Sabtu, September 20, 2025

Tarif Trump dan Demam Emas AI

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Bagi Donald Trump, kata “tarif” bukanlah ancaman, melainkan janji. Ia mengucapkannya dengan penuh kebanggaan, seolah-olah itu adalah sebuah hadiah, bukan beban. Target terbarunya? Chip semikonduktor, yang menjadi tulang punggung dunia modern kita. Mulai dari ponsel di saku Anda, mobil yang Anda kendarai, hingga lemari es di dapur, bahkan sikat gigi berteknologi canggih sekalipun—semuanya bergantung pada chip mungil ini.

Filosofi Trump sederhana namun kuat: bangun pabrik di Amerika Serikat, dan Anda akan mendapat perlindungan. Namun, jika Anda memilih membangunnya di tempat lain, bersiaplah menghadapi “pajak” yang sangat besar. Berapa besar? Angkanya masih menjadi misteri. Meskipun ia pernah mengisyaratkan tarif sebesar 100%, ia juga sesumbar akan mengenakan tarif hingga 200 atau bahkan 300%. Tentu, melebih-lebihkan adalah keahlian utamanya.

Namun, di balik semua retorikanya, rencana ini bukanlah sekadar ucapan kosong. Trump telah berulang kali membicarakan dan merencanakannya. “Kami akan segera mengenakan tarif,” tegasnya, “sebagai bentuk pemahaman bahwa jika mereka mau masuk dan membangun di negara ini, tidak akan ada tarif.” Sebuah peringatan jelas bagi para raksasa teknologi.

Donald Trump mahir menggunakan dua strategi: tongkat dan wortel. Di satu sisi, ia mengancam dengan sanksi tegas, namun di sisi lain, ia menawarkan “wortel” berupa kebebasan bagi perusahaan yang mau berinvestasi di Amerika Serikat. Contohnya adalah Apple. CEO Tim Cook telah menjanjikan investasi besar, dan sebagai imbalannya, Apple mendapat perlakuan istimewa.

Untuk mengumumkan kebijakan penting ini, Trump memilih panggung yang sangat strategis: pertemuan dengan para raksasa teknologi. Pemandangan di sana sungguh luar biasa, bagaikan sebuah “Avengers” versi Silicon Valley. Trump duduk di tengah, diapit oleh Tim Cook (Apple) dan Mark Zuckerberg (Meta). Jajaran lainnya tidak kalah mentereng: ada Sam Altman (OpenAI) dan Sergey Brin (Google). Namun, berbeda dari pahlawan super yang berjuang menyelamatkan dunia, para CEO ini justru berlomba-lomba mencari persetujuan Trump.

Suasana pertemuan terasa kurang seperti diskusi kebijakan dan lebih seperti pertunjukan pujian. Setiap CEO bergantian memuji sang presiden. Zuckerberg berterima kasih karena “menetapkan nada” yang positif. Bill Gates memuji iklim investasi yang kondusif. Sementara itu, Sam Altman memuji sikap pro-bisnis Trump. Alih-alih percakapan santai, pertemuan itu berubah menjadi “standing ovation” yang terus berulang. Jika Anda menutup mata, Anda mungkin mengira Anda berada di kampanye politik Trump, bukan di sebuah rapat strategis.

Saat pertemuan berlangsung, Trump tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyoroti kesuksesannya. Ia memancing Tim Cook dengan pertanyaan, “Tim, berapa banyak uang yang akan Apple investasikan di Amerika Serikat? Saya tahu itu jumlah yang sangat besar, dan sekarang Anda benar-benar pulang ke rumah dengan cara yang besar.” Tanpa ragu, Cook menjawab singkat, “600 miliar.”

Angka itu memukau semua yang hadir. “600 miliar,” ulang Trump dengan nada puas. “Itu banyak chip. Kami sangat bangga melakukannya.” Namun, pembicaraan ini bukan hanya tentang chip semata. Di balik layar, ada perebutan kekuasaan yang lebih besar, yaitu demam emas di bidang kecerdasan buatan (AI). Setiap CEO yang hadir tahu betul bahwa miliaran yang mereka gelontorkan ke AI bisa sia-sia jika aturan mainnya tidak berpihak pada mereka.

Mereka datang bukan hanya untuk berinvestasi, tetapi untuk melobi. Mereka mendekati Donald Trump, berharap dia akan menjadi sekutu mereka dan memastikan regulasi tidak akan mencekik inovasi.

Di tengah deretan wajah-wajah terkemuka itu, ada satu sosok yang sangat mencolok karena ketidakhadirannya: Elon Musk, orang terkaya di dunia. Meskipun ia mengklaim diundang dan mengirim perwakilan, absennya menjadi sorotan. Ini bukanlah ketidakhadiran biasa. Beberapa bulan sebelumnya, Musk dan Trump terlibat dalam perselisihan yang sangat publik. Ketidakhadiran Musk dalam acara tersebut justru berbicara lebih lantang daripada kehadirannya—menunjukkan bahwa hubungan mereka masih dingin. Di saat semua orang berlomba mencari restu, Musk memilih untuk berdiri di luar lingkaran, mengirimkan pesan yang kuat bahwa ia tidak akan ikut serta dalam “pertunjukan” tersebut.

- Advertisement -

Saat para raksasa teknologi berupaya keras merayu Donald Trump, mereka tahu ini bukan sekadar urusan bisnis biasa. Bagi Trump, chip bukanlah sekadar komponen elektronik; mereka adalah pilar keamanan nasional dan alat pengaruh geopolitik. Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat telah berusaha mati-matian untuk mengembalikan produksi chip ke dalam negeri. Upaya ini terlihat dari miliaran dolar yang diinvestasikan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti TSMC, Samsung, dan Intel untuk membangun pabrik-pabrik baru di AS.

Oleh karena itu, ancaman tarif Trump jauh lebih bernuansa politik daripada ekonomi. Ini adalah unjuk kekuatan yang dirancang untuk menunjukkan kepada dunia—dan kepada para CEO itu sendiri—bahwa ia memiliki kemampuan untuk memaksa perusahaan terkaya di dunia agar patuh pada visinya. Para CEO teknologi sadar betul akan hal ini. Itulah mengapa mereka datang, tersenyum, dan memainkan peran yang diharapkan dari mereka.

Lepaskan semua retorika kebijakan, dan pemandangan yang terlihat di sana adalah sebuah sirkus modern. Trump berperan sebagai “ringmaster” yang mahir, sementara para miliarder teknologi menjadi akrobat-akrobatnya yang bersemangat, melompat dan beratraksi sesuai perintahnya. Ini adalah sebuah pertunjukan yang sandiwaranya dipahami oleh semua orang.

Pertanyaannya kemudian, apakah Trump akan benar-benar memberlakukan tarif yang mengancam itu? Sejarah mencatat bahwa rekam jejaknya dalam menindaklanjuti ancaman semacam ini cukup campur aduk. Namun, satu hal sudah sangat jelas: CEO-CEO teknologi paling berpengaruh di dunia melihat Donald Trump sebagai sosok yang memegang kendali penuh atas masa depan mereka, dan mereka tidak mau mengambil risiko.

Sementara itu, di tengah pertunjukan ini, ketidakhadiran Elon Musk sangat menarik. Di saat yang lain berbondong-bondong mendekat, Musk memilih untuk menjauh. Mengingat perseteruan publiknya dengan Trump beberapa bulan sebelumnya, keputusan ini mungkin adalah langkah paling cerdas yang bisa diambilnya. Dalam sebuah sirkus, terkadang daya tarik terbesar bukanlah para pemainnya, melainkan pertunjukan yang hilang. Dan Musk berhasil menciptakan daya tarik itu.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.