Cumlaude tidak selalu menjamin prestasi. Kita bisa menengok panggung politik, ada tokoh yang berprestasi akademik, ada pula yang menduduki jabatan tinggi bahkan sampai wapres berkat pengaruh keluarga. Realitas ini mungkin pahit, tapi lebih pahit lagi ketika kenyataan itu menimpa diri sendiri. Banyak lulusan sarjana, bahkan yang lulus dengan predikat membanggakan, tetap harus jungkir balik mencari pekerjaan. Jurusan yang linier tidak menjamin, apalagi yang “nyasar” ke bidang lain demi sekadar bertahan. Tujuannya sederhana, asal tidak menganggur. Titik.
Masalahnya, menyandang gelar S1 sambil menganggur jauh dari gambaran ideal brosur kampus. Ekspektasi keluarga dan tetangga bisa lebih nyinyir daripada algoritma TikTok. Sarjana dianggap pasti mapan, gaji dua digit, kerja di kantor dengan pendingin ruangan. Kenyataannya? Membuka email hanya berisi newsletter dan surat penolakan. Mendapat panggilan wawancara saja sudah dianggap keberuntungan meski sering berakhir dengan “ghosting” dari HRD, yang lebih menusuk daripada ghosting gebetan.
Saya sendiri sempat bekerja sebelum kuliah. Namun, begitu wisuda, pengalaman itu seakan terhapus. Status kembali ke fresh graduate nol kilometer. Sambil rebahan membuka portal lowongan kerja, godaan untuk lanjut S2 makin besar. Bukan semata karena haus ilmu, tapi karena takut ditanya, “Kerja di mana sekarang?” Sayangnya, melanjutkan sekolah butuh dua hal, otak encer dan dompet tebal, keduanya masih saya cicil.
Generasi LDR: Lulus, Diam, Resah
Fenomena pengangguran sarjana sering disebut “Generasi LDR: Lulus, Diam, Resah”. Lulus memang sudah, tapi langkah berikutnya mandek. Banyak yang diam bukan karena malas, melainkan bingung arah, lalu resah karena terus dihantui pertanyaan klasik, “Kerja di mana sekarang?” Pertanyaan sederhana yang berubah jadi tekanan sosial.
Masalah ini bukan sekadar urusan individu, tapi sistemik. Setiap tahun, menurut BPS, sekitar 1,2 juta sarjana baru masuk pasar kerja. Sayangnya, daya serap tenaga kerja tidak berbanding lurus dengan laju pencetak ijazah. Dunia pendidikan sibuk melahirkan lulusan, sementara dunia kerja tak sanggup menampung. Akibatnya, masa tunggu kerja jadi panjang, dan banyak sarjana terjebak di ruang hampa antara harapan akademik dan realitas lapangan.
Kondisi makin berat karena faktor sosial. Gelar sarjana masih dianggap tiket emas menuju kelas menengah. Keluarga dan masyarakat menaruh ekspektasi besar, seolah setelah wisuda otomatis hidup naik kelas. Saat kenyataan berkata sebaliknya, resah yang muncul bukan cuma soal finansial, tapi juga soal harga diri dan pengakuan. Inilah paradoks pembangunan, negara gencar mendorong kuliah, tapi gagal menciptakan ekosistem kerja yang layak. Alhasil, lulusan harus bertahan dengan koneksi, privilege, atau sekadar keberuntungan.
Mencari kerja tidak sesederhana mengerjakan soal UTS. Lowongan memang banyak, tapi kriterianya kerap tidak masuk akal, pengalaman minimal satu tahun, usia di bawah 25, mampu bekerja di bawah tekanan, bisa segala hal, tapi gajinya UMR kadang masih bisa “dinegosiasi”.
Info Loker, Kak!
IPK cumlaude tidak otomatis membuka pintu karier. Tanpa koneksi, sulit bermimpi jadi CEO ala drama Korea. Realitanya, banyak lulusan baru harus melewati seleksi berlapis, tahap satu, dua, tiga, hingga akhirnya diterima di posisi terendah, dengan gaji setipis tisu toilet umum.
Proses rekrutmen pun sering absurd. Saya pernah diwawancarai HRD yang antusias menanyakan gaji terakhir saya, lengkap dengan formulir detail gaji pokok, tunjangan, hingga slip gaji. Namun ketika saya balik bertanya soal kisaran gaji posisi yang saya lamar, jawabannya hanya, “Nanti akan kami informasikan kalau Anda lolos tahap tiga.” Padahal, itu masih tahap satu.
S2: Antara Hasrat Intelektual dan Strategi Survival
Salah satu strategi populer untuk menghindari label pengangguran adalah melanjutkan studi S2. Alasannya tidak selalu karena ingin jadi akademisi, tapi lebih sering karena terdesak. Sekolah lagi menjadi cara elegan untuk menunda pengangguran sekaligus meredam cibiran sosial. Banyak lulusan baru tersingkir karena dianggap kurang pengalaman. Padahal logikanya, pengalaman didapat setelah bekerja, bukan syarat sebelum masuk kerja.
Data Kementerian Ketenagakerjaan 2023 mencatat lulusan diploma dan sarjana menyumbang 12% angka pengangguran. Penyebabnya beragam, mulai dari minimnya koneksi hingga ketidaksesuaian dunia kerja dengan bidang studi. Akibatnya, banyak sarjana banting setir, lulusan hukum menjadi content creator, sarjana sastra menjadi admin gudang, lulusan teknik menjadi pengemudi ojol. Perusahaan butuh multi-talenta, tapi imbalannya setara penjaga warung yang sambil merakit satelit.
Jika tidak bisa lanjut sekolah, pilihan yang tersisa adalah menerima pekerjaan apa adanya. Bidangnya mungkin tidak relevan, jenjang karier lambat, gaji pas-pasan. Tapi setidaknya ada pemasukan, meski rasanya seperti siput mogok tanpa bekal air liur.
Pendidikan Tinggi, Harapan Tipis
Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia di angka 4,76%. Persentasenya memang menurun, tetapi jumlah pengangguran naik jadi 7,28 juta orang. Pada kuartal kedua 2025, lebih dari 24 ribu kasus PHK tercatat. Dari jumlah itu, lebih dari satu juta sarjana dan ratusan ribu lulusan diploma masih menganggur. Artinya, semakin tinggi pendidikan tidak selalu menjamin aman dari pengangguran, justru makin rentan bila tidak dibarengi koneksi, pengalaman, atau keberuntungan.
Lulus kuliah bukan akhir perjuangan, melainkan awal perjalanan penuh tantangan. Gelar bukan jaminan sukses, kadang justru menjadi beban ekspektasi. Setelah wisuda, hidup tidak otomatis indah. Paling banter, indah pada waktunya, jika beruntung. Solusinya sederhana tapi tidak mudah, kalau belum bisa lanjut S2, ambil pekerjaan apa saja dulu. Kalau bisa mandiri, lebih baik. Tapi membangun usaha juga tidak sesederhana membuat akun marketplace. Modal tetap menjadi kunci, dan kalau belum punya modal, berarti bekerja dulu, tahan malu, tahan gengsi, tahan lelah.
Maka, jika setelah wisuda Anda belum bekerja dan belum lanjut sekolah, ingatlah, Anda bukan gagal. Anda hanya sedang ikut lomba sabar tingkat nasional.