Pernah suatu kali, saya mencoba menjelaskan pentingnya preservasi manuskrip kepada seorang pimpinan yang penuh inovasi teknologi terbarukan dan gemar memaparkan ide-ide digitalisasi. Dengan penuh semangat, saya pun turut serta menyampaikan betapa rapuhnya kertas tua, bagaimana tinta bisa pudar, dan bagaimana koleksi itu bukan sekadar benda mati, melainkan jejak sejarah yang bisa membentuk identitas Masyarakat yang harus dirawat. Saya kira penjelasan itu cukup menyentuh.
Namun sang pejabat menanggapi dengan pertanyaan singkat, “Lalu, manfaat nyatanya apa untuk masyarakat sekarang? Bisa dilihat di media?”
Saya terdiam. Sejak saat itu, saya sadar, komunikasi antara pustakawan dan pemangku kebijakan bukan sekadar soal informasi, melainkan juga soal bahasa. Kami berbicara dengan kosakata yang berbeda, bahkan perspektif waktu yang berbeda. Pustakawan berbicara tentang jangka panjang, sedangkan pemangku kebijakan berbicara tentang hasil cepat.
Bahasa Teknis vs Bahasa Kekuasaan
Pustakawan sering kali terbiasa dengan istilah teknis. Kata-kata seperti preservasi, kurasi koleksi, atau literasi informasi adalah makanan sehari-hari. Masalahnya, kosakata ini terdengar asing bagi mereka yang berurusan dengan anggaran, politik pencitraan, atau target program.
Di sisi lain, pejabat lebih terbiasa dengan bahasa yang ringkas, sederhana, dan jujur saja kadang retoris. “Apa manfaatnya untuk masyarakat?” “Bagaimana dampaknya bagi peningkatan literasi?” atau “Bisa dipublikasikan?” menjadi pertanyaan standar.
Perbedaan bahasa ini sering menimbulkan miskomunikasi. Bagi pustakawan, penting menjaga koleksi agar bertahan 100 tahun ke depan. Bagi pejabat, penting menunjukkan sesuatu yang bisa dilihat dalam lima tahun masa jabatannya. Ketika dua perspektif ini bertemu, yang kalah sering kali adalah kepentingan jangka panjang.
Idealisme vs Pragmatisme
Di sinilah dilema itu muncul. Pustakawan sering terjebak antara idealisme profesi dan pragmatisme birokrasi. Idealisme mendorong kami untuk setia pada nilai, melestarikan koleksi, menjaga akses pengetahuan, dan membangun masyarakat literat. Tetapi realitas birokrasi mendorong kami untuk berbicara sesuai bahasa penguasa, angka, grafik, laporan, dan kegiatan seremonial.
Pada titik tertentu, kami belajar untuk berkompromi. Membuat program literasi yang sebenarnya sederhana, tapi dikemas dengan foto-foto meriah agar bisa dilaporkan ke media. Mengusulkan perawatan koleksi, tapi disisipkan dengan kata-kata “menunjang pariwisata” agar masuk ke logika pembangunan daerah. Apakah itu salah? Tidak juga. Tapi di sisi lain, ada rasa getir seolah-olah nilai asli profesi kami tak cukup kuat untuk diakui, kecuali jika dibungkus dengan bahasa yang sesuai selera pemangku kebijakan.
Belajar Menjadi Penerjemah
Daripada terus mengeluh, mungkin pustakawan memang harus belajar menjadi penerjemah. Bukan penerjemah bahasa asing, melainkan penerjemah antara bahasa teknis profesi dan bahasa kebijakan. Jika berbicara soal preservasi, jangan hanya menyebut “mencegah kerusakan kertas.” Sebut juga melindungi identitas daerah yang bisa menjadi daya tarik wisata edukasi. Jika bicara tentang koleksi digital, jangan hanya menyebut “akses pengetahuan.” Tambahkan juga peningkatan literasi digital yang mendukung program nasional.
Apakah itu manipulatif? Saya pikir tidak. Itu strategi komunikasi. Sama seperti seorang dosen yang menjelaskan teori rumit dengan contoh sehari-hari, pustakawan juga perlu menyesuaikan bahasa agar ide bisa dipahami dan diterima.
Risiko yang Perlu Disadari
Namun, ada risiko dari strategi ini. Jika terlalu sibuk menerjemahkan ke bahasa kebijakan, pustakawan bisa kehilangan jati diri. Ada bahaya terjebak dalam logika jangka pendek, sehingga melupakan nilai inti profesi. Kita jadi terlalu fokus mengejar angka, laporan, dan pencitraan, hingga lupa bahwa tugas utama pustakawan bukan hanya melayani hari ini, tetapi juga menjaga warisan untuk generasi mendatang.
Saya jadi teringat sebuah pepatah, “Jika terus-menerus menunduk agar terlihat sopan, jangan lupa sesekali mendongak agar tidak kehilangan arah.” Pustakawan memang perlu berkompromi, tapi jangan sampai kehilangan orientasi. Kompromi seharusnya menjadi jembatan, bukan tujuan akhir.
Di sinilah refleksi menjadi penting. Setiap kali kita menyusun proposal, mengikuti rapat anggaran, atau menyampaikan presentasi kepada pejabat, ada baiknya kita bertanya: apakah yang kita lakukan masih sejalan dengan misi profesi? Apakah bahasa yang kita gunakan memperkuat nilai pustakawan, atau justru membuat kita kehilangan pijakan? Menjadi penerjemah bukan berarti menanggalkan identitas. Sebaliknya, ia harus menjadi cara agar suara profesi tetap terdengar tanpa terdistorsi.
Jalan Tengah yang “Mungkin”
Lalu, bagaimana menemukan jalan tengah? Saya kira ada tiga hal penting. Pertama, data dan bukti. Pustakawan perlu membuktikan dengan angka, bukan hanya dengan kata. Misalnya, program literasi yang konsisten bisa menurunkan angka putus sekolah atau meningkatkan minat baca. Data konkret jauh lebih didengar dalam ruang kebijakan ketimbang argumen normatif.
Kedua, narasi yang relevan. Jangan hanya bicara tentang melestarikan koleksi demi akademisi atau peneliti. Kaitkan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Sebuah manuskrip bisa jadi sumber inspirasi bagi pendidikan karakter, sejarah lokal, bahkan pariwisata budaya.
Ketiga, advokasi kolektif. Suara pustakawan sering kecil karena terpisah-pisah. Jika ada jejaring yang solid, advokasi akan lebih kuat. Bukan hanya satu orang yang bicara, melainkan suara profesi yang terorganisir.
Refleksi Personal
Saya menulis ini bukan untuk menggurui, melainkan sebagai refleksi pribadi. Sebagai pustakawan muda, saya sering merasa berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, saya ingin setia pada idealisme profesi. Di sisi lain, saya sadar bahwa tanpa kompromi, suara kami akan terus terpinggirkan.
Barangkali memang inilah seni menjadi pustakawan di era sekarang, bukan hanya menjaga buku dan manuskrip, tetapi juga menjaga bahasa-bahasa profesi agar tidak hilang, dan bahasa kekuasaan agar tidak terlalu mendominasi.
Komunikasi antara pustakawan dan pemangku kebijakan tidak pernah mudah. Tetapi kesulitan itu tidak boleh membuat kita berhenti mencoba. Jika kita hanya bicara dengan bahasa kita sendiri, ide akan berhenti di ruang diskusi internal. Jika kita hanya mengikuti bahasa pejabat, nilai profesi akan larut dalam pragmatisme.
Kuncinya ada pada keseimbangan, belajar menerjemahkan tanpa kehilangan makna. Pada akhirnya, pustakawan bukan sekadar penjaga koleksi, tetapi juga penjaga makna-makna yang melampaui masa jabatan lima tahun, dan semestinya bertahan selama berabad-abad.