Setelah berabad-abad didominasi oleh laki-laki, Jepang akhirnya membuat sejarah. Negara yang telah berjuang keras dengan isu kesetaraan gender ini—terutama dalam posisi kepemimpinan—akhirnya menyaksikan pecahnya “langit-langit kaca” yang telah membentang sejak tahun 1880-an. Untuk pertama kalinya, partai yang berkuasa di Jepang telah memilih seorang pemimpin perempuan, membuka jalan bagi kemungkinan perdana menteri perempuan pertama mereka.
Meskipun sebelumnya tak pernah berhasil, Zane Takayichi, yang mencalonkan diri pada tahun 2021 dan 2024, akhirnya meraih kemenangan bersejarah ini. Akhir pekan lalu, ia berhasil mengungguli empat kandidat laki-laki, mengamankan posisi yang ia idam-idamkan. Ini bukan sekadar pengumuman biasa, melainkan gaung dari pecahnya batas yang telah bertahan selama lebih dari satu abad.
Selama 140 tahun, Jepang telah menantikan momen ini. Kini, penantian itu akan segera berakhir berkat Sai Taii, seorang wanita berusia 64 tahun. Pada Sabtu lalu, dalam kontes kepemimpinan Partai Demokrat Liberal, ia menjadi satu-satunya kandidat perempuan di antara lima pilihan yang ada. Ia akan menghadapi ujian parlemen pada 15 Oktober, dan jika mayoritas anggota parlemen mendukungnya, ia akan resmi menjadi perdana menteri perempuan pertama Jepang.
Meskipun partainya tidak lagi memegang mayoritas di parlemen, jalan menuju kenaikannya ke puncak kekuasaan tampaknya hampir tak terhindarkan. Namun, bagi sang pemimpin, perayaan bukanlah prioritas utama. Dengan pandangan yang jauh ke depan dan penuh tanggung jawab, ia menyatakan, “Daripada senang, saya merasa pekerjaan berat dimulai di sini.” Pernyataan ini menunjukkan tekadnya yang tak tergoyahkan.
Ia melanjutkan, “Kita semua bersama-sama memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan… Saya akan bekerja dan bekerja dan bekerja dan bekerja dan terus bekerja.” Kata-katanya yang tegas, yang bahkan sampai menolak gagasan “keseimbangan kerja-hidup,” menggambarkan komitmen totalnya untuk mengatasi tantangan yang menanti. Kemenangan Taiichi bukan sekadar momen politik biasa; ini adalah babak baru yang monumental bagi Jepang, sebuah negara yang telah berabad-abad bergumul dengan ketidakseimbangan gender di pucuk kepemimpinan.
Bagi banyak warga Jepang, gagasan seorang perdana menteri perempuan terasa mustahil, namun Taiichi telah membuktikan bahwa hal yang tidak mungkin bisa diwujudkan. Kisahnya adalah bukti ketahanan yang luar biasa—ia gagal dalam dua percobaan sebelumnya, hanya untuk bangkit kembali dan akhirnya berhasil pada kesempatan ketiganya. Ini adalah cerita tentang kegigihan yang menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Meskipun kemenangan bersejarah ini patut dirayakan, para ahli memberikan peringatan untuk tidak terlalu cepat bersuka cita. Mereka menyoroti sisi lain dari sosok Takai, yang mungkin tidak sejalan dengan harapan banyak pendukung kesetaraan gender. Takai dikenal sebagai penentang keras isu-isu yang cenderung didukung oleh mayoritas perempuan, seperti opsi nama keluarga terpisah untuk pasangan menikah atau legalisasi pernikahan sesama jenis. Sikapnya yang tegas dalam menolak isu-isu ini, bahkan lebih vokal dari banyak politisi pria, telah membantunya membangun reputasi.
Sebagian ahli bahkan menyebutnya sebagai “sosok laki-laki kehormatan”—sebutan yang menyiratkan bahwa ia berhasil mencapai posisi puncaknya dengan cara mengakomodasi norma-norma masyarakat yang didominasi oleh laki-laki.
Sebagai seorang nasionalis konservatif, Tokaii adalah murid dari mantan perdana menteri Shinszo dan pengagum berat mantan pemimpin Inggris, Margaret Thatcher. Kesamaan gaya kepemimpinan ini membuat banyak orang menjulukinya sebagai “wanita besi Jepang”. Berbeda dengan banyak rekan separtainya yang berasal dari keluarga politik ternama, Tokaii membangun kariernya dari nol, tanpa dukungan dinasti politik.
Jalur karier Tokaii sama sekali tidak konvensional. Sebelum terjun ke dunia politik, ia menjalani hidup yang jauh dari hiruk-pikuk pemerintahan. Di masa mudanya, ia adalah seorang drummer heavy metal yang energik, penyelam scuba yang berani, penggemar mobil yang antusias, dan pembawa acara televisi yang karismatik. Meskipun gagal dalam pemilihan pertamanya di tahun 1992, kegigihannya membuahkan hasil setahun kemudian, saat ia berhasil terpilih menjadi anggota parlemen. Ini adalah awal dari perjalanan politiknya yang panjang, di mana ia akan menjabat sebanyak 11 kali sebagai anggota parlemen.
Sebagai menteri keamanan ekonomi, Tokaii membawa harapan besar bagi para pelaku bisnis. Ia dikenal sebagai pendukung setia kebijakan pro-bisnis dan peningkatan anggaran belanja pemerintah, sebuah pandangan yang disambut baik oleh pasar. Buktinya, setelah kemenangannya, indeks Nikkei Jepang melonjak lebih dari 4%—sebuah cerminan kepercayaan investor terhadap kepemimpinannya.
Namun, jadwalnya akan sangat padat setelah menjabat. Ia tidak hanya harus mempersiapkan diri untuk KTT ASEAN di Malaysia, tetapi juga akan menjadi tuan rumah bagi Donald Trump di Tokyo. Pandangan nasionalistiknya, terutama seruannya untuk mengubah konstitusi pasifis Jepang dan dukungannya terhadap peningkatan anggaran militer, berpotensi memicu ketegangan di kawasan. Selain itu, kunjungannya di masa lalu ke kuil kontroversial Yasakuni, tempat di mana para penjahat perang Jepang dari Perang Dunia Kedua dihormati, semakin memperumit citranya di mata beberapa negara tetangga.
Meskipun kesuksesannya di panggung internasional menjadi sorotan, tantangan terbesar Tokaii justru menantinya di dalam negeri. Ia mengambil alih kendali saat Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa sedang terperosok dalam krisis besar. Citra partai telah tercoreng oleh serangkaian kasus korupsi dan popularitas yang terus merosot. Kondisi ini begitu parah hingga Jepang telah mengganti tiga perdana menteri sejak tahun 2020, sebuah indikasi nyata dari ketidakstabilan politik yang akut.
Oleh karena itu, prioritas utama Tokaii adalah tugas monumental: mendapatkan kembali kepercayaan publik dan memulihkan stabilitas politik. Langkah-langkah yang akan ia ambil untuk mencapai tujuan ini tidak hanya akan menentukan nasibnya, tetapi juga berpotensi membentuk kembali masa depan Jepang. Bagaimana seorang “wanita besi” dari luar lingkaran politik tradisional akan menghadapi badai ini akan menjadi kisah yang paling dinantikan.