Menulis adalah sebuah perjalanan yang sering kali terasa sunyi. Duduk di depan kertas atau layar kosong, berusaha merangkai kata demi kata, kadang membuat kita merasa seperti sedang berjalan sendirian di lorong panjang tanpa ujung. Ada hari-hari dimana ide mengalir deras, tangan bergerak cepat, dan hati terasa begitu lega. Namun, ada juga masa ketika kepala terasa kosong, kata-kata seolah menghilang, semangat tiba-tiba redup, dan muncul pertanyaan kecil yang menyakitkan: “Apakah aku memang bisa jadi penulis?”
Kondisi semacam ini sebenarnya dialami banyak orang, terutama generasi muda yang kini sering disebut sebagai Strawberry Generation. Istilah ini populer di Taiwan pada 1990-an, merujuk pada generasi yang dianggap rapuh, mudah menyerah, dan tidak tahan tekanan, layaknya buah stroberi yang cantik di luar, namun mudah hancur bila ditekan. Hal ini menunjukkan, bahwa generasi muda cenderung memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi dalam mengekspresikan diri, tetapi sekaligus rentan mengalami stres ketika menghadapi kritik atau penolakan.
Dalam dunia menulis, hal ini terasa nyata. Seorang penulis, apalagi yang masih berada di awal perjalanan, sangat rentan merasa minder. Bayangkan seorang pemula yang dengan penuh semangat menunjukkan cerpen pertamanya kepada seorang teman. Matanya berbinar, hatinya berharap mendapat sedikit apresiasi. Namun, yang muncul justru komentar meremehkan, “Ah, tulisanmu biasa saja. Mana bisa kamu jadi penulis?” Kalimat singkat itu bisa menjadi pisau yang menusuk hatinya, menghancurkan kepercayaan dirinya, dan membunuh semangatnya dalam menulis.
Namun, kisahnya akan berbeda jika ia memiliki support system. Teman atau keluarga yang sabar membaca, lalu berkata dengan tulus, “Ceritanya bagus, coba lanjutkan. Mungkin tokohnya bisa dibuat lebih hidup.” Kata-kata sederhana yang membangun itu, bisa menjadi bensin yang menyalakan kembali mesin semangat yang hampir mati. Inilah mengapa support system menjadi penting, terutama di era ketika generasi muda kerap merasa rentan terhadap tekanan.
Menurut Sarafino dan Smith, (2011) support system adalah keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk memberi bantuan, semangat, penerimaan dan perhatian, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang. Support system bukan hanya sekumpulan orang di sekitar kita, melainkan lingkaran yang memberi energi. Mereka hadir sebagai ruang aman ketika kritik terasa menyakitkan, sebagai pengingat saat penulis ingin menyerah, dan sebagai alasan untuk tetap bertahan menulis meski jalan terasa panjang. Menurut Cohen dan Wills (1985), dukungan sosial ini berperan besar dalam mengurangi stres dan meningkatkan resiliensi. Dengan kata lain, dukungan dari orang-orang terdekat bukan sekadar pelipur lara, tetapi faktor nyata yang membuat seseorang mampu bertahan menghadapi tekanan.
Bentuk support system tidak selalu hadir dalam wujud besar. Kadang justru ia muncul lewat hal-hal sederhana yang menyentuh hati. Bayangkan seorang ibu yang mungkin tak paham apa-apa soal dunia menulis, tetapi ia menyelipkan secangkir teh hangat di meja anaknya yang masih bergulat dengan naskah. Isyarat kecil itu seolah berkata, “Aku percaya padamu.” Bagi sang anak, perhatian sederhana seperti ini bisa menjadi tenaga tambahan untuk bertahan menuntaskan tulisannya.
Dukungan juga bisa datang dari sahabat. Kalimat singkat, “Aku tunggu kelanjutan ceritamu,” bisa menjadi jangkar ketika seorang penulis hampir tenggelam dalam rasa putus asa. Tidak jarang, orang menulis bukan semata-mata karena yakin pada dirinya, melainkan karena ia tahu ada orang lain yang menantikan karyanya. Di titik inilah sahabat menjelma sebagai alasan untuk terus melangkah.
Komunitas menulis juga bisa memberi support system kepada diri kita. Di sana, penulis menemukan teman seperjalanan. Mereka bisa berbagi keresahan, saling bertukar ide, dan memberi kritik yang membangun. Etienne Wenger (1998) dalam Communities of Practice: Learning, Meaning, and Identity menunjukkan, bahwa keberadaan komunitas belajar mampu meningkatkan motivasi dan keterlibatan anggotanya. Dalam dunia kepenulisan, hal ini terasa nyata. Komunitas menulis bisa menjadi tempat dimana penulis menemukan energi baru, merasa tidak sendirian, dan yakin bahwa tulisannya berharga.
Banyak kisah nyata membuktikan pentingnya support system ini. Salah satunya dari teman kampus saya sendiri. Saat teman saya menulis, ia merasa tulisannya tidak berarti, sampai seorang dosen membaca esainya dan berkata, “Kamu punya gaya bahasa yang unik. Jangan berhenti menulis.” Kalimat sederhana itu menjadi titik balik. Teman kampus saya, kemudian bergabung dengan komunitas menulis, menemukan teman-teman yang mendukung, dan akhirnya memberanikan diri mengirimkan naskah. Hanya dalam waktu satu kemudian, tulisannya benar-benar terbit di berbagai macam media. Sekarang tulisannya yang publish dan lolos seleksi mencapai 30 artikel banyaknya. Bahkan, dirinya saat ini berencana menyusun naskah untuk diterbitkan menjadi sebuah buku. Semua itu bisa ia lakukan karena adanya peran support system.
Bahkan penulis besar pun membuktikan hal serupa. J.K. Rowling pernah ditolak belasan penerbit sebelum akhirnya Harry Potter diterima. Di tengah semua penolakan itu, ia bertahan karena ada orang-orang yang menyemangatinya. Tanpa dukungan mereka, mungkin Rowling sudah berhenti mencoba. Cerita ini menegaskan, bahwa sebesar apa pun talenta seorang penulis, ia tetap membutuhkan orang lain untuk menjaga semangatnya.
Di sinilah relevansi support system terasa makin penting bagi generasi muda sekarang yang disebut Strawberry Generation. Mereka tumbuh dengan banyak kesempatan untuk berekspresi, terutama lewat media digital. Di satu sisi, mereka berani menunjukkan diri, menulis, dan membagikan ide-ide baru. Namun disisi lain, rapuhnya daya tahan menghadapi kritik membuat mereka mudah goyah. Satu komentar negatif di media sosial bisa terasa lebih menyakitkan daripada seribu pujian. Inilah paradoks yang membentuk wajah generasi stroberi. Indah dan penuh potensi, tetapi sangat mudah pula dihancurkan.
Dalam kondisi seperti ini, support system bisa menjadi pendukung seseorang dalam menulis. Penelitian psikologi perkembangan menunjukkan, bahwa generasi muda cenderung percaya diri dalam mengekspresikan diri, tetapi sekaligus rentan mengalami stres saat menghadapi penolakan atau kritik. Artinya, keberanian mereka untuk menulis dan berbicara berpotensi rapuh, tanpa ada yang menopang dari belakang. Dukungan nyata dari keluarga, sahabat, maupun komunitas menulis menjadi penyeimbang yang menjaga mereka tetap teguh ketika kritik atau keraguan mulai mengguncang dalam menulis.
Menulis memang bukan sekadar merangkai kata, bagi generasi stroberi, itu juga berarti berani tetap melangkah meski mudah goyah oleh kritik atau penolakan. Dalam dunia yang serba instan dan penuh sorotan, satu komentar negatif bisa terasa menghancurkan, sementara pujian sering tak cukup menenangkan kegelisahan. Di sinilah support system memainkan peran vital. Perhatian sederhana bisa menjadi penyemangat dalam menulis. Dukungan itu bukan hanya membuat mereka bertahan menulis, tetapi juga memberi keberanian bagi penulis untuk mencoba lagi, dan belajar dari kesalahan.