Banyuwangi belakangan ini semakin dikenal sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Jawa Timur. Branding Sunrise of Java berhasil menempatkan daerah ini dalam peta pariwisata nasional, bahkan internasional. Wisata alam menjadi ujung tombak, mulai dari pantai Pulau Merah, Kawah Ijen, hingga Taman Nasional Alas Purwo.
Di sisi lain, Banyuwangi juga gencar menggelar festival budaya yang meriah sepanjang tahun. Namun, di balik semua pencapaian tersebut, ada satu wajah Banyuwangi yang jarang dibicarakan, warisan sejarahnya. Di balik gegap gempita festival dan wisata alam, situs sejarah dan museum seakan berjalan dengan langkah yang tertatih.
Antara Ratusan Situs dan Satu Cagar Budaya
Menurut data dari Kepala Museum Blambangan, terdapat sekitar 140 situs sejarah yang tersebar di seluruh Banyuwangi. Balai Arkeologi Yogyakarta pada 2016 baru mengidentifikasi 79 di antaranya. Tetapi, berapa banyak yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya resmi? Hanya satu, Inggrisan, bangunan peninggalan jaringan kabel bawah laut di era kolonial.
Angka ini mencolok sekaligus memprihatinkan. Dari ratusan situs, hanya satu yang mendapat pengakuan hukum dan perlindungan yang jelas. Sisanya masih berstatus Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Status ini problematis. Ia seperti janji yang digantung tanpa kepastian, menyulitkan langkah perlindungan maupun pengembangan. Padahal, potensi situs-situs ini sangat besar untuk memperkuat identitas kultural Banyuwangi. Kondisi ini memperlihatkan betapa rapuhnya posisi sejarah di tengah pembangunan pariwisata yang lebih berorientasi pada hiburan dan atraksi.
Museum Blambangan: Kaya Koleksi, Miskin Sumber Daya
Banyuwangi sebenarnya memiliki Museum Blambangan yang menyimpan beragam koleksi berharga. Dari arca terakota, fragmen prasasti, tablet tanah liat, hingga stempel Buddha yang hanya ditemukan di empat lokasi di Indonesia, salah satunya Banyuwangi. Museum ini bisa menjadi pusat pengetahuan, ruang belajar, sekaligus penghubung generasi muda dengan sejarah daerahnya.
Namun, fakta di lapangan jauh dari ideal. Museum Blambangan hanya dikelola oleh satu orang, kepala museum. Ia merangkap semua peran dari kurator, edukator, peneliti, hingga teknisi. Padahal menurut PP No. 66 Tahun 2015 tentang Museum, pengelolaan museum minimal terdiri dari tiga unsur yaitu kepala, tenaga teknis, dan tenaga administrasi.
Ketika melakukan penelitian skripsi di tahun 2023, penulis menanyakan apakah ada rencana perekrutan staf tambahan untuk membantu pengelolaan museum, termasuk penyelenggaraan pameran koleksi, jawabannya masih sama, semua harus menunggu penyesuaian anggaran dan belum ditetapkan. Bahkan, sudah lebih dari sepuluh tahun belakangan ini, museum ini dikelola sendirian, tanpa dukungan tenaga staf khusus museum yang seharusnya menjadi bagian penting dari sistem pengelolaan museum.
Keterbatasan sumber daya manusia ini jelas menghambat pengembangan museum. Dengan ribuan koleksi yang harus dirawat dan berbagai program edukasi yang semestinya bisa dikembangkan, sulit membayangkan semua itu bisa dijalankan optimal hanya oleh satu orang. Museum akhirnya terjebak dalam situasi stagnan, meski potensinya luar biasa besar.
Teknologi Maju, Birokrasi Tertinggal
Upaya untuk memperbaiki kondisi sebenarnya sudah ada. Salah satunya lewat aplikasi Sijamuwangi, sistem informasi yang memungkinkan masyarakat mengakses informasi sejarah dan museum secara digital. Lewat aplikasi ini, pengunjung bisa memindai barcode untuk mengetahui detail suatu koleksi, bahkan melakukan tur virtual sederhana.
Sayangnya, kemajuan teknologi tidak selalu sejalan dengan kesiapan birokrasi. Tanpa SDM yang memadai, pemanfaatan aplikasi ini tak maksimal. Bukan hanya soal teknis, tetapi juga karena absennya strategi jangka panjang untuk menjadikan museum sebagai bagian integral dari pembangunan budaya Banyuwangi.
Pemerintah daerah memang sering menggaungkan dukungan terhadap pemajuan kebudayaan. Namun pada praktiknya, dukungan itu lebih sering tampak di permukaan sebagai bagian dari promosi wisata ketimbang kerja nyata yang memastikan keberlanjutan pengelolaan museum.
Warisan Sejarah yang Terpinggirkan
Banyuwangi hari ini sangat kuat dalam promosi pariwisata. Festival demi festival digelar hampir sepanjang tahun, menjadi daya tarik yang menghidupkan sektor ekonomi. Tetapi, di tengah semua itu, sejarah dan situs budaya nyaris tidak mendapat ruang yang sama. Sejarah seakan hanya dijadikan ornamen untuk memperkuat daya jual festival, bukan sebagai pijakan identitas dan pendidikan publik. Padahal, warisan sejarah memiliki nilai yang jauh lebih dalam, ia bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga fondasi jati diri sebuah daerah.
Jika dikelola dengan serius, Banyuwangi memiliki potensi untuk menjadi pusat wisata sejarah dan budaya yang penting, bukan hanya di Jawa Timur, tetapi juga di Indonesia. Tetapi selama perhatian lebih banyak tersedot ke festival dan wisata alam, warisan sejarah akan tetap menjadi “anak tiri” pembangunan.
Jalan ke Depan: Menjadikan Museum sebagai Gerbang
Museum Blambangan sebenarnya bisa memainkan peran strategis sebagai gerbang wisata sejarah. Dari museum, wisatawan dapat diperkenalkan dengan narasi sejarah Banyuwangi, lalu diarahkan menuju situs-situs di lapangan. Museum bisa menjadi titik temu antara riset akademis, edukasi publik, dan industri pariwisata.
Untuk itu, ada beberapa syarat mendesak. Pertama, pemenuhan SDM sesuai standar. Tidak mungkin museum dengan koleksi ribuan artefak dikelola hanya oleh satu orang. Kedua, percepatan penetapan cagar budaya. Tanpa legalitas, situs-situs sejarah rentan tergerus pembangunan. Ketiga, modernisasi pengelolaan melalui teknologi harus disertai strategi yang jelas, bukan sekadar proyek sementara.
Banyuwangi sudah memiliki bahan dasar yang luar biasa, situs sejarah yang melimpah, koleksi yang unik, serta posisi strategis sebagai destinasi wisata. Yang kurang hanyalah kemauan politik dan dukungan anggaran. Jika itu bisa diwujudkan, museum dan situs sejarah tidak lagi sekadar pelengkap, tetapi menjadi pilar utama dalam identitas Banyuwangi. Sebab pada akhirnya, pariwisata tanpa sejarah hanyalah hiburan sesaat. Tetapi pariwisata yang berakar pada sejarah akan melahirkan kebanggaan, pendidikan, dan keberlanjutan.