Fenomena living together atau yang dalam bahasa sehari-hari sering disebut kumpul kebo, sebenarnya bukan hal baru dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Meski awalnya muncul dan lebih banyak dipraktikkan di negara-negara Barat sejak akhir abad ke-20, perlahan-lahan fenomena ini ikut masuk dan terjadi di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Istilah living together di sini merujuk pada situasi ketika dua orang yang belum terikat perkawinan memilih untuk tinggal bersama, berbagi ruang, bahkan menjalani hubungan layaknya pasangan suami istri.
Kalau dilihat dari sudut pandang budaya, tentu saja praktik ini banyak menimbulkan pro dan kontra. Indonesia yang menganut nilai ketimuran dan religius menempatkan pernikahan sebagai ikatan sah satu-satunya untuk melegalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, ketika ada pasangan yang memilih jalan living together, banyak pihak yang menganggapnya sebagai perilaku menyimpang dari norma yang berlaku.
Namun, dalam diskursus hukum pidana, hal ini tidak bisa hanya dipandang sebagai persoalan moral atau sosial semata. Negara, lewat hukum pidana, juga memberi batasan yang tegas terhadap perilaku tersebut.
Dasar Hukum Living Together di Indonesia
Kehadiran KUHP baru yang disahkan lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 semakin menegaskan posisi hukum terkait living together. Ada dua pasal penting yang bisa dijadikan rujukan, yakni Pasal 411 dan Pasal 416.
Pasal 411 ayat (1) menyebutkan:“Setiap orang yang melakukan hubungan intim dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.”
Lalu Pasal 416 menegaskan bahwa:“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Dari ketentuan ini, jelas terlihat bahwa hukum di Indonesia tidak memberikan ruang legal bagi praktik living together. Bahkan, aturan tersebut bisa menjerat siapapun yang melakukan praktik kumpul kebo, meskipun hubungan itu dilakukan secara sukarela antara dua orang dewasa.
Delik Aduan: Tidak Semua Kasus Bisa Diproses
Meskipun ada ancaman pidana, bukan berarti setiap pasangan living together otomatis bisa ditangkap polisi dan langsung dipenjara. Ada mekanisme khusus yang disebut delik aduan absolut.
Artinya, living together baru bisa diproses hukum jika ada pihak yang melapor, yaitu:
- Suami atau istri dari salah satu pihak yang sudah menikah.
- Orang tua atau anak dari pelaku yang belum menikah.
Dengan kata lain, warga sekitar, tetangga, atau masyarakat umum tidak bisa serta-merta mengadukan perilaku kumpul kebo kecuali mereka memiliki hubungan hukum langsung dengan pelaku. Bahkan, pengaduan pun masih bisa ditarik kembali selama perkara belum masuk ke tahap persidangan.
Namun, kalau perbuatan mereka menimbulkan gangguan nyata terhadap ketertiban umum, misalnya menimbulkan keributan, gaduh, atau ada perilaku asusila yang dilakukan di ruang publik, itu bisa diproses dengan pasal lain di KUHP tentang gangguan ketertiban umum atau perbuatan tidak menyenangkan.
Sanksi Pidana
Jika memang laporan diajukan dan terbukti, maka sanksinya merujuk pada pasal-pasal di atas. Hukuman penjara maksimal 6 bulan untuk living together, atau 1 tahun untuk perzinaan, serta denda paling banyak Rp10 juta (sesuai kategori II dalam Pasal 79 ayat 1 KUHP).
Sekilas mungkin terlihat ringan, namun ancaman pidana tetap menjadi tanda bahwa negara menganggap perilaku ini cukup serius untuk diatur.
Perspektif Sosial dan Hukum
Yang menarik, keberadaan aturan ini menimbulkan banyak perdebatan di ruang publik. Di satu sisi, ada yang menilai bahwa living together adalah urusan privat yang seharusnya tidak perlu diatur negara. Namun di sisi lain, Indonesia dengan latar budaya dan norma religiusnya menilai praktik ini berpotensi merusak tatanan sosial dan moral masyarakat.
Dalam perspektif hukum pidana, keberadaan aturan ini sebenarnya merupakan bentuk perlindungan terhadap nilai yang hidup di masyarakat. Dengan menjadikan living together sebagai delik aduan, negara berusaha menyeimbangkan antara penegakan norma dan penghormatan pada hak privat warga. Negara tidak serta-merta melakukan kriminalisasi tanpa adanya pihak yang merasa dirugikan atau terciderai.
Sebagai penutup, fenomena living together memang tidak bisa dipungkiri terjadi di tengah masyarakat, terutama dengan semakin terbukanya akses informasi dan masuknya budaya global. Namun, dalam konteks Indonesia, praktik ini tetap bertentangan dengan norma yang berlaku dan memiliki konsekuensi hukum. Maka, bagi siapapun yang memilih jalan hidup ini, perlu disadari bahwa konsekuensinya bukan hanya sosial, tapi juga bisa berujung pada jeratan hukum.