Kamis, September 11, 2025

Erosi Demokrasi dan Pergantian Hakim Konstitusi

Durohim Amnan
Durohim Amnan
Penulis adalah mahasiswa fakultas hukum Universitas Ahmad Dahlan. Penulis juga bekerja sebagai analis (tim hukum) Kantor Hukum Persepsi Yogyakarta.
- Advertisement -

Fenomena partisipasi publik yang terus menyusut berbanding lurus dengan rapot demokrasi Indonesia yang mengalami kemunduran. Keadaan itu setidaknya dapat menjelaskan mengapa The Economist Intelligence Unit (EIU) pada rilis indeks demokrasi dunia tahun 2025, menempatkan demokrasi Indonesia dipelataran demokrasi yang cacat (flawed democracy). Erosi partisipasi publik menjadi penyebab utama penurunan demokrasi.

Kaidah tentang partisipasi publik dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “kedaulatan ditangan rakyat”, dan Pasal 27 ayat (1) menegaskan “setiap warga memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum”. Ketentuan itu merupakan prinsip dasar tentang bagaimana seharusnya demokrasi diaktifkan. Proposisi itu tak boleh dihayati semata-mata sebagai teks hukum melainkan energi untuk menghasilkan perubahan demokrasi. Energi itu lah yang sedang hilang hari-hari ini dan berupaya kita temukan kembali.

Mengecilnya partisipasi publik

Indikasi regresi demokrasi langsung terlihat dalam kontroversi pergantian hakim konstitusi, Arief Hidayat. Polemik itu merentang dalam prosedur pergantian yang janggal, tergesa-gesa, dan dipaksakan. Corak semacam ini kembali mempertegas pesimisme publik pada apa yang disebut Jurgen Habermas (1996), performa demokrasi deliberatif (faktizitat und geltung).

Mengapa demikian, pertama, partisipasi publik hanya sekedar dimaknai prosedur formal belaka. Padahal lebih dari itu yakni sebuah kondisi dimana argumen tentang demokrasi diolah dan dipertengkarkan. Apalagi mengingat masa purna tugas Arief Hidayat baru akan berlangsung pada 3 Februari 2026. Rentang durasi 6 (enam) bulan itu harusnya bisa digunakan lembaga legislatif untuk melakukan proses penjajakan publik.

Sejalan dengan itu, Pasal 19 Undang-Undang 7/2020 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa proses seleksi calon hakim harus dilaksanakan secara transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel.

Kesepakatan Komisi III DPR dan hasil rapat paripurna yang mengesahkan calon tunggal hakim konstitusi, Inosentius Samsul -sebagai pengganti Arief Hidayat- menutup peluang publik untuk terlibat secara aktif. Mekanisme formal uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon hakim yang disiarkan melalui kanal media online seketika diklaim sebagai bagian mekanisme penjaringan publik yang bermakna. Corak formal-prosedural dari partisipasi semacam itu bukan lagi rahasia umum dan jamak ditemukan.

Sementara itu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 91/PUU-XVIII/2020 mengkategorikan partisipasi bermakna dalam tiga aspek yaitu hak didengarkan (right to be heard), hak dipertimbangkan (right to be considered), dan hak mendapat penjelasan (right to be explained). Putusan ini tentu saja tidak hanya berlaku dalam tahapan pembuatan undang-undang melainkan terhadap semua kebijakan negara, temasuk mekanisme pergantian hakim konstitusi. Didalam mekanisme pergantian hakim yang begitu formal-prosedural tadi tidak ada celah untuk merasionalisasikan sistem kerja partisipasi publik secara bermakna.

Metode penyeleksian hakim konstitusi yang terbuka menjadi penting sebab setiap warga negara diberi hak yang sama oleh konstitusi untuk berkompetisi secara adil dan setara. Tentu tanpa mengenyampingkan kualitas serta kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Jalan pikiran itu sesuai prinsip demokrasi konstitusional yang menempatkan kedaulatan rakyat diatas segala-galanya (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945).

Tetapi karena ketiadaan partisipasi publik secara bermakna itu lah, pengisian hakim konstitusi hanya di ikuti oleh calon tunggal. Orkestrasi ini bukan saja menegasikan kaidah partisipasi yang bermakna namun manuver nyata untuk menggunting prinsip kedaulatan rakyat sebagai pembuluh darah demokrasi.

Disaat yang bersamaan berlaku apa yang disebut dengan legalisme otokrasi bahwa kekuasaan menggunakan hukum dan proses hukum sebagai instrumen untuk memonopoli kekuasaan kehakiman dengan cara memanipulasi (membangkang) regulasi (Kim Lane Scheppele, 2018). Manipulasi itu membentang dalam kontroversi pergantian hakim Arief Hidayat.

- Advertisement -

Politisasi yudisial

Persoalan kedua dalam kontroversi pergantian hakim konstitusi yaitu menguatnya politisasi yudisial sebagai rangkaian dari sistem kerja legalisme otokrasi. Kemerdekaan kehakiman diruntuhkan dengan berbagai macam cara yang pada intinya ingin mengikis basis legitimasi hakim konstitusi (Kim Lane Scheppele, 2018).

Pada dasarnya, skema kelembagaan yudikatif memang berlainan dengan skema kelembagaan dua koleganya (eksekutif dan legislatif). Perbedaan itu terlihat saat menyidangkan sengketa misalnya, seorang hakim hanya boleh terikat pada motif penalaran konstitusi. Karenanya, skema pemilihan hakim konstitusi pertama-tama harus didasarkan pada parameter keilmuan, integritas, sepak terjang, dan karya ilmiah yang diproduksi, bukan?. Sedangkan koleganya dipilih melalui legitimasi politik dalam skema pemilihan umum.

Motif politis yang disebutkan diatas memang amat terasa dalam banyak kesempatan. Salah satunya, ucapan Habiburrokhman (politisi Gerindra) dan Nasir Djamil (politisi PKS) bahwa pergantian ini dimaksudkan supaya produk undang-undang legislatif tidak dibatalkan MK. Logika tersebut merupakan sesat pikir seolah-olah hakim konstitusi terpilih masih terikat pada kepentingan politik pengusulnya. Tidak ada satu pun ketentuan undang-undang yang mengatur bahwa seorang hakim harus mematuhi perintah dari lembaga pengusulnya.

Arus balik demokrasi

Keadaan ini kian menegaskan bagaimana gejala arus balik demokrasi sedang berlangsung (democratic backsliding). Situasi dimana pembajakan demokrasi dilakukan melalui monopoli institusi yudisial dengan cara mengatur skema hakim sekaligus menggunting fungsi pengawasannya (Ginsburg, 2018).

Untuk meluruskan arus balik demokrasi dapat dilakukan melalui dua upaya yaitu pertama, perluasan partisipasi publik harus senantiasa diartikan dalam kerangka partisipasi bermakna (meaningfull participation) yaitu hak didengarkan, hak dipertimbangkan, dan hak untuk mendapat penjelasan. Partisipasi ini tidak boleh dikecilkan kedalam pengertian yang lebih formal-prosedural seperti yang sudah-sudah.

Kedua, menjamin sistem pengawasan lembaga negara yang tidak sekedar memunculkan corak pengawasan yang sekedar bersifat teknis melainkan pengetatan etika bernegara. Dalam arti lain, setiap pejabat publik harus peka terhadap kondisi yang serba tidak menentu mulai dari ancaman global sampai kesulitan rakyat didaerah. Pejabat publik wajib mendasari setiap kebijakan dan tingkah lakunya minimal pada 3 (tiga) nilai (values) yaitu moralitas publik, etika bernegara, dan integritas pejabat negara.

Ketiga nilai tadi bukan sekedar tuntutan dalam format bernegara melainkan tuntunan etis tentang demokrasi yang harus diaktifkan lewat percakapan warga negara (civic democracy). Percakapan warga negara itu harus selalu menyisakan semacam harapan bahwa ruang yang tersisa itu harus menghasilkan ruang baru bagi demokrasi yang tak pernah berhenti.

Solusi untuk menyudahi orkestrasi itu yakni dengan mendesak Presiden Prabowo supaya tidak menandatangani surat legislatif untuk menyetujui pergantian hakim MK.

Durohim Amnan
Durohim Amnan
Penulis adalah mahasiswa fakultas hukum Universitas Ahmad Dahlan. Penulis juga bekerja sebagai analis (tim hukum) Kantor Hukum Persepsi Yogyakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.