Selasa, September 23, 2025

Selamat Datang September Hitam: Jejak Impunitas

Abdul Rofid Juniardi
Abdul Rofid Juniardi
Mahasiswa Universitas Nurul Jadid
- Advertisement -

Setiap kali bulan September tiba, ingatan kita kembali pada rangkaian peristiwa kelam yang menorehkan luka mendalam dalam sejarah bangsa. Mulai dari Gerakan 30 September (G30S) 1965, Tragedi Tanjung Priuk 1984, Tragedi Semanggi II 1999, hingga pembunuhan Munir 2004. Tragedi-tragedi tersebut memperlihatkan pola kekerasan negara yang berulang, sehingga lahirlah istilah “September Hitam” sebagai pengingat agar bangsa ini tidak melupakan sejarah pelanggaran HAM dan tetap menuntut keadilan bagi korban.

Impunitas yang Terus Berulang

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), impunitas diartikan sebagai keadaan bebas dari hukuman. Secara umum, ada dua bentuk impunitas. Pertama, impunitas de jure, ketika hukum atau peraturan secara eksplisit memberikan kekebalan hukum, sehingga menutup kemungkinan penuntutan. Kedua, impunitas de facto, ketika negara gagal menindak pelaku pelanggaran karena lemahnya kehendak politik, kapasitas peradilan yang terbatas, atau dominasi korupsi dan patronase.

Mengapa impunitas di Indonesia terus berulang? Ada setidaknya tiga sebab utama. Pertama, lemahnya penegakan hukum, yang membuat kasus HAM berat tidak pernah benar-benar diproses tuntas. Kedua, minimnya kehendak politik dari presiden dan DPR untuk membawa kasus ke ranah pengadilan HAM ad hoc. Ketiga, adanya budaya impunitas, di mana figur-figur yang diduga terlibat pelanggaran HAM justru berada dalam lingkaran kekuasaan.

Hukum yang Diabaikan

Padahal, secara normatif, Indonesia memiliki instrumen hukum yang cukup kuat. UUD 1945 Pasal 28I menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menjamin hak untuk hidup, hak memperoleh keadilan, serta hak bebas dari penyiksaan yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Sementara itu, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan dasar bagi pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

Sayangnya, regulasi tersebut lebih sering berhenti di atas kertas. Tidak ada keseriusan nyata untuk menuntaskan kasus-kasus besar. Lebih ironis lagi, Indonesia hingga kini belum meratifikasi Statuta Roma 1998, instrumen penting yang melahirkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Akibatnya, pintu bagi akuntabilitas internasional masih tertutup rapat.

Membaca dengan Kacamata Teori

Fenomena impunitas memang dapat dianalisis melalui teori Rule of Law yang menekankan prinsip bahwa hukum harus berlaku universal, setara, dan adil bagi semua orang tanpa memandang status sosial maupun politik. A.V. Dicey, salah satu pemikir klasik, menyebut tiga pilar utama Rule of Law. Pertama Supremasi hukum yakni tidak boleh ada kekuasaan yang berada di atas hukum. Kedua, Persamaan di hadapan hukum yaitu semua orang, termasuk pejabat negara, tunduk pada hukum. Ketiga, Konstitusi sebagai cerminan hak-hak warga yakni hukum harus melindungi hak asasi manusia.

Namun dalam praktiknya, Indonesia kerap terjebak pada konsep Rule by Law, yaitu ketika hukum bukan menjadi instrumen keadilan, melainkan alat kekuasaan. Pada titik ini, hukum hanya dipakai untuk melegitimasi kepentingan politik penguasa atau elite, sementara pelanggaran HAM dan kasus kejahatan berat sering dibiarkan tanpa penyelesaian.

Contoh konkret dapat dilihat pada berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti Tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, atau Semanggi 1998. Banyak pelaku yang justru dilindungi oleh sistem hukum. Hal ini menunjukkan bahwa Rule of Law (hukum sebagai panglima) belum sungguh-sungguh berjalan, karena yang terjadi adalah Rule by Law (hukum sebagai alat kekuasaan) yang melanggengkan impunitas.

Dengan demikian, teori ini menjelaskan bahwa impunitas bukan sekadar kegagalan teknis penegakan hukum, melainkan sebuah distorsi fundamental terhadap prinsip keadilan. Untuk keluar dari jebakan Rule by Law, Indonesia membutuhkan supremasi hukum yang sejati, yaitu hukum yang tidak bisa dinegosiasikan oleh kepentingan politik dan kekuasaan.

Aksi Kamisan: Ingatan Kolektif yang Tak Padam

Selama 18 tahun terakhir, Aksi Kamisan menjadi simbol perlawanan terhadap budaya lupa. Sejak 2007, setiap Kamis sore para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berdiri di depan Istana Merdeka dengan payung hitam, menuntut keadilan. Namun hingga kini, tuntutan mereka tidak pernah benar-benar direspons serius oleh negara.

- Advertisement -

Aksi Kamisan adalah pengingat bahwa masalah ini bukan sekadar warisan masa lalu. Ia adalah utang sejarah yang terus membayangi perjalanan bangsa, dan akan selalu menjadi luka kolektif jika tidak diselesaikan.

Saatnya Memutus Rantai Impunitas

September Hitam seharusnya menjadi momentum refleksi. Negara tidak bisa terus-menerus berlindung di balik dalih politik dan kelemahan hukum. Jika impunitas dibiarkan, maka pesan yang tersampaikan adalah: pelanggaran HAM bisa diulang tanpa konsekuensi.

Ada beberapa langkah mendesak yang perlu ditempuh. Pertama, menghadirkan kehendak politik nyata dari presiden dan DPR untuk menuntaskan kasus HAM berat. Kedua, meratifikasi Statuta Roma, agar Indonesia memiliki komitmen kuat terhadap prinsip akuntabilitas internasional. Ketiga, mengedepankan pendidikan sejarah kritis, supaya generasi muda tidak kehilangan ingatan kolektif terhadap tragedi kemanusiaan.

Kita Perlu Refleksi

September Hitam bukan sekadar catatan duka, tetapi juga ujian bagi konsistensi bangsa ini terhadap prinsip kemanusiaan. Mengabaikan korban berarti melanggengkan ketidakadilan. Sementara menghadapi masa lalu dengan jujur adalah satu-satunya jalan menuju masa depan yang lebih bermartabat.

Sudah saatnya Indonesia berani memutus rantai impunitas. Karena tanpa keadilan bagi korban, demokrasi hanyalah slogan kosong, dan kemanusiaan hanyalah kata-kata manis tanpa makna.

Abdul Rofid Juniardi
Abdul Rofid Juniardi
Mahasiswa Universitas Nurul Jadid
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.