Kamis, Agustus 14, 2025

Diplomasi Transaksional: Menguak Tabir KTT Afrika Trump yang Penuh Kontroversi

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Bayangkan sebuah kisah klasik tentang seorang mantan yang dulu tak acuh, bahkan mungkin meremehkan, kini tiba-tiba muncul kembali. Kali ini, ia tampil dengan penampilan memukau, janji-janji manis, dan senyum yang memikat. Kiasan inilah yang secara sempurna menggambarkan pertemuan tingkat tinggi yang baru-baru ini terjadi di Washington: KTT Afrika yang diselenggarakan oleh mantan Presiden AS Donald Trump.

Dari 54 negara yang membentuk benua Afrika, hanya segelintir—tepatnya lima pemimpin—yang menerima undangan eksklusif ke Gedung Putih: Gabon, Guinea-Bissau, Liberia, Mauritania, dan Senegal. Pilihan ini jauh dari kata acak. Ini adalah sebuah kelompok yang dipilih dengan cermat, negara-negara yang kaya akan sumber daya mineral dan juga bergulat dengan isu migrasi yang kompleks. Menariknya, mereka juga termasuk di antara ekonomi yang lebih kecil di Afrika, sebuah fakta yang disinyalir bukan kebetulan. Mengapa? Karena negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang lebih terbatas cenderung lebih mudah dibujuk untuk menyetujui tuntutan, atau enggan menarik diri di tengah potensi konflik. Mirip seorang gaslighter yang piawai, Trump tampaknya sangat menikmati dan bahkan mencari dinamika kekuasaan yang timpang, di mana kendali sepenuhnya berada di tangannya.

KTT ini dijadwalkan berlangsung selama tiga hari, namun gejolak sudah terasa sejak awal. Tak disangka, kesabaran Trump yang terkenal tipis sudah diuji bahkan di hari pertama. Di meja makan siang yang sarat formalitas, pemandangan yang tersaji adalah para pemimpin Afrika yang secara bergiliran melontarkan pujian setinggi langit kepada Donald Trump. Mereka tak hanya sekadar menyampaikan basa-basi diplomatik; mereka juga dengan antusias mengajukan beragam proyek ambisius, bahkan ada yang berani melontarkan gagasan agar Trump membangun lapangan golf di negara mereka. Dan, di tengah derasnya sanjungan itu, sebuah topik yang seringkali menjadi favorit Trump pun tak luput dari pembahasan: Hadiah Nobel Perdamaian.

“Saya percaya dia memang pantas mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian,” ujar salah seorang pemimpin dengan penuh keyakinan, sebuah pernyataan yang disambut dengan senyum puas dan tatapan bangga dari Trump. Dengan nada yang penuh kepuasan, Trump menanggapi, “Saya tidak tahu akan diperlakukan sebaik ini. Ini luar biasa. Kita bisa melakukan ini sepanjang hari. Terima kasih banyak.” Momen ini seolah menggarisbawahi suasana pertemuan yang lebih mirip panggung pertunjukan personal daripada forum diplomatik yang setara.

Namun, kemegahan panggung itu tak bertahan lama. Di tengah gelombang pujian yang terus mengalir deras, tiba-tiba saja Trump memotong ucapan salah satu pemimpin Afrika. Dengan nada yang terkesan tak sabar, ia meminta sang pemimpin untuk “sedikit lebih cepat” karena jadwalnya yang padat. Adegan ini adalah esensi dari karakter Trump yang sudah dikenal: ia akan dengan senang hati berjemur dalam lautan sanjungan dan pujian tanpa batas, namun begitu percakapan beralih ke ranah yang lebih substantif, atau ketika pihak lain mulai menyampaikan permintaan, ia akan segera melirik jam tangannya, mengisyaratkan ketidaksabaran dan keinginan untuk segera mengakhiri interaksi.

Lalu, muncul pertanyaan mendasar: Mengapa sebenarnya Trump bersusah payah untuk bertemu dengan para pemimpin Afrika ini? Motifnya, bagi mereka yang akrab dengan pemikiran Trump, cukup transparan. Slogannya untuk Afrika sangat jelas: “Perdagangan, bukan bantuan.” Secara prinsip, moto ini bukanlah masalah. Pendekatan yang mengedepankan kemandirian dan kemitraan ekonomi tentu lebih baik daripada ketergantungan pada bantuan. Namun, masalah sebenarnya terletak pada pendekatan Trump itu sendiri.

Presiden AS kala itu tampaknya tidak memiliki ketertarikan yang tulus terhadap kesejahteraan atau kemajuan benua Afrika secara keseluruhan. Pandangannya cenderung utilitarian. Ia seolah-olah hanya memindai ruangan, mencari tahu siapa yang memiliki sumber daya atau kesepakatan yang bisa menguntungkan kepentingan Amerika, atau lebih tepatnya, kepentingan dirinya.

“Ada potensi ekonomi yang besar di Afrika,” ujarnya dengan nada pragmatis. “Dalam jangka panjang, ini akan jauh lebih efektif dan berkelanjutan serta bermanfaat daripada hal lain yang bisa kita lakukan bersama.” Sekilas, kalimat ini terdengar positif, namun esensinya jauh dari kemitraan yang setara. Ini adalah transaksi murni yang dibungkus rapi dengan lapisan tipis sanjungan, sebuah pertukaran di mana nilai diukur dari apa yang bisa didapat, bukan dari pengembangan hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan.

Momen paling canggung dan ironis dari pertemuan ini terjadi ketika Trump, entah karena ketidaktahuan atau kurangnya kepekaan, justru kebablasan dengan pujian yang berujung merendahkan. Saat berinteraksi dengan Presiden Liberia, Joseph Boa Kai, yang berbicara bahasa Inggris dengan fasih dan lancar, Trump melontarkan pertanyaan yang sangat janggal, nyaris merendahkan martabat seorang kepala negara.

Dengan nada takjub yang samar-samar, seolah baru saja menyaksikan keajaiban, Trump menanyai Presiden Liberia, Joseph Boa Kai, “Bahasa Inggrisnya sangat bagus, begitu indah. Di mana Anda belajar berbicara begitu indah? Di mana Anda dididik?” Sebuah pertanyaan yang, bagi banyak orang, terdengar sangat janggal dan merendahkan, terutama mengingat status Kai sebagai kepala negara.

- Advertisement -

Ketika Presiden Kai dengan tenang menjawab bahwa ia dididik di Liberia, ekspresi terkejut terlihat jelas di wajah Trump. Dengan enteng ia menimpali, “Itu sangat menarik. Bahasa Inggris yang indah, benar. Saya punya orang-orang di meja ini yang tidak bisa berbicara sebaik itu, dan mereka berasal dari sini.” Komentar ini, secara terang-terangan, menyoroti kurangnya kepekaan dan pemahaman dasar Trump tentang sejarah dan budaya Afrika.

Sebagai kilas balik sejarah yang penting untuk diketahui, Liberia didirikan pada tahun 1822 oleh American Colonization Society sebagai rumah baru bagi budak-budak Amerika yang telah dibebaskan, dan mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1847. Sejak awal, bahasa Inggris telah menjadi bahasa resmi Liberia. Oleh karena itu, fakta bahwa seorang pemimpin Liberia fasih berbahasa Inggris seharusnya tidak menjadi kejutan, apalagi objek kekaguman yang bernada merendahkan. Episode ini dengan sangat jelas memperlihatkan bagaimana Amerika Serikat, setidaknya di bawah kepemimpinan Trump, memandang benua Afrika—seringkali dengan lensa yang sempit dan berlandaskan stereotip.

Rekam jejak Trump dalam berinterinteraksi dengan negara-negara Afrika bukanlah hal baru. Pada tahun 2018, ia sempat membuat geger berita utama dunia karena komentar-komentar yang kasar dan meremehkan terhadap negara-negara Afrika. Ia terang-terangan mengolok-olok aksen Afrika, tanpa ragu memangkas program-program bantuan yang vital, dan bahkan secara publik mempertanyakan lokasi geografis negara-negara tertentu. Pola perilaku ini meninggalkan luka mendalam dan keraguan serius terhadap niatnya.

Namun kini, Trump mengklaim mencari “awal yang baru” dalam hubungannya dengan Afrika. Alasan di balik upaya mendadak ini sangatlah pragmatis dan jelas: Tiongkok dan Rusia tengah gencar memperluas pengaruh mereka di benua tersebut. Kedua kekuatan global ini berhasil membangun pijakan yang kuat, dan Trump tak ingin Amerika tertinggal. Ketegangan geopolitik ini bahkan secara lugas diungkapkan oleh pemimpin Gabon dalam KTT tersebut: “Negara kami bebas, terbuka untuk semua. Anda dipersilakan untuk datang dan berinvestasi. Kalau tidak, negara lain mungkin datang sebagai gantimu.” Sebuah peringatan keras yang tak bisa diabaikan.

Tak hanya itu, negara-negara yang dipilih Trump untuk diundang ke KTT ini adalah yang kaya akan sumber daya strategis. Gabon, misalnya, menyimpan hampir seperempat cadangan mangan dunia—mineral krusial untuk industri modern. Senegal memiliki ambisi besar untuk membangun kota teknologi yang inovatif, sementara Liberia berminat menjadi tuan rumah fasilitas militer AS. Jelas sekali, setiap negara ini memiliki “sesuatu” yang sangat berharga untuk ditawarkan kepada Donald Trump.

Dengan demikian, KTT ini lebih mirip sebuah sesi presentasi penjualan agresif daripada upaya diplomatik yang tulus untuk memahami dan membangun kemitraan yang setara dengan Afrika. Bagi Trump, benua Afrika bukanlah tentang keberagaman rakyatnya, bukan tentang potensi kemitraan yang sejati, dan bukan pula tentang perkembangan masa depan. Sebaliknya, ia melihat peta yang dipenuhi sumber daya alam dan peluang akses pasar yang bisa dimanfaatkan.

Tentu saja, benua Afrika sudah terbiasa dengan skenario ini: janji-janji manis, kontrak-kontrak berkilauan, kemitraan strategis yang dielu-elukan, dan persahabatan yang rapuh. Janji-janji dari Trump mungkin terdengar baru dan menjanjikan, namun permainan kekuasaan yang dimainkan adalah cerita lama yang sama, sebuah siklus yang terus berulang dalam dinamika hubungan internasional.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.