulisan yang ada dalam kitab dan Al-Qur’an, tetapi belajar juga dari sikap dan teladan sang guru.

Namun demikian, bukan berarti pesantren harus menutup diri dari kritik yang ada. Justru dari kritik, pesantren bisa berbenah dan menjaga kemurnian ilmunya. Setiap kasus yang mencoreng nama pesantren sebaiknya dijadikan bahan muhasabah dan berbenah, agar pesantren tidak kehilangan jati dirinya sebagai tempat menumbuhkan ilmu.

Harapan terbesar bagi dunia pesantren adalah tetap tegaknya nilai-nilai luhur seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan kejujuran yang sejak lama menjadi pondasi lahirnya banyak tokoh bangsa dari pesantren, seperti KH. Hasyim Asy’ari. Santri diharapkan tidak hanya menjadi ahli ilmu, tetapi menjadi ahli ilmu yang memiliki adab luhur di tengah masyarakat yang makin kompleks.

Pesantren adalah ruang belajar bagi siapapun yang ingin lebih mendekatkan diri pada Allah. Tangisan di awal perpisahan bukanlah tanda lemah, tetapi awal dari jihad fi sabilillah. Setiap kantuk di malam hari ataupun kantuk yang datang setelah kesedihan yang menemani perjalanan di pesantren bukan sekadar lelah, tapi Allah datangkan untuk memberikan rasa aman. Sebagaimana dijelaskan dalam potongan ayat dalam QS. Ali Imran ayat 154:

- Advertisement -

ثُمَّ اَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ الْغَمِّ اَمَنَةً نُّعَاسًا يَّغْشٰى طَۤاىِٕفَةً مِّنْكُمْۙ

“Setelah kamu ditimpa kesedihan, kemudian Dia menurunkan rasa aman kepadamu berupa kantuk yang meliputi segolongan dari kamu.”

Pesantren tidak seburuk yang dipikirkan atau dibayangkan. Justru di pesantren, bentuk kanaah, berkah, sabar, dan pelajaran hidup lainnya tumbuh dan dapat dirasakan dengan hati.

Riani Ani
Riani Ani
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.