Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober bukan sekadar seremoni. Tapi menjadi cermin untuk bertanya kembali, sejauh mana bangsa ini sudah menjalankan nilai-nilai Pancasila, terutama sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia?
Pertanyaan itu semakin relevan ketika menengok data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025. Di balik angka pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan, masih tersimpan cerita tentang kemiskinan yang belum sepenuhnya teratasi, lapangan kerja yang belum cukup menampung tenaga muda, serta kesenjangan sosial yang tetap membayang.
Ekonomi Tumbuh, Tapi Belum Merata
BPS mencatat ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,12 persen pada triwulan II-2025 dibanding periode yang sama tahun lalu. Angka ini patut disyukuri ditengah gejolak dari dalam dan luar negeri. Jawa tetap menjadi motor utama dengan kontribusi hampir sebesar 56,94 persen terhadap PDB nasional. Sementara Pulau Sulawesi bahkan mencatat pertumbuhan tertinggi, 5,83 persen, menandakan potensi besar di luar Jawa.
Namun, cerita berbeda datang dari timur. Pertumbuhan Maluku dan Papua hanya 3,33 persen. Angka ini menunjukkan bahwa denyut pembangunan belum sepenuhnya terasa merata. Seakan-akan ada “dua Indonesia” yaitu satu yang tumbuh pesat, dan satu lagi yang masih tertatih. Petani di wilayah perbatasan Papua, misalnya, masih mengeluhkan harga hasil panen yang rendah, sementara ongkos transportasi tinggi. Pertumbuhan ekonomi nasional terasa jauh dari kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari.
Kemiskinan Menurun, Hidup Masih Berat
Kabar baik yang lain datang dari data kemiskinan. Dimana pada Maret 2025, persentase penduduk miskin sebesar 8,47 persen. Nilai ini mengalami penurunan sebesar 0,10 persen poin terhadap maret 2024 dan menjadi terendah sepanjang sejarah. Jumlahnya sekitar 23,85 juta orang.
Akan tetapi, jika ditelisik lebih dalam, jurang antara desa dan kota masih nyata. Di perkotaan, kemiskinan berada di angka 6,73 persen, sementara di perdesaan mencapai 11,03 persen. Maluku dan Papua kembali menjadi sorotan dimana persensentase penduduknya yang hidup di bawah garis kemiskinan pada wilayah perkotaan sebesar 6,16 persen, dan wilayah pedesaan mencapai 25,94 persen. Angka ini menjadi saksi bahwa masih ada ada kantong-kantong kemiskinan yang belum terjangkau pertumbuhan.
Di balik angka-angka itu, ada wajah-wajah keluarga yang masih bergulat dengan kebutuhan pokok. Di perkotaan, ibu rumah tangga mengeluhkan harga sewa rumah dan kebutuhan sekolah anak yang terus naik, meski penghasilan suami sebagai pekerja harian tidak bertambah. Di perdesaan, banyak keluarga masih mengandalkan bantuan pangan atau program pemerintah untuk bertahan.
Pasar Kerja Belum Menjawab Harapan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Februari 2025 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka sebesar 4,76 persen. Angka ini mengalami penurunan tipis dibandingkan tahun lalu sebesar 0.06 persen poin. Angka ini memang turun tipis, tetapi tidak berarti mencari pekerjaan menjadi mudah.
Fenomena dilapangan justru lebih memprihatinkan. Dimana berdasarkan data Badan Pusat Statistik lulusan sekolah menengah kejuruan dan bahkan perguruan tinggi justru menghadapi tingkat pengangguran lebih tinggi dibanding lulusan SD. Dimana tingkat pengangguran pada lulusan D4, S1, S2 dan S3 sebesar 6,23 persen, dan untuk lulusan SD kebawah hanya sebesar 2,32 persen.
Sementara itu, terdapat 86,58 juta orang atau sebesar 59,40 persen pekerja berada di sektor informal yaitu menjadi buruh lepas, pedagang kecil, atau pekerja tanpa perlindungan. Fenomena ketenagakerjaan ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi belum otomatis menciptakan lapangan kerja yang layak dan berkelanjutan. Apalagi bagi anak muda, pekerjaan layak masih sebatas harapan.
Ketimpangan Masih Membayangi
Indikator ketimpangan yaitu gini ratio juga belum menunjukkan perbaikan berarti. Gini ratio pada semester I-2025 tercatat 0,375, turun tipis dibanding 0,379 pada semester I-2024. Namun jika diurai, terlihat perbedaan yang cukup tajam antara kota dan desa.
Di perkotaan, gini ratio semester I-2025 sebesar 0,395, hanya sedikit menurun dari 0,399 tahun sebelumnya. Sementara di perdesaan, gini ratio turun dari 0,306 pada semester I-2024 menjadi 0,2999 pada semester I-2025. Angka ini menandakan distribusi pendapatan di desa relatif lebih merata dibanding di kota.
Meski terjadi perbaikan, posisi gini ratio yang masih berada di kisaran 0,37–0,39 menunjukkan ketimpangan belum hilang. Pertumbuhan ekonomi relatif tinggi belum sepenuhnya mengurangi kesenjangan. Sebagian besar kue ekonomi masih terkonsentrasi di wilayah tertentu, sementara daerah lain hanya mendapat remah-remahnya.
Jika melihat kelapangan, pada satu sisi, Jakarta dan kota besar lain menampilkan deretan gedung pencakar langit dan gaya hidup konsumtif. Di sisi lain, tidak jauh dari pusat kota, masih banyak warga yang tinggal di rumah sempit di bantaran sungai, bekerja harian dengan penghasilan tak menentu. Ketimpangan itu terasa nyata, tidak hanya dalam angka, tapi juga dalam pandangan mata.
Meneguhkan Keadilan Sosial
Momentum Hari Kesaktian Pancasila kali ini memberi pesan yang jelas yaitu pembangunan tidak boleh hanya dilihat dari angka pertumbuhan. Lebih penting, bagaimana pertumbuhan itu bisa menjangkau seluruh rakyat, tanpa ada yang tertinggal.
Semangat menuntut agar pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan keadilan sosial. Pemerintah didorong untuk memperkuat penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, menguPancasilarangi kesenjangan wilayah, dan memastikan program pengentasan kemiskinan benar-benar menyentuh yang paling membutuhkan.
Kesaktian Pancasila sepatutnya diwujudkan bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam kebijakan nyata. Sebab, Pancasila akan tetap sakti hanya jika nilai-nilainya hidup dalam denyut nadi pembangunan bangsa.