Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan nama hukum dan keadilan. Sebagaimana dalam konstitusi yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” atas hal tersebut segala tindakan kita tentunya memiliki aturan. Aturan ini bertujuan untuk memberikan rasa aman, tertib dan damai ditengah masyarakat. Hukum hadir ditengah masyarakat juga untuk memberikan rasa adil. Hukum dan Keadilan dua konsep yang memiliki keterkaitan yang erat.
Hukum merupakan sistem peraturan yang dibuat dan diberlakukan oleh otoritas yang berwenang, yang bertujuan untuk mengatur perilaku manusia dalam masyarakat dan menegakkan keadilan. Hukum dapat berupa aturan tertulis maupun tidak tertulis, dan pelanggaran terhadapnya dapat dikenai sanksi.
Gustav radburch menyebutkan bahwa tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Hukum bertujuan untuk menciptakan situasi yang adil dan setara bagi semua orang, tanpa diskriminasi. Apabila keadilan itu terwujud maka tujuan hukum berjalan sebagaimana mestinya.
Namun, sangat disayangkan sekali jika hukum hanya dijadikan alat untuk kepentingan pribadi dan golongan saja. Artinya, hukum hanya sebagai simbol suatu negara hukum dengan regulasi yang aktual yang dinnilai melemahkan keadilan. Hukum yang dibuat oleh pejabat yang berwenang seharusnya tidak mengandung keberpihakan yang dapat merugikan warga negaranya bahkan negaranya, membuat hukum harus menghadirkan rasa nasionalis terhadap negaranya sendiri, jika tidak maka produk hukum yang dihasilkan hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan, dan rakyat biasa yang akan dirugikan.
Contohnya pada kasus pencemaran lingkungan hidup akibat Limbah B3, salah satu kasusnya yakni PT Xingye Logam Indonesia. Perusahaan terbukti melakukan pencemaran, namun proses hukum yang panjang dan berbelit menunjukkan lemahnya keberpihakan hukum terhadap masyarakat. Seharusnya, hukum hadir untuk melindungi hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Namun dalam praktiknya, regulasi justru kerap melemahkan perlindungan tersebut. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memang mengatur prinsip strict liability, yang seharusnya memudahkan penegakan hukum tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan. T
Tetapi kemudian lahir PP No. 22 Tahun 2021 yang banyak dikritik karena menurunkan standar perlindungan lingkungan, misalnya dengan mempermudah izin lingkungan dan menyederhanakan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Senhingga membuka celah lemahnya pengawasan terhadap kegiatan usaha yang berisiko merusak dan mencemari lingkungan. Alih-alih berpihak pada rakyat, regulasi ini lebih condong pada kepentingan investasi.
Hal tersebut menunjukkan bagaimana hukum kerap dijadikan alat kepentingan golongan tertentu. Padahal, jika hukum dijalankan dengan sungguh-sungguh berdasarkan asas keadilan, maka kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat luas tidak akan terus berulang. Kasus pencemaran ini menjadi bukti nyata bahwa hukum di Indonesia masih sering kehilangan roh keadilan, dan masyarakat kecil yang akhirnya menanggung akibatnya.
Sudah saatnya hukum di Indonesia benar-benar menghadirkan keadilan. Hukum tidak boleh berhenti sebagai deretan pasal di atas kertas, melainkan harus hadir nyata dalam melindungi hak rakyat. Kasus pencemaran lingkungan oleh PT Xingye Logam Indonesia hanyalah satu contoh dari banyak peristiwa yang menunjukkan betapa lemahnya posisi masyarakat kecil di hadapan hukum yang lebih berpihak pada kepentingan ekonomi dan investasi.
Jika kita ingin menyebut Indonesia sebagai negara hukum, maka hukum harus dijalankan dengan keberanian moral: melindungi yang lemah, menindak tegas pelanggar tanpa pandang bulu, dan memastikan lingkungan serta hak asasi manusia tetap terjaga. Tanpa itu semua, hukum hanya akan menjadi simbol tanpa makna, dan keadilan akan terus menjadi janji yang hampa bagi rakyatnya.