Rabu, September 10, 2025

Tragedi Penjarahan: Membatasi Gaya Hidup sebagai Kode Etik

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
- Advertisement -

Tingkah laku anggota parlemen dalam merespons diskursus tunjangan pendapatannya tidak hanya menunjukkan insensitivitas terhadap kondisi sosial-ekonomi rakyat semata, melainkan memperlihatkan rendahnya etika perilakunya sebagai penyelenggara negara.

Beratnya kondisi sosial-ekonomi rakyat dipicu tidak terkendalinya harga bahan pokok yang diperparah dengan kenaikan pajak bumi dan bangunan di berbagai daerah sejak awal Agustus 2025 memicu kemarahan rakyat atas pengelolaan anggaran yang banyak dihabiskan untuk memberikan tunjangan bagi pejabat negara, termasuk anggota parlemen di tengah menumpuknya masalah rakyat.

Situasi tersebut diperburuk dengan adegan joget-joget ketika sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 15 Agustus 2025 yang dinilai tidak pantas di tengah beratnya situasi rakyat hari ini yang berujung kritik tajam yang berujung pada berkembanganya wacana pembubaran parlemen di publik.

Kritik tajam rakyat mengenai tunjangan yang diperoleh anggota parlemen saat kondisi sosial-ekonomi mencekik justru ditanggapi secara nir empati. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya parodi sound horeg yang dilakukan oleh Eko Patrio, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) untuk menanggapi kritik atau celoteh Nafa Urbach, anggota DPR Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) tentang kondisi macet yang dialaminya dalam perjalanan ke gedung DPR untuk menjustifikasi pemberian tunjangan. Respons tersebut diperparah dengan ungkapan tolol yang dikeluarkan oleh Ahmad Sahroni, anggota DPR Fraksi Partai Nasdem terhadap pihak yang mewacanakan pembubaran parlemen.

Reaksi nir empati para anggota DPR memantik perasaan amarah rakyat yang berujung pada terjadinya demonstrasi besar-besaran seminggu ke belakang. Berbeda dari kebanyakan demonstrasi yang terorganisir oleh elemen mahasiswa dan buruh semata, demonstrasi kali ini

melibatkan elemen masyarakat sipil lain yang bergabung secara organik seperti pengemudi daring, ibu rumah tangga, hingga siswa sekolah menengah. Keterlibatan berbagai elemen masyarakat menunjukkan bahwa permasalahan tunjangan anggota parlemen telah menjadi masalah bersama yang dirasakan seluruh kalangan.

Amarah rakyat semakin memuncak ketika demonstrasi dengan peristiwa tewasnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi daring karena terlindas kendaraan taktis kepolisian saat mengamankan demonstrasi. Perasaan rakyat semakin tersayat tatkala mengetahui Affan hadir dalam kegiatan tersebut bukan sebagai pendemo, melainkan tengah mengambil pesanan makanan untuk menjalankan pekerjaannya. Kematian Affan memicu gelombang demonstrasi semakin meluas yang berujung pada tindakan anarkis dengan perusakan fasilitas umum seperti halte transportasi publik. Tak sampai di situ saja, anarkisme berujung pada penjarahan yang menyasar rumah beberapa beberapa anggota parlemen tersebut.

Menakar Etika sebagai Sumber Legitimasi Anggota Parlemen 

Selepas penjarahan pada rumah anggota parlemen nir etik tersebut berlangsung, Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan DPR, Nazaruddin Dek Gam baru mengeluarkan pernyataan bahwa tindakan Ahmad Sahroni, Eko Patrio, hingga Nafa Urbach merupakan pelanggaran kode etik DPR. Dek Gam mendorong pimpinan partai politik untuk menonaktifkan para anggota DPR yang menjadi kadernya–suatu konsep yang sebenarnya sama sekali tidak dikenal dalam undang-undang yang berlaku tentang DPR. Dengan kapasitas jabatannya, Dek Gam seharusnya mempercepat pelaksanaan proses peradilan etik kepada para anggota DPR tersebut ketimbang mengusulkan konsep non aktif tersebut.

Terlepas dari dinamika pelaksanaan penegakkan peradilan etik tersebut, penting untuk dapat meninjau kembali konsep etika parlemen sebagai sumber legitimasi masyarakat. Menurut Jimly Asshiddiqie, Etika sendiri merupakan seperangkat pedoman sikap tindak yang menjadi acuan atas kehidupan ideal berisikan hal – hal yang dianggap baik dan benar terhadap setiap individu yang tergabung dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Setiap Kelompok memiliki etika dengan konsep tersendiri, termasuk pula penyelenggara negara. Penyelenggara negara memiliki etika materiil yang berbeda – beda sesuai dengan tugas pokoknya, termasuk anggota parlemen.

Eksistensi etika parlemen tidak hanya berhubungan dengan pemenuhan tugas pokok anggota parlemen semata, melainkan berkaitan dengan personal kehidupan pribadi seperti keluarga hingga pekerjaan seorang anggota parlemen sebelum menjabat. Michael Hunt dalam Parliament and Ethical Behaviour menyebutkan keterkaitan urusan personal turut menjadi diatur dalam kode etik karena dapat mempengaruhi pilihan kebijakan yang diambilnya karena setiap kebijakan yang diambil dapat secara langsung atau tidak langsung berpotensi memberi keuntungan personal bagi dirinya maupun sekitarnya. Kondisi ini membuat etika memegang peranan penting untuk menjadi batasan anggota parlemen dalam bertindak.

- Advertisement -

Tak hanya berkaitan dengan konflik kepentingan semata, etika anggota parlemen seyogyanya turut mencakup pengaturan permasalahan gaya hidup yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan anggota parlemen memiliki fasilitas penunjang yang notabene tidak mampu dimiliki oleh mayoritas rakyat, padahal bersumber dari uang pajak yang rakyat. Kondisi ini menimbulkan sensitivitas masyarakat terhadap gaya hidup yang dimiliki oleh anggota parlemen.

Sayangnya, permasalahan tersebut tidak diatur sama sekali dalam kode etik yang berlaku di DPR sebagai lembaga parlemen. Hal ini membuat anggota parlemen tidak merasa bersalah untuk dapat berpakaian parlente, meskipun menyakiti hati rakyat yang tersandera dengan kondisi sosial-ekonomi yang buruk hari ini. Seharusnya, anggota parlemen sensitif terhadap dinamika yang menimpa masyarakat hari ini dengan menghindari gaya hidup glamor di tengah kebanyakan rakyat kesulitan untuk dapat makan setiap harinya.

Insensitivitas anggota parlemen menimbulkan ancaman bagi eksistensi sistem demokrasi secara keseluruhan karena etika penyelenggara negara, termasuk anggota parlemen menurut Jimly Asshidddiqie berperan penting untuk menjaga citra demokrasi di mata masyarakat.

Keberadaan berbagai tindakan nir etik anggota parlemen secara wajar menimbulkan ketidakpercayaan publik yang memicu munculnya narasi pembubaran parlemen dan berujung pada gelombang demonstrasi besar – besaran hingga hari ini. Kondisi tersebut membuat parlemen perlu mengatur permasalahan gaya hidup sebagai salah satu ketentuan dalam kode etiknya untuk mencegah kecemburuan sosial antara masyarakat dengan anggota parlemen, sehingga sistem demokrasi dapat terus berjalan dan menutup peluang penggantian sistem tata kelola negara dengan alasan ketimpangan sosial.

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.