Senin, September 22, 2025

Komeng Jadi Jubir, Urusan Blunder Beres

Muhammad Fitrianto
Muhammad Fitrianto
Muhammad Fitrianto, M.Pd. Seorang pendidik dan kreator seni digital yang gemar meneropong panggung politik nasional dari sudut pandang yang tak biasa. Lulusan Magister Pendidikan ini memilih untuk tidak hanya mengajar di dalam kelas, tapi juga "mengajar" publik melalui tulisan-tulisan satirnya yang tajam dan menggelitik. Baginya, menertawakan kekonyolan para elite adalah salah satu bentuk terapi kewarasan dalam berbangsa dan bernegara. Saat tidak sedang merancang model 3D atau mengkritisi kebijakan, ia bisa ditemukan di media sosial, berbagi celetukan-celetukan seputar isu terkini.
- Advertisement -

Rentetan pernyataan pejabat tinggi negara akhir-akhir ini sejatinya memiliki niat luhur: agar publik tahu bahwa pemerintah bekerja. Para menteri, deputi, hingga staf ahli ingin menunjukkan bahwa mereka ada, hadir, dan memikirkan nasib bangsa. Pernyataan-pernyataan itu ibarat penanda eksistensi di tengah rimba informasi yang riuh.

Jika dirunut satu per satu, pernyataan tersebut adalah upaya mulia untuk berkomunikasi. Ada yang mencoba menenangkan pasar, ada yang berusaha memotivasi rakyat agar lebih mandiri, ada pula yang sekadar ingin berbagi pemikiran cemerlang hasil rapat semalam suntuk. Tujuannya baik, agar negara ini terasa dikelola.

Yang tak kalah penting, pernyataan publik ini adalah wujud demokrasi. Pejabat berbicara, publik merespons. Bukankah ini inti dari ‘demokrasi deliberatif’ yang sering disebut para akademisi di ruang seminar ber-AC? Pejabat melempar gagasan, lalu publik menangkapnya dengan penuh semangat—meski seringnya semangat untuk menghujat.

Ya, kita butuh pejabat yang bicara. Kita perlu ‘suara negara’ yang mengingatkan kita setiap saat bahwa ada yang sedang bekerja di menara gading kekuasaan. Saya setuju, jika pejabat tidak hanya diam dan bekerja dalam senyap seperti agen rahasia. Mereka harus tampil, membangun narasi, dan menunjukkan wibawa.

Sayangnya, niat baik ini seringkali dieksekusi dengan semangat yang terlalu meluap-luap, sehingga lupa bahwa ada jurang antara ‘maksud hati’ dan ‘persepsi publik’. Ide brilian di ruang rapat bisa terdengar seperti lelucon garing ketika sampai di telinga rakyat jelata yang sedang pusing memikirkan harga beras.

Semangat ‘melayani informasi’ juga tampak dari frekuensi pernyataan yang seolah kejar tayang. Tidak peduli konteks, tidak peduli momentum. Akibatnya, alih-alih membangun citra positif, yang terjadi justru festival blunder nasional. Publik yang sudah lelah dengan berbagai persoalan hidup kini disuguhi dagelan politik tingkat tinggi hampir setiap hari.

Akibatnya, draf kebijakan yang mungkin bagus dicurigai sebagai akal-akalan. Program bantuan yang tulus dianggap pencitraan. Energi bangsa yang seharusnya fokus pada pemulihan ekonomi pasca-pandemi, kini habis untuk meributkan klarifikasi demi klarifikasi.

Kecurigaan itu membuat para pengamat, aktivis media sosial, hingga ibu-ibu arisan mengumandangkan penolakan secara serempak.

Setelah itu, mahasiswa, buruh, hingga purnawirawan menyerukan suara serupa:“Turunkan Pejabat Blunder! Ganti, Ganti, Ganti Sekarang Juga!”

Akhirnya Istana kalang kabut. Para juru bicara berlomba cuci tangan (sebuah keahlian yang makin terasah sejak era Covid-19). Masing-masing pejabat yang tersandung lidahnya harus menaikkan bendera putih, ditemani permintaan maaf yang distandarisasi.

- Advertisement -

“Cukup-cukup! Tarik saja pernyataan itu. Buat saja rilis pers baru. Sekalian kita ganti saja narasi publiknya, tidak usah membahas substansi, yang penting adem dulu,” begitu kira-kira negosiasi panik di lingkaran dalam kekuasaan.

Namun kelompok pengkritik masih bergeming, “Sekali blunder, tetap blunder! Pokoknya kami tidak percaya lagi.”

Kita membutuhkan jalan keluar dari kebuntuan komunikasi ini. Kegaduhan akibat salah ucap membuat energi bangsa terbuang sia-sia. Padahal, jalan keluarnya sederhana. Pak Presiden cukup mengangkat seorang Panglima Komunikasi Publik yang baru. Bukan dari kalangan politisi atau akademisi komunikasi.

Tunjuk saja Komeng, sang senator peraih suara jutaan itu, sebagai Juru Bicara Utama Istana.

“Wah, Anda sudah gila ya? Masa urusan negara mau dijadikan bahan lawakan?”

Jika itu isi kepala Anda, sadarlah bahwa kemungkinan besar Komeng lebih paham ilmu komunikasi politik ketimbang para pejabat itu. Tesisnya sederhana: untuk merebut hati rakyat, Anda tidak perlu argumen canggih, Anda hanya perlu membuat mereka tertawa dan merasa terhibur. Bukankah perolehan suaranya di Pemilu DPD tanpa kampanye besar-besaran adalah bukti sahih keampuhan tesis tersebut?

“Tapi kalau hanya jago melawak, bukannya banyak yang lain? Kenapa harus Komeng?”

Betul. Tapi Komeng punya kelebihan lain. Beliau adalah representasi anomali politik yang justru dirindukan publik: jujur, apa adanya, dan spontan uhuy! Jika seorang menteri blunder soal harga kebutuhan pokok, Komeng tak perlu repot membuat klarifikasi empat halaman. Cukup tampil di depan kamera dan bilang, “Namanya juga usaha, kadang berhasil, kadang bikin sebel. Yang penting kita coba lagi, ya kan? Lanjut!” Dijamin publik akan lupa dengan substansi masalahnya.

Jika garis tangan menakdirkan seorang pejabat kembali salah bicara, maka dalam konferensi pers berikutnya, Komeng adalah nama yang wajib maju pertama untuk menetralisir keadaan.

Makanya, sekali lagi, solusi praktis untuk lepas dari kebuntuan komunikasi publik ini, angkatlah Komeng jadi Jubir Istana. Jika itu terjadi, para pengkritik yang sekarang garang, mungkin akan ikut tertawa.

Bagaimana dengan masyarakat yang marah? Dijamin kemarahan mereka akan berkurang. Krisis komunikasi publik ini hanya soal delivery. Jika disampaikan oleh tokoh yang dianggap menghibur dan tidak punya beban politik, pesan yang sama akan diterima dengan cara yang berbeda. Umat netizen pasti akan bilang, ‘kami terhibur dan kami maklum’.

Tapi apakah partai koalisi bakal terima usulan ini? Jika betul niat tulus pemerintah adalah menciptakan suasana kondusif, tidak ada salahnya mendukung ide ini.

Hmm… baiklah, kalau ragu Komeng akan bekerja sendirian. Lapislah dengan tim yang mumpuni. Tunjuk saja Denise Chariesta atau Lucinta Luna sebagai Deputi Bidang Pengalihan Isu. Tugas mereka sederhana: setiap kali ada blunder besar, buatlah kegaduhan baru di media sosial agar perhatian publik teralihkan. Satu lagi, undang para stand-up comedian sebagai tenaga ahli untuk merumuskan elemen humor dalam setiap siaran pers pemerintah.

Nah, sudah berimbang kan? Restrukturisasi dulu tim komunikasi Istana, lalu biarkan para pejabat kembali fokus bekerja. Jika itu terwujud, saya yakin blunder-blunder berikutnya takkan segaduh ini. Bagaimana menurut Anda?

Muhammad Fitrianto
Muhammad Fitrianto
Muhammad Fitrianto, M.Pd. Seorang pendidik dan kreator seni digital yang gemar meneropong panggung politik nasional dari sudut pandang yang tak biasa. Lulusan Magister Pendidikan ini memilih untuk tidak hanya mengajar di dalam kelas, tapi juga "mengajar" publik melalui tulisan-tulisan satirnya yang tajam dan menggelitik. Baginya, menertawakan kekonyolan para elite adalah salah satu bentuk terapi kewarasan dalam berbangsa dan bernegara. Saat tidak sedang merancang model 3D atau mengkritisi kebijakan, ia bisa ditemukan di media sosial, berbagi celetukan-celetukan seputar isu terkini.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.