“Akal dan pikiran adalah inti dari demokrasi. Demokrasi itu bukan sekadar pemerintahan oleh orang, melainkan ‘government of reason through government by the people’—pemerintahan akal melalui pemerintahan rakyat.” —Rocky Gerung
Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan sistem demokrasi konstitusional. Konsekuensinya, kepemimpinan nasional harus dijalankan oleh mereka yang memiliki kapasitas intelektual memadai. Kualitas pemimpin sangat penting untuk memastikan amanah konstitusi ditegakkan, terutama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Konstitusi juga menjamin hak warga negara atas kepastian hukum, keadilan, serta perlindungan hak asasi manusia. Semua itu menjadi tanggung jawab negara, khususnya pemerintah. Karena itu, negara berkewajiban memastikan pemimpin memiliki kompetensi etis dan intelektual yang layak.
Di sinilah peran Mahkamah Konstitusi. Sebagai guardian of the constitution, the last interpreter of the constitution, guardian of democratization, dan protector of human rights, Mahkamah seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan kualitas kepemimpinan nasional.
Hukum bukan sekadar sumber legitimasi kekuasaan, melainkan juga instrumen untuk menjamin kualitas kekuasaan itu sendiri. Maka, kebijakan hukum terkait syarat pendidikan calon presiden harus berpijak pada prinsip akuntabilitas konstitusional, bukan semata pertimbangan administratif.
Ketika pembentuk undang-undang hanya menetapkan syarat pencalonan presiden demi kepentingan politik jangka pendek, Mahkamah seharusnya hadir untuk menguji apakah ketentuan tersebut sesuai dengan prinsip proporsionalitas, akuntabilitas konstitusional, dan meritokrasi.
Kompleksitas Tanggung Jawab Presiden
Jabatan presiden sarat kompleksitas. Secara logis dan objektif, tanggung jawab itu menuntut kapasitas intelektual serta kemampuan multidisipliner. Karena itu, syarat pendidikan tinggi bagi presiden bukanlah pilihan opsional, melainkan keharusan.
Pada tanggal 16 Mei 2025, saya bersama rekan mengajukan uji materiil terhadap Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam Perkara Nomor 87PUU-XXIII/2025. Intinya, kami meminta Mahkamah menetapkan norma baru bahwa calon presiden dan wakil presiden wajib berpendidikan paling rendah sarjana (S-1) atau sederajat.
Namun, pada 17 Juli 2025, Mahkamah menolak permohonan tersebut seluruhnya. Yang menarik, Mahkamah berpendapat bahwa menaikkan syarat pendidikan minimal menjadi S-1 justru mempersempit kesempatan warga negara untuk dicalonkan.
Penalaran ini jelas kontradiktif. Dengan logika serupa, syarat pendidikan minimal SMA yang berlaku saat ini pun sebenarnya membatasi warga negara yang tidak lulus SMA untuk mencalonkan diri. Artinya, pertimbangan Mahkamah tersebut tidak konsisten dan tidak berpijak pada logika hukum.
Belajar dari Negara Lain
Banyak negara telah menetapkan syarat pendidikan tinggi bagi calon presiden, antara lain Turki, Aljazair, Azerbaijan, Tajikistan, Mesir, dan Kenya. Mereka mewajibkan calon presiden menyelesaikan pendidikan tinggi atau memiliki gelar universitas. Indonesia seharusnya belajar dari praktik tersebut. Sebuah bangsa hanya dapat maju jika dipimpin oleh pemimpin yang cerdas dan berkapasitas intelektual.
Memang benar, kualitas kepemimpinan tidak hanya ditentukan oleh pendidikan formal. Namun, negara perlu menetapkan standar minimum yang objektif untuk memastikan calon presiden memiliki kemampuan dan kapasitas yang layak. Hal ini bukanlah diskriminasi, melainkan bentuk tanggung jawab konstitusional untuk menjaga kualitas jabatan tertinggi negara.
Standar yang Harus Ditegakkan
Syarat pendidikan untuk jabatan presiden harus memenuhi asas proporsionalitas, rasionalitas substansif, meritokrasi, dan akuntabilitas. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang memimpin birokrasi modern, mengelola diplomasi internasional, mengendalikan ekonomi makro, menjaga keamanan nasional, hingga menentukan arah pembangunan.
Dengan tanggung jawab sebesar itu, syarat pendidikan tinggi menjadi mutlak. Bagaimana mungkin seseorang memimpin 280 juta rakyat, mengelola APBN bernilai ribuan triliun, membangun infrastruktur seluas Indonesia, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta merumuskan kebijakan nasional maupun global—tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi?
Memimpin Indonesia bukan perkara sederhana. Dibutuhkan wawasan kebangsaan, kapasitas intelektual, serta pemahaman mendalam tentang hukum, ekonomi, geopolitik, dan tata kelola negara. Tanpa fondasi akademik yang kuat, mustahil bangsa ini mampu melompat maju.
Faktanya, dalam banyak indikator—ekonomi, hukum, demokrasi, pendidikan, hingga tingkat kemiskinan—Indonesia masih tertinggal. Ironisnya, yang menonjol justru tingginya angka korupsi; Indonesia bahkan masuk tiga besar negara dengan jumlah pejabat korupsi terbanyak.
Melihat realitas tersebut, bukankah yang harus kita dorong adalah peningkatan kualitas kepemimpinan, bukan sebaliknya? Membuka peluang bagi calon presiden tanpa pendidikan tinggi sama saja dengan menurunkan standar negara. Dalam dunia yang kian kompleks, seorang pemimpin tidak cukup hanya populer; ia harus kompeten, visioner, dan terdidik.