Dalam diskursus ibadah keagamaan umat Islam, haji menempati posisi yang sentralsebagai rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim yang memenuhi syarat istitha’ah, yakni kemampuan secara fisik dan finansial (Huda & Haeba, 2021; Sa’diyah, 2025).
Di Indonesia, yang merupakan negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia, animo masyarakat untuk menunaikan ibadah haji sangat tinggi dan terus meningkat dari tahun ke tahun (Nita, 2025). Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa keterbatasan kuota dan tingginya biaya pelaksanaan ibadah haji menjadi hambatan struktural yang tidak dapat diabaikan (Daulay, 2017). Situasi ini menimbulkan kebutuhan akan sistem pembiayaan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan adil sebagai solusi untuk memperluas akses masyarakat terhadap pelaksanaan ibadah haji (Mubarak & Fuhaidah, 2018).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan jumlah calon jemaah haji dari tahun ke tahun menimbulkan tantangan tersendiri bagisistem haji nasional (Ropiah, 2025). Data Kementerian Agama menunjukkan bahwa masa tunggu keberangkatan haji di sejumlah provinsi sangat panjang, bahkan mencapai puluhan tahun. Misalnya, di Provinsi Aceh, calon jemaah haji harus menunggu hingga sekitar 34 tahun sebelum bisa berangkat. Provinsi Sumatera Barat memiliki daftar tunggu sekitar 24 tahun, sementara di Sumatera Utara masa tunggunya mencapai 20 tahun. Provinsi lain seperti Jawa Barat memiliki daftar tunggu sekitar 15 tahun, Kalimantan Timur sekitar 12 tahun, dan Sulawesi Selatan sekitar 10 tahun. (Kemenag, 2025).
Sementara itu, di sisi lain, biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) cenderung naik setiap tahunnya seiring dengan inflasi dan dinamika ekonomi global (Kemenag RI, 2023). Kenaikan biaya ini tidak jarang menghambat niat umat Islam yang ingin menunaikan ibadah haji namun memiliki keterbatasan finansial, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Sementara pemerintah telah mengembangkan skema tabungan haji melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), pendekatan ini masih bersifat individualistis dan tidak sepenuhnya menjawab tantangan pemerataan akses (Witjaksono, 2020).
Artikel ini bertujuan untuk mengajukan konsep baru mengenai asuransi haji yang mengadopsi prinsip gotong royong dan iuran sejak lahir. Konsep ini terinspirasi dari sistem jaminan sosial yang berbasis solidaritas, di mana biaya dibagi secara kolektif untuk meringankan beban individu. Melalui pendekatan ini, masyarakat tidak hanya menabung untuk kepentingan pribadi, tetapi juga berkontribusi terhadap kebaikan bersama umat Muslim dalam mencapai tujuan spiritualnya (Putra & Saputra, 2023).
Prinsip gotong royong dalam sistem asuransi haji dapat menjadi kekuatan sosial yang khas Indonesia. Konsep ini sejalan dengan nilai-nilai Islam tentang tolong-menolong dalam kebaikan (ta‘āwun ‘ala al-birr wa al-taqwā) sebagaimana tertuang dalam QS. AlMāidah ayat 2. Dengan pendekatan ini, umat Islam di Indonesia dapat membentuk suatu komunitas finansial yang saling menopang dalam mencapai cita-cita berhaji, sekaligus memperkuat semangat persaudaraan dan kepedulian sosial (Indriana & Halim, 2020).
Konsep iuran sejak lahir juga memberikan pendekatan jangka panjang yang dapat meningkatkan daya jangkau dan keberlanjutan program. Dengan kontribusi yang dimulai sejak dini, seseorang tidak perlu menanggung beban finansial yang besar di usia dewasa. Skema ini juga memungkinkan adanya pengelolaan dana yang lebih efektif dan efisien jika diadministrasikan secara profesional oleh lembaga yang terpercaya dan transparan (Effendi, 2016).
Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perencanaan keuangan syariah, asuransi haji berpotensi menjadi inovasi strategis yang memperluas akses umat terhadap ibadah haji. Dalam jangka panjang, sistem ini juga dapat membantu pemerintah mengelola daftar tunggu dan biaya penyelenggaraan ibadah haji secara lebih terkendali dan berkeadilan.
Dengan demikian, penelitian ini ingin menjawab tantangan bagaimana membangun sistem asuransi haji yang inklusif, berbasis nilai Islam, dan berkelanjutan. Lebih jauh lagi, artikel ini juga ingin mendorong diskusi akademik dan kebijakan mengenai pentingnya pendekatan kolektif dan berbasis gotong royong dalam mempersiapkan perjalanan spiritual yang sangat dimuliakan oleh umat Islam Indonesia. Dalam penelitian ini, konsep gotong royong memang diwakili melalui penggunaan istilah “pendekatan kolektif.”
Lebih jelasnya, konsep gotong royong dalam artikel ini diposisikan sebagai prinsip dasar yang mendasari sistem pembiayaan secara kolektif, di mana setiap peserta saling berkontribusi untuk saling meringankan beban biaya ibadah haji secara bersama-sama. Dengan kata lain, pendekatan kolektif yang dimaksud dalam artikel ini secara esensial merupakan manifestasi dari prinsip gotong royong itu sendiri.
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan konseptual (conceptual approach), yang bertujuan untuk merumuskan secara sistematiside tentang asuransi hajisejak lahir dalam bingkai prinsip gotong royong dan nilai-nilai keuangan syariah. Pendekatan ini digunakan karena gagasan yang ditawarkan masih tergolong baru dan memerlukan eksplorasi teoritis dan normatif yang mendalam.
Studi ini tidak hanya mengandalkan data empirik lapangan, tetapi lebih menekankan pada penelaahan literatur, regulasi, fatwa, dan dokumen kebijakan terkait ibadah haji, sistem asuransi syariah, dan ekonomi Islam secara umum (Miles & Huberman, 1994). Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) dengan menelaah berbagaisumber primer dan sekunder. Sumber primer mencakup peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, serta fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) terkait takaful. Sumber sekunder mencakup artikel jurnal ilmiah, buku, laporan kebijakan, dan hasil studi sebelumnya yang membahas sistem keuangan syariah, jaminan sosial umat, dan inovasi dalam pembiayaan ibadah haji.
Dalam kerangka teoritik, penelitian ini memadukan teori solidaritas sosial dari perspektif sosiologi agama dan teori keuangan syariah, khususnya konsep takaful (asuransi Islam). Takaful berbasis pada prinsip ta’awun (tolong-menolong) dan tabarru’ (hibah sukarela) yang mendasari hubungan antar peserta untuk saling membantu saat terjadi risiko (Noor & Zakaria, 2010; Agusti, 2017). Prinsip ini menjadi fondasi dalam merancang model asuransi haji yang memungkinkan partisipasi seluruh umat Muslim sejak lahir, dengan iuran kecil namun kolektif, guna menjamin keberangkatan haji secara bertahap dan berkeadilan.
Selain itu, konsep gotong royong yang berakar dari budaya lokal Indonesia dijadikan sebagai pendekatan sosial dalam perumusan model ini. Gotong royong dipahami bukan sekadar kerja sama sosial biasa, tetapi juga sebagai sistem nilai yang merekatkan masyarakat dalam semangat kebersamaan, keadilan, dan tanggung jawab kolektif. Dalam konteks ini, gotong royong diposisikan sebagai nilai transformatif yang mampu bersinergi dengan prinsip keuangan Islam untuk menciptakan sistem pembiayaan ibadah yang inklusif dan berkelanjutan (Geertz, 1960; Latif, 2017).
Untuk menganalisis kelayakan konsep ini, penelitian ini juga menggunakan policy analysis berbasis pendekatan normatif-institusional. Ini berarti bahwa konsep yang ditawarkan akan diuji berdasarkan kesesuaiannya dengan norma hukum, kapasitas kelembagaan, serta konteks sosial-ekonomi masyarakat Indonesia. Fokus analisis meliputi potensi dukungan kelembagaan (Kemenag, OJK, BPKH), kesiapan regulasi, dan kemungkinan pembentukan otoritas khusus yang mengelola program asuransi haji ini. Evaluasi juga mempertimbangkan keberlanjutan dana, transparansi pengelolaan, dan kemungkinan resistensi sosial atau politik. Metodologi yang dipakai ini memungkinkan peneliti untuk menyusun desain konseptual dan normatif dari program asuransi haji sejak lahir, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syariah, dinamika kebijakan publik, dan kondisisosial masyarakat Muslim Indonesia.
Harapannya, hasil penelitian ini tidak hanya memberikan konstruksi teoritik, tetapi juga menawarkan model implementasi yang bisa dijadikan dasar bagi uji coba kebijakan di masa depan.
Landasan Hukum dan Peraturan Terkait
Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat dan telah diatur secara komprehensif dalam berbagai regulasi nasional. Salah satu landasan utama adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jemaah haji agar ibadahnya dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Di dalam UU itu, disebutkan pula bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk mengelola pelayanan ibadah haji secara profesional, transparan, dan akuntabel, termasuk aspek keuangan dan pembiayaan yang berhubungan dengan keberangkatan jemaah (UU No. 13/2008, Pasal 3). Ketentuan ini membuka ruang bagi inovasi pembiayaan, seperti asuransi haji, yang dapat membantu calon jemaah dalam menyiapkan dana ibadah sejak dini. Selanjutnya, regulasi pelaksanaan dari UU tersebut dipertegas melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. PP ini mengatur berbagai mekanisme teknis termasuk sistem pendaftaran, persiapan dokumen, pelaksanaan bimbingan manasik, serta pelayanan selama pelaksanaan haji.
Di dalamnya juga diatur bahwa penyelenggaraan ibadah haji harus menjamin keamanan, kenyamanan, dan keselamatan jemaah. Hal ini memberikan pijakan yuridis bahwa inovasi seperti asuransi haji yang berbasis pada prinsip gotong royong dapat dikembangkan sebagai bagian dari upaya melindungi dan memfasilitasi calon jemaah secara lebih menyeluruh (PP No. 79/2012, Pasal 4– 6).
Di luar regulasi tentang haji, kerangka hukum mengenai dunia perasuransian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. UU ini memberikan pengakuan formal terhadap penyelenggaraan asuransi berbasis syariah, termasuk asuransi jiwa, asuransi umum, dan asuransi sosial yang berbasis prinsip tolong-menolong (ta’awun). UU ini secara eksplisit mengakui keberadaan usaha perasuransian syariah, yang didefinisikan sebagai usaha yang diselenggarakan berdasarkan prinsip Islam, dengan menggunakan akad tabarru’ dan wakalah bil ujrah.
Dalam konteks ini, konsep asuransi haji yang berbasis gotong royong dapat dikembangkan dalam kerangka asuransi syariah, sesuai dengan prinsip keadilan dan partisipasi kolektif yang ditetapkan dalam regulasi tersebut (UU No. 40/2014, Pasal 1 dan 2). Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah atau takaful sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai keislaman (Swartz & Coetzer, 2010), dan dalam konteks di Indonesia, ia korelatif dengan budaya gotong royong (Falach & Adhkar, 2020).
Dalam takaful, setiap peserta menyumbangkan dana ke dalam sebuah kumpulan (pooling fund) yang digunakan untuk membantu peserta lain yang mengalami risiko tertentu (Noor & Zakaria, 2010; Hassan, 2020). Konsep ini bukanlah transaksi jual beli risiko seperti dalam asuransi konvensional, melainkan bentuk solidaritas sosial yang sesuai dengan nilai ukhuwah Islamiyah (Alhabshi & Razak, 2011). Prinsip ini juga mempertegas pentingnya kolaborasi dan tanggung jawab bersama dalam membantu sesama Muslim mempersiapkan ibadah haji secara berkeadilan dan saling mendukung.
Secara fikih, takaful telah mendapat legitimasi dari berbagai lembaga fatwa internasional seperti Majma’ al-Fiqh al-Islami dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Menurut DSN-MUI, asuransi syariah diperbolehkan karena berdasarkan akad tabarru’ (hibah) yang tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maisir (judi), dan riba (Bakar, 2009; Ali, 2016).
DSN-MUI juga telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang mendukung pelaksanaan asuransi syariah, termasuk Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Dalam konteks ini, maka pengembangan asuransi haji dengan iuran sejak lahir dapat diformulasikan dalam kerangka takaful keluarga jangka panjang yang halal dan sesuai syariat.
Landasan budaya gotong royong dalam masyarakat Indonesia juga memperkuat legitimasi sosial dari model asuransi haji ini. Gotong royong merupakan nilai kearifan lokal yang mengedepankan solidaritas, kerjasama, dan kepedulian terhadap sesama. Dalam Islam sendiri, nilai ini sejalan dengan konsep ta‘āwun (tolong-menolong dalam kebaikan), sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Māidah ayat 2. Oleh karena itu, model asuransi haji berbasisiuran kolektifsejak lahir tidak hanya memenuhi ketentuan hukum positif dan syariah, tetapi juga berakar kuat dalam budaya bangsa yang mengutamakan keadilan sosial dan persaudaraan umat.
Penerapan model asuransi haji juga harus mempertimbangkan aspek pengelolaan dana secara profesional dan transparan. Dalam kerangka hukum yang berlaku, lembaga pengelola harustunduk pada pengawasan OtoritasJasaKeuangan (OJK), serta memenuhi prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas. Model ini juga perlu melibatkan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagai pihak yang sudah memiliki otoritas dalam pengelolaan dana haji di Indonesia. Dengan demikian, lembaga keuangan syariah, regulator, dan lembaga haji dapat berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem yang sehat, aman, dan berkelanjutan.
Integrasi antara hukum positif, hukum syariah, dan nilai-nilai budaya lokal membuka ruang inovasi besar dalam sistem pembiayaan ibadah haji. Asuransi haji berbasis gotong royong yang dimulai sejak lahir bukan sekadar instrumen keuangan, tetapi juga sarana pendidikan finansial, pembentukan solidaritas umat, dan penguatan ketahanan spiritual masyarakat Muslim.
Konsep Asuransi Haji Sejak Lahir dengan Prinsip Gotong Royong
Pada dasarnya, gagasan tentang asuransi haji sejak lahir dengan prinsip gotong royong yang ditawarkan dalam penelitian ini merupakan inovasi sosialkeagamaan yang ditujukan untuk memperluas akses masyarakat Muslim Indonesia terhadap ibadah haji. Konsep ini mengusung skema partisipatif di mana setiap individu Muslim, sejak lahir, mulai berkontribusi secara bertahap dalam bentuk iuran kecil ke dalam sebuah dana kolektif yang dikelola secara syariah.
Dana tersebut akan digunakan secara produktif dan berkelanjutan untuk menjamin keberangkatan haji individu yang bersangkutan setelah memenuhi usia dan syarat yang ditentukan oleh pemerintah dan syariat. Dalam sistem ini, asuransi tidak dipahami sebagai perlindungan terhadap risiko semata (Liedtke, 2007), melainkan sebagaisarana persiapan spiritual dan finansial yang dilakukan secara bertahap dan terencana, berbasis solidaritas antarumat (Billah, 1997).
Implementasi iuran sejak lahir dapat dilakukan dengan melibatkan sejumlah institusi, mulai dari keluarga, pemerintah daerah, lembaga pendidikan Islam, hingga lembaga keuangan syariah. Iuran dapat dimulai dari nominal yang sangat kecil namun rutin, misalnya Rp10.000–Rp20.000 per bulan, dan disesuaikan secara bertahap dengan pertumbuhan usia dan kemampuan ekonomi keluarga. Dana ini kemudian dikelola dalam portofolio investasi halal oleh lembaga pengelola keuangan syariah yang diawasi OJK dan DSN-MUI, dengan prinsip bagi hasil (mudharabah) atau upah jasa (wakalah bil ujrah).
Dengan pendekatan jangka panjang, akumulasi dana peserta akan cukup untuk menanggung biaya haji ketika mencapai usia dewasa, terutama bila dikombinasikan dengan hasil pengelolaan investasi yang optimal dan transparan. Selain manfaatfinansial yang bersifat langsung, konsep ini juga menciptakan ruang bagi terbangunnya budaya keuangan syariah sejak dini. Anak-anak yang telah memiliki akun iuran haji sejak kecil secara psikologis akan tumbuh dengan kesadaran tentang pentingnya perencanaan ibadah dan kontribusi sosial. Pendidikan ini dapat diperkuat melalui kurikulum sekolah dan kegiatan-kegiatan komunitas, sehingga keberadaan asuransi haji sejak lahir berfungsi bukan hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai medium pembentukan karakter religius dan sosial.
Selain itu, keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam proses ini turut memperkuat nilai-nilai gotong royong dan kepedulian antaranggota komunitas. Prinsip gotong royong dalam model ini berarti bahwa dana kolektif tidak hanya bersifat individualistik, melainkan sebagian juga disalurkan untuk membantu peserta lain yang lebih dahulu berangkat haji karena prioritas umur, kesehatan, atau kondisi sosial tertentu. Dengan demikian, tercipta sistem distribusi manfaat yang adil dan berimbang. Solidaritas ini juga dapat menjawab problem ketimpangan biaya haji yang selama ini cenderung hanya terjangkau oleh kelompok ekonomi menengah ke atas. Model ini secara sosial mampu menjembatani kesenjangan dan memperluas inklusi ibadah, sekaligus menghindarkan masyarakat dari praktik utang atau pembiayaan yang tidak sesuai prinsip syariah.
Meskipun belum banyak negara yang menerapkan asuransi haji sejak lahir secara eksplisit, beberapa contoh program yang serupa bisa ditemukan di negara- negara dengan populasi Muslimbesar. DiMalaysia, konsepTabung Haji telah lama beroperasi sebagai lembaga simpanan dan investasi syariah untuk membantu umat Islam menunaikan ibadah haji (Baig, 2016; Muneeza, et al., 2018).
Meski belum dimulai sejak lahir, program Tabung Haji memungkinkan orang tua membuka rekening haji bagi anak-anak mereka sejak dini, dengan nilaisetoran yang fleksibel dan dikelola secara produktif. Tabung HajiMalaysia (TH), resmi didirikan pada tahun 1963melalui Piagam Khusus, merupakan lembaga simpanan dan investasi syariah tertua dan terkemuka di dunia untuk pengelolaan dana haji Mekah (Tim Penyusun JPH, 1993; Muneeza et. al., 2018).
Sejak awal, TH didesain sebagai instrumen kolektif yang memungkinkan umat Islam Malaysia menabung secara efisien dengan skema iuran berkala. Setoran nasabah dikumpulkan dalam satu dana besar, lalu dikelola melalui akad Wadi’ah Yad Dhamanah (titipan yang dijamin) dan Wakalah (titipan pengelolaan), sehingga kepemilikan dana tetap pada deposan namun pengelolaan dan investasinya ditangani oleh manajer investasi profesional yang ditunjuk oleh TH.
Dalam praktiknya, TH mengalokasikan portofolio investasinya secara berimbang: 53 % pada saham, 27 % pada obligasi, 15 % pada real estate, dan 5 % pada investasi lain seperti perkebunan, infrastruktur, dan energi,semuanya dikelola sesuai prinsip syariah (MABRUR, 2023). Diversifikasi ini tidak hanya menyeimbangkan risiko dan potensi imbal hasil kompetitif, tetapi juga mendukung pembangunan nasional—mulai dari pembiayaan Menara Petronas, Sirkuit Sepang, hingga jalan tol dan bandara. Pendekatan cross-subsidy internal TH, di mana sebagian hasil investasi digunakan untuk membantu keberangkatan peserta yang lebih dahulu memenuhi syarat, memastikan pemerataan beban biaya dan memperkuat semangat tolong-menolong (ta’awun) di kalangan Muslim Malaysia.
Dukungan kebijakan pemerintah Malaysia—termasuk insentif fiskal, regulasi yang mendukung, serta audit publik dan pelaporan tahunan terbuka— memberikan jaminan keamanan dan transparansi pengelolaan dana TH. Dengan total dana kelolaan lebih dari RM 62 miliar dan rekam jejak hampir enam dekade, TH mampu menegosiasikan tarif haji, akomodasi, dan logistik secara massal, sehingga biaya per jemaah dapat ditekan jauh di bawah harga komersial.
Kombinasi struktur investasi syariah yang kuat, diversifikasi portofolio, cross-subsidy, dan dukungan pemerintah inilah yang menjadikan biaya haji Malaysia relatif murah dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat Muslim. Selain Malaysia, beberapa negara dengan populasi Muslim yang signifikan juga telah mengembangkan model serupa, meskipun tidak selalu dimulai “sejak lahir” seperti Tabung Haji. Turki, misalnya, menjalankan program “Hajj Savings Account” yang dikelola melalui bank-bank milik negara yang bekerja sama dengan Diyanet (Kalender & Tari, 2022).
Umat Muslim mendaftar dan menyetorkan dana secara berkala ke rekening khusus, dengan jangka waktu penyetoran menyesuaikan usia keberangkatan yang diinginkan. Meskipun tidak ada iuran sejak lahir, model ini menekankan perencanaan jangka panjang dan tarif biaya haji yang dipatok berdasarkan akumulasi tabungan dan subsidi negara. Sementara itu, di Brunei Darussalam, pemerintah secara langsung memberikan subsidi dan pengelolaan ibadah haji kepada warga negaranya (Wahyudi & Madjid, 2020), yang pada intinya juga mengandung semangat gotong royong melalui skema negara sebagai pelindung utama warganya dalam menjalankan rukun Islam kelima. Pengembangan konsep asuransi haji di Indonesia tentu harus mempertimbangkan kekhususan demografis dan budaya masyarakat Indonesia.
Skema gotong royong memiliki nilai lokal yang kuat dan dapat diadaptasi dalam bentuk koperasi syariah, BMT, atau lembaga amil zakat dan wakaf yang telah terintegrasi dengan sistem keuangan syariah. Dengan dukungan regulasi dan partisipasi publik, sistem ini bisa menjadi model nasional yang inklusif dan berkelanjutan. Bahkan, dalam jangka panjang, ia bisa dimasukkan ke dalam skema jaminan sosial nasional berbasis agama, yang mendukung pelaksanaan ibadah sebagai bagian dari hak warga negara.
Peran Lembaga dan Kementerian Terkait Untuk merealisasikan hal tersebut, Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) merupakan lembaga utama yang memiliki kewenangan penuh dalam penyelenggaraan ibadah haji, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Kemenag bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan keberangkatan dan pelayanan jemaah haji Indonesia.
Dalam konteks gagasan asuransi haji sejak lahir, Kemenag memegang posisi strategis untuk mengintegrasikan model ini ke dalam kebijakan nasional yang inklusif. Selain itu, Kemenag juga dapat memainkan peran penghubung antara lembaga keuangan syariah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya guna memastikan bahwa penyelenggaraan asuransi haji tetap berlandaskan prinsip-prinsip keagamaan dan sesuai dengan ketentuan syariatIslam (Undang-Undang No. 13 Tahun 2008). Di sisi lain, keterlibatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sangat krusial dalam pengawasan aspek teknis dan kelembagaan dari implementasi asuransi haji. OJK, sesuai dengan mandat Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 dan UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, bertugas mengatur dan mengawasi industri jasa keuangan, termasuk lembaga keuangan syariah.
Dalam konteks ini, OJK harus memastikan bahwa pengelolaan dana iuran haji dilakukan secara transparan, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan syariah. OJK juga berwenang memberikan izin operasional bagi perusahaan asuransi syariah yang ingin mengembangkan produk asuransi haji, serta memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen dan memastikan keberlanjutan lembaga penyelenggara. Kedua lembaga tersebut, Kemenag dan OJK, memiliki titik temu dalam hal perlindungan umat dan stabilitas sistem keuangan.
Namun, pelaksanaan asuransi haji sejak lahir membutuhkan koordinasi yang jauh lebih intensif antara keduanya, terutama dalam hal regulasi lintas sektor. Kemenag dapat menentukan arah kebijakan ibadah dan nilai-nilai keagamaan, sementara OJK menyediakan standar teknis dan prosedur pengelolaan dana yang efisien. Dalam skema gotong royong, dana peserta harus dikelola dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai keadilan distributif dan kehati-hatian (prudential principle) dalaminvestasi.
Oleh karena itu, peran kedua lembaga ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga normatif dan etis. Meskipun Kemenag dan OJK memiliki kapasitas dasar untuk menopang program ini, muncul kebutuhan untuk membentuk satuan kerja atau bahkan lembaga baru yang secara khusus menangani pengelolaan asuransi haji berbasis iuran jangka panjang. Lembaga ini dapat berfungsisebagai coordinating body yang menjembatani kepentingan pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat. Ia juga bisa mengambil bentuk badan hukum publik yang terpisah dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), namun memiliki otoritas khusus dalam mengelola iuran haji jangka panjang yang dikumpulkan sejak bayi atau anakanak. Lembaga semacam ini akan berperan penting dalam menjamin keberlangsungan program, mengelola risiko, serta menjaga akuntabilitas publik terhadap dana umat.
Gagasan pembentukan lembaga baru juga sejalan dengan praktik tata kelola yang baik (good governance) dalam pelayanan publik (Munira & Astuti, 2019). Tanpa adanya institusi yang fokus pada asuransi haji, terdapat risiko inkonsistensi kebijakan, tumpang tindih wewenang, serta lemahnya perlindungan konsumen. Lembaga tersebut dapat pula berfungsi sebagai pusat edukasi publik mengenai literasi keuangan syariah, pentingnya perencanaan ibadah sejak dini,serta manfaat dari partisipasi dalam sistem gotong royong.
Dengan demikian, ia tidak hanya menjadi pengelola dana, tetapi juga agen perubahan sosial dan keagamaan yang mempromosikan keberkahan dalam jangka panjang. Lebih lanjut, lembaga seperti Kementerian Sosial, Kementerian Keuangan, dan Bappenas juga dapat memperkuat program ini dari sisi kesejahteraan dan pembangunan manusia.
Kementerian Sosial, misalnya, dapat memberikan bantuan awal bagi keluarga prasejahtera agar tetap dapat berpartisipasi dalam program ini. Sementara Kementerian Keuangan dapat menyiapkan insentif pajak atau skema subsidi bagi lembaga pengelola asuransi haji. Dalam kerangka ini, program asuransi haji sejak lahir tidak hanya berdiri sebagai produk keuangan atau layanan ibadah, melainkan sebagai bagian dari kebijakan publik yang lebih luas dalam membangun peradaban Islam yang berkeadilan dan progresif. Dengan berbagai peran dan potensi tersebut, kolaborasi antar lembaga menjadi kunci keberhasilan implementasi gagasan ini.
Setiap lembaga memiliki mandat dan sumber daya yang berbeda, namun ketika dikoordinasikan secara tepat, dapat melahirkan inovasi kebijakan yang mampu menjawab tantangan sosialkeagamaan kontemporer. Penataan sistem asuransi haji sejak lahir dengan prinsip gotong royong harus berjalan beriringan dengan penguatan kelembagaan dan reformasi birokrasi agar sistem yang dibangun tidak hanya bersifat seremonial, tetapi benar-benar berdampak terhadap perluasan akses dan keadilan dalam pelaksanaan rukun Islam kelima bagi seluruh umat Muslim di Indonesia (Mulya & Hasan, 2022).
Manfaat Implementasi Program Asuransi Haji Program asuransi haji sejak lahir dengan prinsip gotong royong akan memberikan manfaat besar dalam membangun kemandirian finansial umat Muslim Indonesia jika direncanakan dengan baik. Dengan sistem iuran yang dimulai sejak dini, misalnya, beban biaya haji tidak lagi menjadi tanggung jawab penuh individu saat memasuki usia dewasa atau menjelang keberangkatan, melainkan menjadi hasil akumulasi kolektif yang bertumbuh bersama waktu. Kemandirian ini penting dalam mengurangi ketergantungan terhadap subsidi pemerintah atau pembiayaan dari pihak ketiga yang belum tentu dapat diakses semua kalangan (Ropiah, 2024).
Selain itu, program ini juga mengedukasi masyarakat untuk merencanakan ibadah dan menginternalisasi nilai-nilai perencanaan keuangan sejak usia dini (Anita, Aminah & Selviasari, 2024). Sebagai contoh, implementasi program asuransi haji sejak lahir dapat menggunakan skema iuran mikro dan penyesuaian tahunan ala BPJS Kesehatan. Setiap bayi baru lahir otomatisterdaftar dalamprogram, dan orang tuamenyetorkan iuran awal sebesar Rp 10.000 per bulan—nominal yang sebanding dengan iuran kelas 3 BPJS Kesehatan pada masa awal peluncuran.
Seiring waktu, iuran ini disesuaikan setiap tahun, misalnya bertambah sekitar Rp 1.000 per tahun, mengikuti mekanisme penyesuaian inflasi dan kenaikan biaya haji, persis seperti BPJS yang menyesuaikan tarifnya agar dana tetap mencukupi dan layanan dapat berjalan lancar. Untuk memastikan kesinambungan dana, program ini juga memanfaatkan dana talangan pemerintah sebagaimana APBN menalangi defisit BPJS Kesehatan.
Pemerintah dapat memberikan subsidi sekitar 20%–30% dari total Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) per peserta berdasarkan kriteria ekonomi, sehingga calon jemaah tidak terhalang oleh kekurangan akumulasi iuran saat tiba waktunya berangkat. Mekanisme ini meniru model BPJS di mana pemerintah menanggung sebagian risiko defisit dana agar manfaat layanan tetap terjamin bagi seluruh peserta. Manajemen investasi dana asuransi hajisejak lahir pun dapat diatur alaBPJS, dengan diversifikasi portofolio yang optimal.
Dana iuran peserta dikelola oleh lembaga keuangan syariah di bawah pengawasan OJK, dengan alokasi 50 % ekuitas syariah, 30 % sukuk, 15 % real estate produktif, dan 5 % instrumen cair. Manajer investasi dipilih melalui tender ketat dan dievaluasi kinerjanya setiap tahun,serupa audit independen pada dana jaminan sosial, sehingga imbal hasil dapat tetap kompetitif dan stabil untuk menghadapi fluktuasi ekonomi. Memecah beban biaya ibadah haji ke dalam iuran mikro yang berjalan sangat panjang—misalnya sejak usia lahir hingga 40 tahun—menjadi kunci menekan nilai nominal kontribusi per bulan.
Dengan total estimasi biaya haji Rp 50 juta, skema konvensional mengharuskan peserta dewasa mengumpulkan seluruh dana dalam kurun waktu singkat, misalnya 5–10 tahun, sehingga iuran bulanan bisa mencapai Rp 400.000–Rp 800.000. Sebaliknya, jika iuran dimulai sejak lahir dan berjalan selama 40 tahun (480 bulan), iuran rata-rata hanya sekitar Rp 100.000 per bulan. Angka ini jauh lebih terjangkau bagi keluarga berpenghasilan rendah dan meniadakan beban tabungan besar dalam sekali jalan.
Durasi iuran panjang juga memanfaatkan efek compounding hasil investasi syariah. Dana iuran kecil yang rutin diinvestasikan pada instrumen seperti sukuk, ekuitas syariah, dan real estate wakaf akan tumbuh secara eksponensial seiring waktu. Misalnya, dengan asumsi imbal hasil 5 % per tahun, akumulasi iuran Rp 100.000 per bulan selama 40 tahun bisa mencapai lebih dari Rp 150 juta, jauh melebihi biaya pokok yang dibutuhkan. Proses ini mengurangi risiko kekurangan dana saat kepesertaan memasuki usia keberangkatan, sekaligus memaksimalkan potensi hasil investasi.
Artinya, dengan kata lain, proses mengadopsi praktik BPJS dalam penyesuaian iuran, dana talangan, dan manajemen investasi, program asuransi haji berbasis iuran sejak lahir menjadi lebih adaptif terhadap dinamika ekonomi serta kebutuhan peserta. Skema ini tidak hanya menjamin keberangkatan haji, tetapi juga membangun ekosistem keuangan syariah yang inklusif dan berkelanjutan, sekaligus menginternalisasi budaya perencanaan ibadah dan solidaritas gotong-royong di kalangan umat Muslim Indonesia.
Lebih jauh, asuransi haji berbasis gotong royong mendorong kesadaran kolektif bahwa ibadah bukan semata urusan individual, tetapi bagian dari solidaritas sosial. Dengan setiap individu menyisihkan sebagian kecil iurannya untuk membiayai calon jemaah lain yang lebih dulu memenuhi syarat atau menghadapi situasi darurat, tercipta suasana tolong-menolong (ta’awun) dan keadilan sosial yang menjiwai sistem keuangan Islam.
Dalam jangka panjang, masyarakat Muslim Indonesia dapat mencapai tingkat kemandirian finansial yang lebih tinggi dalam hal pelaksanaan rukun Islam kelima, tanpa terhambat oleh tekanan ekonomi yang kerap menunda atau bahkan membatalkan niat berhaji (Hasbi, 2008). Salah satu manfaat utama lainnya adalah terbukanya peluang pemerataan kesempatan menunaikan ibadah haji. Selama ini, pelaksanaan haji kerap diasosiasikan dengan kemampuan ekonomi kelas menengah ke atas (Nuri, 2014).
Mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera sering kali hanya bisa bermimpi tanpa tahu harus mulai dari mana. Dengan iuran sejak lahir, program ini memberikan ruang bagi siapa pun—tanpa memandang latar belakang ekonomi— untuk mempersiapkan ibadahnya sejak dini. Hal ini sangat strategis dalam membangun keadilan spiritual dan sosial di tengah masyarakat yang majemuk secara ekonomi. Pemerataan kesempatan ini juga sejalan dengan semangat UUD 1945 Pasal 29 yang menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Negara, dalam hal ini, turut hadir menjembatani hakhak warganya melalui skema perlindungan dan perencanaan jangka panjang. Asuransi haji sejak lahir dapat menjadi bentuk nyata dari implementasi prinsip “welfare state” dalam kerangka keagamaan, yaitu menjamin setiap warga negara memiliki akses terhadap sarana menjalankan ibadahnya secara layak dan bermartabat.
Dari sisi kelembagaan, manfaat besar lainnya adalah meningkatnya kualitas manajemen dana haji yang lebih transparan, akuntabel, dan terukur. Selama ini, pengelolaan dana hajisering kali menjadisorotan publik, baik dari aspek investasi, penempatan dana, maupun pertanggungjawabannya. Dengan hadirnya program asuransi haji, pengelolaan dana akan berbasis perencanaan jangka panjang dengan mekanisme iuran reguler yang lebih stabil dan terprediksi. Hal ini membuka peluang untuk memperkuat tata kelola keuangan syariah nasional dan membangun kepercayaan publik terhadap lembaga pengelola dana haji (Hasan, 2016).
Transparansi ini sangat krusial dalam menjaga legitimasi program, terutama karena dana yang dikelola adalah milik umat. Dengan sistem digitalisasi yang terintegrasi dan audit reguler oleh lembaga independen, masyarakat dapat mengakses informasi mengenai posisi dana, investasi, hingga jadwal prediktif keberangkatan haji. Sistem ini sekaligus menjadi alat kontrol sosial yang menjaga akuntabilitas lembaga dan memastikan bahwa dana umat tidak disalahgunakan untuk kepentingan di luar mandat program (Antonio, 2001).
Lebih jauh lagi, program ini juga menciptakan efek ekonomi makro yang positif. Dana yang dikumpulkan dan dikelola secara kolektifselama puluhan tahun dapat menjadi sumber pembiayaan syariah nasional yang produktif. Ia, pada satu sisi, bisa diinvestasikan ke sektor riil yang halal dan, pada sisi yang lain, berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur keagamaan. Dengan demikian, asuransi haji bukan hanya menjadi instrumen ibadah, tetapi juga penggerak ekonomi berbasis nilai-nilai Islam. Terakhir, manfaat implementasi program ini dapat dirasakan lintas generasi. Anak-anak yang diasuransikan sejak lahir akan mewarisi bukan hanya dana, tetapi juga kesadaran spiritual dan nilai tanggung jawab sosial.
Di sisi lain, orang tua dan masyarakat sekitar juga terlibat aktif dalam menciptakan ekosistem ibadah yang berbasis partisipasi dan keadilan. Program ini bukan sekadar solusi teknokratis, melainkan sebuah gerakan kultural yang memadukan iman, solidaritas, dan visi keumatan yang progresif dalam menunaikan ibadah haji secara inklusif dan bermartabat. Potensi Tantangan dan Kerugian Pelaksanaan program asuransi haji sejak lahir dengan prinsip gotong royong mulai menemui simpul birokrasi yang saling terkait.
Kementerian Agama (kini-Kementerian Haji), sebagai pengatur utama kebijakan haji, diwajibkan menyiapkan kerangka regulasi mengenai pendaftaran peserta iuran otomatis pada akta kelahiran, sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus menyiapkan standar tata kelola asuransi syariah dan prosedur perizinan. Karena kedua lembaga ini memiliki komputerisasi data dan prioritas operasional yang berbeda—Kemenag lebih menitikberatkan pada pelayanan spiritual, OJK pada kepastian finansial—maka proses harmonisasi peraturan memerlukan forum inter-institusional intensif dan harmonisasi standar teknis yang saling melengkapi. Ketika kerangka regulasi dasar belum terjalin dengan baik, proses detail seperti tata cara penyetoran iuran bulanan hingga klaim biaya haji berpotensi menimbulkan celah interpretasi.
Misalnya, pertanyaan mengenai mekanisme pendaftaran otomatis pada data kependudukan rentan terhambat oleh sistem administrasi sipil yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan basis data keagamaan. Pada saat yang sama, persyaratan modal awal bagi lembaga penyelenggara asuransi haji perlu disesuaikan dengan ketentuan modal minimum yang ditetapkan OJK—sesuatu yang mungkin memberatkan koperasisyariah kecil atau Baitul Maal wat Tamwil (BMT) di daerah. Sementara itu, kondisi makroekonomiseperti inflasi dan fluktuasi nilai tukar rupiah ikut menentukan aliran dana iuran sehingga mengubah daya beli peserta.
Dengan iuran yang disepakati sejak lahir, nilai nominal tetap—misalnyaRp 10.000 per bulan—mungkin tidak lagi mencukupi menutup seluruh biaya hajisepuluh atau dua puluh tahun kemudian. Jika hasil investasi syariah tidak mampu mengimbangi laju inflasi, akumulasi dana tiap peserta bisa menurun nilai riilnya. Hal ini akan memaksa lembaga pengelola mempertimbangkan penyesuaian iuran atau subsidi silang, yang pada gilirannya dapat membebani peserta berpendapatan rendah. Guncangan ekonomi skala besar—seperti krisis keuangan atau pandemi— juga dapat memaksa sebagian keluarga menunda atau menghentikan iuran, sehingga mengurangi likuiditas dana kolektif. Jika banyak peserta menahan iuran saat tekanan ekonomi, skema gotong royong akan kehilangan kekuatan solidaritasnya dan malah menimbulkan kekhawatiran likuiditas bagi lembaga pengelola.
Oleh sebab itu, perumusan kebijakan perlu memasukkan mekanisme cadangan dana (reserves) dan ketentuan “masa tenggang” saat krisis, agar akumulasi tetap berjalan tanpa memaksa peserta untuk menanggung beban langsung. Ketidakpastian ekonomi dari luar sektor keuangan pun menuntut lembaga pengelola menerapkan strategi diversifikasi portofolio yang matang. Investasi sektor riilsyariah—seperti proyek infrastruktur wakaf atau pembiayaan UMKM— harus dipilih berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudential measures) dan analisis risiko yang berkelanjutan. Dengan begitu, ketika satu sektor terguncang, sumber lain masih dapat menopang pertumbuhan dana. Namun, kerumitan pengelolaan investasi lintas sektor memerlukan sumber daya manusia yang terlatih dan sistem pengawasan yang terus menerus, sehingga meningkatkan tuntutan profesionalisme lembaga.
Di atas semua itu, penerimaan masyarakat terhadap model iuran sejak lahir dapat menjadi kendala tersendiri. Banyak keluarga masih menganggap skema asuransi sebagai produk komersial semata, sehingga enggan menyisihkan dana rutin untuk sesuatu yang belum mereka pahamisepenuhnya. Sosialisasi yang efektif harus melibatkan tokoh agama, pengurus pesantren, dan media keagamaan untuk menjelaskan bagaimana konsep takaful dan gotong royong bekerja, termasuk mekanisme pengembalian manfaat dan jaminan syariah yang melandasinya. Lebih jauh, kepercayaan publik sangat ditentukan oleh rekam jejak lembaga pengelola. Bila muncul isu transparansi atau dugaan penyalahgunaan dana, terutama saat audit eksternal menyoroti pengelolaan investasi, ketidakpercayaan dapat menyebar dengan cepat dan merusak fondasi solidaritas.
Oleh karena itu, sistem pelaporan terbuka, keterlibatan auditor independen, dan mekanisme sanksi yang jelas harus dibangun sejak awal. Dengan demikian, meski menghadapi birokrasi yang kompleks, fluktuasi ekonomi, dan tantangan sosialisasi, rintangan tersebut dapat diatasi secara bertahap melalui perencanaan, profesionalisme, dan komitmen kepada prinsip-prinsip syariah dan gotong royong.
Kesimpulan
Gagasan mengenai asuransi haji sejak lahir dengan prinsip gotong royong merupakan inovasi yang bersumber pada kondisi sosial-keagamaan yang tidak hanya memungkinkan pembiayaan ibadah haji menjadi lebih inklusif dan terencana, tetapi juga menawarkan pendekatan kolektif dalam menunaikan kewajiban agama.
Dalam konteks Indonesia—negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia—konsep ini dapat menjadisolusi jangka panjang untuk tantangan biaya haji yang terus meningkat, ketimpangan akses ibadah, serta kebutuhan akan sistem manajemen dana haji yang lebih akuntabel dan transparan. Dengan landasan hukum yang telah tersedia, baik dari sisi penyelenggaraan ibadah haji maupun sistem perasuransian syariah, maka integrasi keduanya menjadi sangat memungkinkan dalam kerangka regulasi dan sistem keuangan Islam yang telah mapan di Indonesia. Namun, keberhasilan konsep ini sangat bergantung pada sinergi antara berbagai aktor kelembagaan, terutama Kementerian Agama sebagai otoritas penyelenggaraan haji, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam hal pengawasan industri asuransi syariah, serta dukungan dari lembaga keuangan syariah dan masyarakat luas.
Selain itu, perlu dilakukan kajian kelembagaan untuk kemungkinan pembentukan otoritas khusus yang secara teknis dan administratif mengelola program asuransi haji ini. Otoritas tersebut harus memiliki integritas, akuntabilitas, serta kemampuan teknologi informasi untuk memastikan akurasi pengelolaan dan transparansi publik. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan OJK, untuk mulai menjajaki uji kelayakan terhadap implementasi program ini melalui pilot project, penyusunan peraturan turunan, serta penyelenggaraan forum publik lintas kementerian dan lembaga. Pemerintah daerah juga dapat dilibatkan dalampendataan calon peserta asuransi hajisejak bayi, serta membangun sinergi dengan rumah sakit, dinas sosial, dan otoritas kependudukan dalam rangka menyusun mekanisme pendaftaran otomatis sejak lahir.
Referensi
Agusti, N. (2017). Sharing of risk pada asuransi syariah (takaful): Pemahaman konsep dan mekanisme kerja. Jurnal Manajemen Dakwah, 3(2), 181-197. Alhabshi, S. O., & Razak, S. H. (2011). Takaful insurance: Concept, history and development challenges. In The Foundations of Islamic Banking. Edward Elgar Publishing. Ali, M. M. (2016). Takaful models: their evolution and future direction. ICR Journal, 7(4), 457-473. Anita, A. W., Aminah, S., & Selviasari, R. (2024). Membangun Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Tabungan Haji dalam Perencanaan Keuangan Ibadah Haji. Welfare: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(3), 519-524. Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.Jakarta: Gema Insani. Baıg, U. (2016). Hajj management in Pakistan in the light of experience of tabung haji of Malaysia. International Journal of Islamic Economics and Finance Studies, 2(2), 13-40. Bakar, M. D. (2009). Shari’ah Principles Governing Takaful Models. Takaful Islamic Insurance: Concepts and Regulatory Issues, 31-45. Billah, M. (1997). A model of life insurance in the contemporary islamic economy. Arab LQ, 12, 287. Daulay, A. N. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perkembangan Produk Tabungan Haji Perbankan Syariah Di Indonesia. Jurnal Human Falah, 4(1), 105-136. Effendi, A. (2016). Asuransi Syariah Di Indonesia (Studi Tentang Peluang Ke Depan Industri Asuransi Syariah). Wahana Akademika: Jurnal Studi Islam dan Sosial, 3(2), 71-92. Falach, G., & Adhkar, S. (2020). Peran Keluarga dalam Mewujudkan Takaful Ijtima’i (Studi Kajian Hukum Keluarga dan Ekonomi Islam). Mahakim: Journal of Islamic Family Law, 4(2), 97-119. Geertz, C. (1960). The Religion of Java. University of Chicago Press. Hasbi, A. F. (2008). 125 masalah haji. Tiga Serangkai. Hassan, H. A. (2020). Takaful models: origin, progression and future. Journal of Islamic Marketing, 11(6), 1801-1819. Htay, S. N. N., et al. (2012). “Takaful: Historical, Shari’ah and Operational Perspectives,” International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management. Huda, Q., & Haeba, I. D. (2021). Hajj, Istita’ah, and Waiting List Regulation in Indonesia. Al-‘Adalah, 18(2), 193-212. Indriana, A., & Halim, A. (2020). Politik Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia. El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, 8(1), 79-98. Kahf, M. (2006). Islamic Economics: Theory and Practice. Islamic Research and Training Institute. Kalender, Y., & Tari Kasnakoglu, B. (2022). Understanding Hajj travel: a dynamic identity perspective. Journal of Tourism and Cultural Change, 20(4), 565- 582. Kementerian Agama Republik Indonesia. “Haji dan Umrah – Haji Kemenag.” Diakses 17 Mei 2025. https://haji.kemenag.go.id/v5/?search=waiting-list. Latif, Y. (2017). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Liedtke, P.M.(2007).What’sinsurance to amodern economy?. TheGenevaPapers on Risk and Insurance-Issues and Practice, 32, 211-221. Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook. Sage Publications. Mubarak, M. A., & Fuhaidah, U. (2018). Manajemen Pengelolaan Dana Haji Republik Indonesia:(Studi Kolaborasi antar Lembaga BPKH, Kemenag dan MitraKeuangan dalamPengelolaan DanaHaji).ILTIZAM Journal of Shariah Economics Research, 2(2), 67-88. Muneeza, A., Sudeen, A., Nasution, A., & Nurmalasari, R. (2018). A comparative study of hajj fund management institutions in Malaysia, Indonesia and Maldives. International Journal of Management and Applied Research, 5(3), 120-134. Muneeza, A., Sudeen, A., Nasution, A., & Nurmalasari, R. (2018). A comparative study of hajj fund management institutions in Malaysia, Indonesia and Maldives. International Journal of Management and Applied Research, 5(3), 120-134. Munira, M., & Astuti, S. B. (2019). Indonesian hajj fund management: An overview. Asian Journal of Accounting and Finance, 1(1), 1-9. Nasution, M. (2020). “Pengelolaan Dana Haji dan Inovasi Pembiayaan Syariah di Indonesia,” Jurnal Ekonomi Syariah. Nita, D. (2025, 7 Januari). “Daftar Kuota Jemaah Haji Reguler per Provinsi 2025, Ini Cara Cek Nama yang Berangkat.” Kompas.tv. Diakses melalui https://www.kompas.tv/nasional/565166/daftar-kuota-jemaah-haji-regulerper-provinsi-2025-ini-cara-cek-nama-yang-berangkat Noor, A. B., & Zakaria, M. S. (2010). Takaful: Analisis Terhadap Konsep dan Akad. Jurnal Muamalat, 3, 1-23. Nuri,M.(2014). Pragmatisme Penyelenggaraan Ibadah HajiDiIndonesia. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, 1(1). Putra, D. A., & Saputra, A. (2023). Konsep Munâsharoh Dalam Al-Quran: Sebuah Gerakan Filantropi Berbasis Solidaritas Islam. ZAD Al-Mufassirin, 5(1), 93- 110. Ropiah, S. (2024). Hajj Fund Polemic (Between Subsidies and Istitha’ah). al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 7(4), 1-8. Sa’diyah, H. (2025). The Concept of Istiṭā ‘ah in the Rituals of Hajj: Ibn ‘Āshūr’s Perspective in Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr. Al-Afkar: Journal For Islamic Studies, 8(1), 1344-1356. Syaifuddin, A., & Waty, R. R. (2024). Haji Cukup Sekali, Menuju Kebijakan Haji yang Adil dan Merata. Kemenag.go.id. Diakses melalui https://kemenag.go.id/kolom/haji-cukup-sekali-menuju-kebijakan-hajiyang-adil-dan-merata-ZRYkS. Tim Penyusun Jabatan Perdana Menteri. (1993). Sejarah Perkembangan Tabung Haji Malaysia 30 Tahun. Utusan Printcorp. Wahyudi,J., & Madjid, M. D. (2020). The Hajj in Indonesia and Brunei Darussalam in XIX–XX AD: A Comparison Study. TAWARIKH, 11(2), 91-102. Yin, R. K. (2003). Case Study Research: Design and Methods. Sage Publications.
