Rabu, Oktober 22, 2025

Indonesia dan BRICS: Peluang atau Ancaman Keamanan Nasional?

Septia Dwi cahyani
Septia Dwi cahyani
Mahasiswi Hubungan Internasional UIN Jakarta yang tertarik pada isu diplomasi global dan keamanan internasional.
- Advertisement -

Pada KTT BRICS 2025 di Kazan, Rusia, Indonesia kembali menjadi sorotan setelah muncul sinyal kuat bahwa Jakarta sedang meninjau ulang kemungkinan bergabung secara penuh dengan blok ekonomi yang kini beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Iran, dan Ethiopia. Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa kajian mendalam masih dilakukan, terutama terkait implikasi ekonomi dan politik luar negeri. Namun, di tengah euforia peluang ekonomi, muncul kekhawatiran: apakah langkah ini justru bisa mengancam keamanan nasional Indonesia?

BRICS dan Daya Tarik Geopolitik Baru

BRICS kini bukan sekadar forum ekonomi alternatif. Sejak 2023, kelompok ini membentuk New Development Bank (NDB) yang menyaingi lembaga keuangan Barat seperti IMF dan Bank Dunia. Pada 2025, NDB mulai membuka peluang pendanaan proyek infrastruktur di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, senilai lebih dari USD 10 miliar (Reuters, Januari 2025). Langkah ini membuat BRICS tampak seperti wadah strategis bagi negara berkembang yang ingin memperkuat kedaulatan ekonomi dari dominasi dolar AS.

Bagi Indonesia, keanggotaan BRICS dapat membuka peluang besar: pembiayaan proyek hijau, diversifikasi mitra dagang, serta memperluas pasar ekspor. Namun, posisi ini juga menempatkan Indonesia dalam dinamika geopolitik antara blok Barat dan Timur yang semakin menajam pasca-perang Rusia-Ukraina dan meningkatnya ketegangan AS-Tiongkok.

Risiko Keamanan Nasional dan Diplomasi Bebas-Aktif

Secara historis, Indonesia berpegang pada prinsip politik luar negeri bebas dan aktif. Artinya, tidak berpihak pada kekuatan besar mana pun. Namun, bergabung dengan BRICS berpotensi menimbulkan kesan keberpihakan terhadap poros non-Barat. Hal ini dapat berdampak pada hubungan strategis Indonesia dengan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan mitra G7 lainnya, terutama dalam isu keamanan siber, pertahanan, dan perdagangan.

Lembaga kajian CSIS (2025) mencatat bahwa Indonesia menjadi target utama cyber espionage dari kelompok peretas yang terafiliasi dengan beberapa negara BRICS, terutama menjelang perundingan investasi digital ASEAN-Tiongkok. Keterlibatan lebih dalam di BRICS dapat memperluas potensi ancaman keamanan non-tradisional ini jika koordinasi intelijen dan keamanan digital tidak diperkuat.

Selain itu, ketergantungan ekonomi terhadap pendanaan NDB atau pasar BRICS bisa menimbulkan tekanan politik terselubung dalam kebijakan luar negeri Indonesia, misalnya dalam isu HAM atau dukungan terhadap kebijakan luar negeri Rusia dan Tiongkok di forum internasional. Ini berpotensi menggerus otonomi diplomatik Indonesia yang selama ini menjadi fondasi reputasi politik luar negeri bebas aktif.

Menjaga Keseimbangan Strategis

Di sisi lain, bergabung dengan BRICS juga dapat menjadi momentum strategis untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai middle power yang menjembatani kepentingan Utara dan Selatan. Selama Indonesia mampu memainkan peran sebagai penyeimbang (balancer) antara kekuatan besar, langkah ini bisa memperkuat peran global tanpa harus mengorbankan kedaulatan.

Namun, tantangannya adalah bagaimana pemerintah menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keamanan nasional. Indonesia perlu memastikan transparansi dalam setiap kerja sama dengan BRICS, memperkuat sistem keamanan siber, serta menegaskan kembali prinsip non-blok dalam diplomasi global. Tanpa langkah-langkah ini, keterlibatan di BRICS berisiko menjadi “jebakan geopolitik” yang sulit dikendalikan.

Bergabung dengan BRICS bukan sekadar keputusan ekonomi, tetapi pilihan geopolitik yang akan memengaruhi arah keamanan nasional Indonesia. Keputusan ini harus diambil dengan kalkulasi matang, bukan hanya berdasarkan potensi investasi, tetapi juga analisis terhadap stabilitas regional, keamanan siber, dan keseimbangan diplomasi global. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan dunia, namun langkahnya harus hati-hati agar tidak berubah menjadi taruhan bagi keamanan nasional.

Septia Dwi cahyani
Septia Dwi cahyani
Mahasiswi Hubungan Internasional UIN Jakarta yang tertarik pada isu diplomasi global dan keamanan internasional.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.