Senin, September 22, 2025

Sastra di Persimpangan

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Saya termasuk generasi yang masih mengingat dengan jelas era ketika para novelis adalah sosok-sosok raksasa dalam lanskap budaya. Di tahun 1980-an, rilis novel-novel baru dari pengarang sastra Inggris sekaliber Philip Roth, Toni Morrison, Saul Bellow, John Updike, Alice Walker, dan nama-nama besar lainnya selalu menjadi peristiwa budaya yang menggemparkan. Fenomena ini memicu diskusi hangat, ulasan yang beragam, dan bahkan perdebatan sengit tentang ulasan itu sendiri, menciptakan sebuah buzz intelektual yang terasa hidup di tengah masyarakat.

Ini bukan sekadar bias nostalgia yang mengada-ada. Pada pertengahan hingga akhir abad ke-20, fiksi sastra memang berhasil menarik audiens yang sangat besar. Sebuah kilas balik pada daftar novel terlaris Publishers Weekly tahun 1962 akan memperlihatkan nama-nama klasik seperti Katherine Anne Porter, Herman Wouk, dan JD Salinger bertengger di puncak. Tahun berikutnya, giliran Mary McCarthy dan John O’Hara yang mendominasi.

Melalui esai Substack terbaru berjudul “The Cultural Decline of Literary Fiction” oleh Owen Yingling, saya mendapatkan konfirmasi bahwa Ragtime karya EL Doctorow adalah buku terlaris tahun 1974, Portnoy’s Complaint karya Roth memuncaki daftar pada tahun 1969, Lolita karya Vladimir Nabokov menempati posisi ketiga pada tahun 1958, dan Doctor Zhivago karya Boris Pasternak menduduki peringkat pertama.

Namun, coba bandingkan dengan kondisi saat ini. Dominasi pasar buku sebagian besar dipegang oleh Colleen Hoover, novel-novel fantasi, dan fiksi bergenre. Data dari National Endowment for the Arts, yang telah melakukan survei selama beberapa dekade, menunjukkan bahwa angka pembaca sastra terus mengalami penurunan stabil sejak tahun 1982. Yingling lebih lanjut melaporkan sebuah fakta yang mencolok: tidak ada satu pun karya fiksi sastra yang berhasil masuk dalam daftar 10 buku terlaris tahunan Publishers Weekly sejak tahun 2001.

Tentu, saya sama sekali tidak mempermasalahkan buku-buku genre atau buku populer yang laris manis. Namun, pertanyaan yang menggelitik adalah: di manakah sosok-sosok seperti F. Scott Fitzgerald, William Faulkner, George Eliot, Jane Austen, atau David Foster Wallace di era sekarang? Di manakah para penulis dengan kaliber sastra yang mampu mengguncang dan mendefinisikan zaman seperti para pendahulu mereka?

Saya sama sekali tidak mengklaim bahwa kualitas novel sastra Inggris masa kini telah menurun. Sebaliknya, yang ingin saya tekankan adalah bahwa peran sastra dalam kehidupan kita telah menyusut secara signifikan, dan fenomena ini secara perlahan namun pasti mendatangkan efek dehumanisasi pada budaya kita. Dulu, terutama berakar dari warisan era Romantis, ada keyakinan yang kuat bahwa para novelis adalah hati nurani bangsa, layaknya para bijak dan nabi, yang memiliki kemampuan untuk berdiri di luar arus utama dan mengungkapkan esensi diri kita.

Sebagaimana yang pernah diutarakan oleh sosiolog terkemuka C. Wright Mills, “Seniman dan intelektual independen adalah di antara sedikit kepribadian yang tersisa yang diperlengkapi untuk menolak dan melawan stereotip dan kematian konsekuen dari hal-hal yang benar-benar hidup.” Ini menggambarkan betapa krusialnya peran mereka dalam menjaga vitalitas dan keaslian budaya.

Perhatian yang luar biasa diberikan kepada para novelis bahkan hingga era 1980-an, dengan beberapa nama seperti Gore Vidal, Norman Mailer, dan Truman Capote mencapai puncak ketenaran yang mencengangkan. Diskusi tentang sastra begitu mendominasi pusat wacana budaya, sehingga bahkan beberapa kritikus sastra pun menjadi selebritas tersendiri, seperti Susan Sontag, Alfred Kazin, serta para pendahulu mereka, Lionel Trilling dan Edmund Wilson. Pada masa itu, jumlah media ulasan buku di surat kabar dan majalah-majalah berpengaruh jauh lebih melimpah, mengindikasikan betapa sentralnya sastra dalam kehidupan publik.

Mengapa sastra kini tidak lagi menduduki posisi sentral dalam kehidupan kita? Pelaku utama yang paling jelas, dan sering dituding, adalah internet. Teknologi ini, tanpa ragu, telah menghancurkan rentang perhatian kolektif kita. Argumentasi ini, bagi saya, cukup meyakinkan. Namun, penting untuk dicatat, seperti yang ditunjukkan oleh Yingling, bahwa kemunduran fiksi sastra sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1980-an dan 1990-an, jauh sebelum internet mencapai dominasinya seperti sekarang.

Meski begitu, jangan lupakan bahwa masyarakat masih memiliki kapasitas untuk tenggelam dalam karya-karya klasik. Buktinya nyata: novel distopia “1984” karya George Orwell telah terjual lebih dari 30 juta eksemplar, dan “Pride and Prejudice” karya Jane Austen telah mencapai angka 20 juta penjualan. Ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap buku-buku sastra masih bersemayam di hati banyak orang.

- Advertisement -

Bahkan, ketika perusahaan riset WordsRated meminta warga Amerika untuk menyusun daftar buku favorit mereka, nama-nama besar seperti “Pride and Prejudice,” “To Kill a Mockingbird,” “The Great Gatsby,” dan “Jane Eyre” semuanya masuk dalam 10 besar. Sastra dan drama, dengan kekuatan yang tak tertandingi, memiliki kemampuan unik untuk mengkomunikasikan esensi yang menggerakkan jiwa manusia.

Saya pribadi merasa sangat tidak mungkin bahwa setelah hampir enam abad, daya magis kata-kata tercetak di halaman akan lenyap begitu saja. Saya justru berani bertaruh pada kebangkitan sastra. Jika ini terjadi, kebangkitan tersebut akan menjadi pukulan telak bagi kekuatan dehumanisasi yang kini mengepung kita di mana-mana. Ini bukan hanya tentang membaca buku, tetapi tentang mempertahankan esensi kemanusiaan kita dalam menghadapi arus modernisasi yang kerap mengikis.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.